Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Cocok Buanget!!
Kalimat itu meluncur seperti peluru. Hening pun langsung menyelimuti udara. Tak ada yang berani bicara, bahkan Senina yang biasanya cerewet hanya bisa menatap dengan mata membulat.
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Rajendra melangkah begitu saja, meninggalkan ruang depan dengan langkah lebar dan mantap.
Dia tak menoleh, tak peduli pada tatapan mata yang mengikuti setiap geraknya dari ruang keluarga yang terbuka di sisi kanan.
Beberapa anggota keluarga terlihat duduk di sana, ada yang menegang, ada pula yang berbisik pelan sambil melirik ke arah mereka.
Aruni menyusul di belakang, masih menggenggam tas tangannya dengan elegan, menjaga postur dan ketenangan seperti permaisuri yang tidak akan goyah oleh tatapan atau bisik-bisik sinis.
Namun, dia sadar betul, pandangan mereka seolah hendak menelanjangi setiap inci dirinya, menguji, menilai, bahkan mungkin mencibir dalam hati.
Tangga marmer dengan pegangan kayu jati berkilau mereka tapaki dalam diam. Tak ada percakapan di antara mereka, hanya gema langkah kaki yang menggema di koridor luas rumah itu, mengiringi keheningan yang menekan.
Setibanya di lantai dua, Rajendra membelok ke kiri dan terus berjalan ke arah paling ujung lorong.
Deretan pintu kamar tampak berjajar rapi, dan setiap langkah makin mendekatkan mereka pada satu pintu tua berwarna cokelat kusam yang berbeda dari lainnya.
Dan, di situlah kamar Rajendra dulu berada. Kecil, dan juga sempit. Terkepung tembok dingin dan jauh dari jangkauan cahaya matahari. Seolah memang sengaja disingkirkan dari pusat kehidupan rumah ini.
Rajendra membuka pintunya tanpa ragu. Engselnya berderit lirih seperti menyambut tuan lamanya. Di dalam, aroma debu dan kayu tua menyergap.
Kamar itu tetap sama seperti dulu, ranjang kecil di pojok ruangan, lemari kecil di sisi kanan, dan jendela sempit yang menghadap ke arah tembok rumah sebelah.
"Sebentar, aku butuh waktu beberapa menit untuk mencarinya," ucap Rajendra pelan pada Aruni tanpa menoleh.
Nada suaranya datar, tapi Aruni bisa merasakan betapa kuatnya kendali yang sedang Rajendra pertahankan agar tidak meledak oleh luka terpendam selama dia berada di sana.
"Hem, selesaikan urusanmu," jawab Aruni lembut, berdiri di ambang pintu, matanya menelusuri isi kamar kecil itu dengan hati yang ikut tercekat.
Sulit membayangkan laki-laki yang dipandang sebagai idola kampus, bergelimang harta dengan nama besar keluarganya ternyata tidur dalam ruang sesempit dan sedingin ini.
Rajendra melangkah ke sudut ruangan, tepat ke arah lemari kayu tua yang tinggi dan sedikit bergoyang ketika disentuh. Dia menarik napas pelan sebelum menjulurkan tangannya ke atas lemari, meraba permukaan berdebu yang dingin dan kasar.
Beberapa detik kemudian, tangannya menyentuh setumpuk map dan kertas yang sudah lama tidak dia pedulikan.
Berkas-berkas itu tampak kusam, pinggirannya sedikit menguning. Dia menurunkannya perlahan, menepis debu dengan punggung tangannya, lalu menatapnya sejenak, seakan menghidupkan kembali malam-malam panjang yang dia habiskan untuk menulis skripsi itu, sendirian, dalam kamar sempit yang bahkan sering kali tak punya cukup cahaya.
"Berkas skripsiku," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, lebih seperti berbicara pada diri sendiri.
Kemudian matanya mengarah ke bawah ranjang. Dia berlutut, menggeser kotak sepatu tua, dan menarik keluar sebuah tas laptop yang sudah pudar warnanya.
Resletingnya agak macet saat dibuka, tapi akhirnya terbuka juga, memperlihatkan laptop lama berwarna abu-abu dengan sudut-sudut casing yang sudah mulai mengelupas, maklum saja dia tidak begitu peduli sejak lama.
Dia mengangkat laptop itu dengan kedua tangan, menatapnya sebentar. Sebuah senyum pahit muncul di sudut bibirnya.
Perangkat itu mungkin tak lagi berguna secara teknis, tapi di dalamnya tersimpan jejak perjuangannya, puluhan file, ratusan catatan, dan ribuan jam kerja keras yang dulu tak pernah dihargai siapa pun.
"Apa mungkin masih bisa nyala?" gumam Rajendra sambil menepuk pelan bagian atasnya.
Aruni memperhatikannya dari ambang pintu. Hatinya tercekat melihat bagaimana suaminya memperlakukan benda-benda tua itu dengan begitu hati-hati, seolah lebih berharga daripada semua kemewahan rumah ini.
"Sayang banget kelihatannya, pasti beli sendiri ya?" tanyanya pelan.
Rajendra menoleh sebentar, lalu menggeleng pelan. "Bukan, Kak Bagas yang beliin pas Maba."
Dia merapikan berkas dan laptop itu ke dalam tas selempangnya yang kini terlihat terlalu penuh. Lalu berdiri dan menatap ruangan untuk terakhir kalinya.
"Ayo, kita pergi dari sini," ucap Rajendra singkat, suaranya kembali dingin tapi mantap.
Aruni mengangguk pelan, dan mereka pun berjalan keluar kamar. Tak satu pun dari mereka menoleh ke belakang.
.
.
Langkah keduanya menuruni tangga tidak tergesa, tapi pasti. Rajendra berjalan lurus tanpa memedulikan apapun yang terjadi di sekitarnya. Di belakangnya, Aruni menyamai langkah suaminya, lalu dengan tenang meraih tangan Rajendra, menggenggamnya erat, hangat, dan penuh keyakinan.
Rajendra menoleh sejenak, sedikit terkejut, tapi tak berkata apa-apa. Dia membiarkan genggaman itu bertahan, bahkan merespons dengan menggenggam balik, seperti memahami maksud di balik tindakan Aruni.
Hanya seulas senyum singkat yang muncul di wajahnya sebelum keduanya kembali fokus pada arah ke depan.
Dan tepat saat mereka mencapai lantai bawah, seorang pria dengan jas santai dan wajah tenang berdiri menyandar di dinding ruang tamu. Sosok tinggi dan karismatik, dengan tatapan tajam yang tak mudah ditebak, Bagaskara.
Calon suami yang dulu merupakan tipe ideal Aruni, bahkan setiap malam sampai terbawa mimpi.
Pandangan pria itu langsung tertuju pada tangan mereka yang saling menggenggam. Sekilas sorot matanya berubah, entah itu keterkejutan atau ketidaksenangan, tapi secepat itu pula ia menetralkan ekspresinya.
“Wih ... ada pengantin baru nih," sapa Bagaskara sambil melangkah mendekat.
Suaranya terdengar santai, tapi ada ketegangan samar yang menyelinap di sana. "Hem, kamu dari atas, Jendra?"
Rajendra menatapnya tanpa senyum. “Iya, cuma ambil barang yang ketinggalan."
Begitu jawabnya, dan Bagas tak lagi banyak bertanya. Sebaliknya, pria itu kembali melirik ke arah Aruni.
Alih-alih salah tingkah ataupun menghindar, Aruni ikut membalas tatapan itu lalu mempererat genggamannya. Bahkan, dia tidak segan menempelkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke lengan Rajendra, gerakan yang elegan namun jelas menunjukkan kepemilikan.
Tindakan Aruni tak lepas dari tatapan Bagaskara yang kemudian tersenyum kaku sebelum kemudian menyampaikan pujiannya secara terang-terangan. "Kalian terlihat cocok, aku senang melihatnya."
"Iya dong cocok ... cocok buanged malah!!" timpal Aruni cepat dan penuh penekanan karena memang, hingga detik ini dia masih dendam pada Bagaskara.
"Hem, iya ... cocok banget, harusnya memang dari dulu aku melamar mu untuk Rajendra."
"Heih?"
.
.
- To Be Continued -
pasti bentar lagi bakal meledak DUUARRRRR 💥
gak sabar ketemu pasangan ini besok ada aja hal yang membuat Aruni esmosi sabar Aruni begitulah nasib punya suami ganteng polll sampai aku aja kepincut🤭🤭
klw runi ngaku k orang2 kmpus dy istri jendra bukn istri rahasia ny nmany.
lgian tu si mntan punya hak ap ngelarang2 cewk lain buat dekati jendra. aplgi jendra gk ad cinta2 ny sama tu mntan kegateln.