Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Jejak Sang Pecinta Perang.
Keheningan di dalam ruangan itu terasa lebih berat daripada buku di atas meja. Swan Xin tidak menyentuhnya. Ia hanya menatap kotak kayu pernis hitam itu, napasnya dangkal, setiap indranya waspada seolah kotak itu bisa meledak kapan saja. Bi Lan benar, tidak ada yang masuk. Pintu terkunci dari dalam, dan ia sendiri tidak pernah meninggalkan paviliunnya setelah kembali dari perpustakaan Zheng Long. Ini bukan pekerjaan manusia biasa.
“Bi Lan, tinggalkan aku sendiri,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Tapi, Nona…”
“Pergi,” tegas Swan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku itu. “Dan jangan biarkan siapa pun masuk, apa pun alasannya.”
Setelah suara langkah kaki Bi Lan yang ragu-ragu menghilang, Swan akhirnya bergerak. Ia mendekati jendela berteralis kayu, tempat sehelai pita sutra biru tipis terikat di salah satu sudutnya, berkibar lembut ditiup angin sore. Dengan jemari yang mantap, ia melepas pita itu dan menggantinya dengan sehelai pita berwarna hitam pekat yang ia ambil dari laci riasnya. Sinyalnya telah dikirim.
Ia kembali ke meja dan akhirnya menyentuh buku itu. Kulitnya yang usang terasa kasar di bawah ujung jarinya. Ia membukanya. Halaman-halamannya yang menguning dipenuhi dengan catatan-catatan pinggir yang ditulis tangan, menganalisis setiap taktik dengan detail yang mengerikan. Ini bukan sekadar buku, ini adalah jurnal studi seorang jenius militer. Jurnal yang sangat familier.
Saat bayangan senja mulai merayap masuk ke dalam kamarnya, sesosok tubuh tanpa suara mendarat di teras luar, menyatu dengan kegelapan di sudut pilar. Prajurit Bayangan itu tidak mengetuk. Ia hanya menunggu. Swan merasakan kehadirannya seperti merasakan perubahan tekanan udara sebelum badai.
Ia melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya. “Kau lihat siapa yang meletakkannya di sini?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
“Tidak ada yang masuk ke paviliun ini, Nona,” jawab Prajurit Bayangan itu. Suaranya serak dan teredam di balik topeng peraknya. “Saya berjaga di sini sejak fajar. Tidak ada satu pun lalat yang lewat tanpa sepengetahuan saya.”
“Kalau begitu, jelaskan ini.” Swan mendorong buku tua itu ke arahnya di atas meja batu kecil di teras.
Prajurit itu melirik buku itu sekilas. “Saya tidak punya penjelasan, Nona.”
“Kau yang mengirimnya?” desis Swan, matanya menyipit. “Atas perintah Guru Wen? Atau Komandan Lei?”
“Bukan dari kami,” jawabnya datar. “Protokol kita jelas. Semua komunikasi harus melalui jalur yang telah ditentukan.”
“Berhenti bicara soal protokol!” sentak Swan, frustrasinya memuncak. “Faktanya, ada buku strategi militer langka di dalam kamarku yang terkunci, dan kau bilang tidak melihat apa-apa. Salah satu dari kita pasti gila atau pembohong.”
Prajurit itu tetap diam, posturnya tak tergoyahkan. “Mungkin ada jalan masuk lain yang tidak kita ketahui, Nona.”
“Mustahil.” Swan menggeleng. “Ini pesan. Seseorang sedang mencoba menghubungiku. Atau menjebakku. Dan aku mau tahu siapa.” Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Pengetahuanku soal perang seharusnya menjadi rahasia paling dalam. Hanya Guru Wen, Komandan Lei, dan segelintir Prajurit Bayangan senior yang tahu. Siapa lagi?”
“Tidak ada lagi, Nona,” jawab Prajurit itu tegas. “Daftarnya mutlak.”
“Kalau begitu daftarmu itu salah,” balas Swan dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berpacu. Ia harus berpikir logis. Ia adalah agen, bukan korban. “Oke. Lupakan cara masuknya. Pikirkan isinya. Siapa di istana ini yang punya akses ke koleksi pribadi kekaisaran? Buku seperti ini tidak dijual di pasar.”
“Ketiga Pangeran,” jawab prajurit itu seketika. “Menteri senior, dan beberapa sarjana dari Akademi Hanlin.”
“Terlalu banyak,” gumam Swan. “Persempit lagi. Siapa di antara mereka yang punya minat khusus pada strategi militer?”
“Pangeran Sulung menyukai parade militer, bukan strateginya,” kata Prajurit itu. “Dia lebih suka kilau baju zirah daripada peta pertempuran. Pangeran Kedua mengoleksi buku strategi, tapi hanya sebagai simbol intelektualitas. Dia membacanya, tapi tidak memahaminya di tingkat yang mendalam.”
“Lalu Pangeran Bungsu?” tanya Swan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Hening sesaat.
“Tidak ada laporan,” jawab Prajurit itu.
“Tidak ada laporan, atau kau tidak mau memberitahuku?” desak Swan tajam.
“Aktivitas Pangeran San Long sulit dipantau, Nona,” sahut prajurit itu, dan untuk pertama kalinya Swan menangkap nada keraguan dalam suaranya. “Dia tidak meninggalkan jejak. Dia seperti hantu.”
Swan mengusap wajahnya, merasa buntu. “Jadi, kita kembali ke titik nol.”
“Tidak juga, Nona,” kata prajurit itu pelan. “Informasi soal buku ini mungkin tidak ada. Tapi unit pengawas kami yang lain punya laporan soal aktivitas malam yang tidak biasa.”
“Aktivitas apa?” Mata Swan kembali fokus.
“Perpustakaan kekaisaran,” katanya. “Sejak Anda tiba, ada peningkatan aktivitas di sana. Di luar jam normal.”
“Zheng Long,” potong Swan. “Dia yang mengundangku ke perpustakaan pribadinya.”
“Bukan Pangeran Kedua, Nona. Ini terjadi di perpustakaan utama. Jauh setelah gerbangnya dikunci dan para sarjana pulang.” Prajurit itu berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Ada pengunjung tetap.”
Jantung Swan mulai berdebar pelan. “Pengunjung tetap? Siapa?”
“Kami tidak tahu,” akunya. “Dia tidak pernah terlihat masuk atau keluar lewat pintu utama. Tidak ada obor. Tidak ada suara. Penjaga patroli tidak pernah melihatnya. Tapi setiap pagi, salah satu pustakawan tua mengeluh ada buku-buku di bagian arsip militer terlarang yang posisinya bergeser beberapa senti.”
“Hantu lagi?” cibir Swan.
“Hantu tidak meninggalkan jejak sepatu di debu, Nona.”
Kata-kata itu membuat darah Swan terasa dingin. “Kau sudah memeriksanya?”
“Sudah. Pengunjung itu sangat profesional. Tapi ada satu kesalahan kecil. Kemarin malam, ada jejak tanah basah di kusen jendela belakang perpustakaan, lantai dua. Jendela yang sama yang engselnya sedikit longgar.”
Jendela yang sama yang ia gunakan. Jadi, ada orang lain yang tahu kelemahan itu.
“Zheng Long terlalu berhati-hati untuk melakukan hal seceroboh itu,” pikir Swan keras. “Dan Jiang Long terlalu bodoh. Berarti…” Ia berhenti. Ia tidak mau mengatakannya. Seolah mengucapkannya akan membuat kecurigaannya menjadi nyata.
Prajurit Bayangan itu seolah bisa membaca pikirannya. “Kami tidak punya bukti visual, Nona. Identitasnya masih misteri.”
“Terus cari,” perintah Swan. “Aku mau tahu siapa dia. Aku mau tahu segalanya.”
Prajurit itu mengangguk. “Siap, Nona.” Ia baru saja akan melebur kembali ke dalam bayang-bayang saat ia berhenti.
“Ada satu hal lagi.”
“Apa?” tanya Swan.
“Tanah basah yang tertinggal di kusen jendela itu,” lanjutnya, suaranya kini terdengar sangat pelan dan penuh arti. “Tim analis kami sudah memeriksanya.”
Hening menyelimuti teras itu, hanya suara jangkrik yang berderik mengisi kekosongan.
“Itu bukan tanah biasa dari taman kekaisaran,” bisik prajurit itu, matanya yang tersembunyi di balik topeng perak seolah menatap lurus menembus jiwa Swan. “Komposisi mineralnya unik. Hanya ditemukan di satu tempat di seluruh kekaisaran.”
“Di mana?” desak Swan, napasnya tercekat di tenggorokan.
“Di kamp pelatihan rahasia kita,” jawab prajurit itu. “Di puncak Gunung Giok.”jelas prajurit bayangan....
trmkash thor good job👍❤