Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Di Kotäsk Kaffe Co.
Riana berdiri di depan Kotäsk Kaffe Co., jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Udara pagi yang biasanya menenangkan terasa menyesakkan. Pertemuan ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan.
Ketika memasuki kafe, matanya langsung tertuju pada Kirana. Adiknya itu duduk di pojok, memegangi perutnya yang membesar. Wajahnya pucat dan matanya sembab, jauh berbeda dengan Kirana yang ceria dan penuh semangat yang dulu dikenalnya. Melihat Kirana seperti ini, hati Riana mencelos.
"Kirana," sapa Riana dingin, berdiri di depan meja.
"Mbak Riana," balas Kirana lirih, suaranya bergetar. Ia berusaha tersenyum, tapi yang terlihat hanyalah kesedihan yang mendalam. "Terima kasih sudah mau datang."
Riana duduk tanpa menjawab. Ia menatap adiknya itu dengan tatapan menyelidik. "Apa yang ingin kamu katakan? Kenapa kamu memintaku bertemu?"
Kirana menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian. "Saya... saya ingin minta maaf, Mbak. Maaf atas semua yang sudah terjadi. Maaf karena sudah menghancurkan hidup Mbak."
Riana tertawa sinis. "Maaf? Setelah semua yang kamu lakukan? Maafmu tidak berarti apa-apa, Kirana. Kamu merebut Raka dariku, kamu menghancurkan hatiku, dan sekarang kamu hamil anaknya. Apa yang bisa diperbaiki dengan kata maaf?"
Air mata mulai mengalir di pipi Kirana. "Saya tahu, Mbak. Saya tahu saya salah. Tapi saya tidak punya pilihan. Saya..." Ia berhenti, seolah ada kata-kata yang tercekat di tenggorokannya.
"Tidak punya pilihan? Apa maksudmu?" Riana mendesak.
Kirana menunduk, menyembunyikan wajahnya. "Ibu... Ibu yang menyuruh saya, Mbak. Ibu yang menjodohkan saya dengan Raka."
Riana terkejut. "Ibu? Apa yang kamu katakan? Itu tidak mungkin!"
"Itu benar, Mbak. Ibu dan Bapak yang merencanakan semuanya. Mereka ingin Raka menikahi saya karena..." Kirana berhenti lagi, tampak ragu untuk melanjutkan.
"Karena apa? Katakan padaku, Kirana! Jangan bertele-tele!" Riana kehilangan kesabaran.
Kirana mengangkat wajahnya, menatap Riana dengan tatapan memohon. "Karena saya mengandung anak Raka, Mbak. Kami... kami sudah lama berhubungan diam-diam."
Riana merasa seperti disambar petir. Kata-kata Kirana menghantamnya seperti pukulan keras. Ia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Adiknya sendiri, dengan sengaja berselingkuh dengan tunangannya, dan ibunya sendiri, merencanakan pernikahan mereka?
"Itu... itu tidak mungkin," Riana menggelengkan kepalanya, berusaha menyangkal kenyataan. "Kamu berbohong, Kirana! Kamu pasti berbohong!"
"Saya tidak berbohong, Mbak," Kirana terisak. "Saya punya bukti. Ini..." Ia mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Riana. "Ini surat dari Raka. Dia menjelaskan semuanya di sana."
Riana menerima surat itu dengan tangan gemetar. Ia menatap amplop itu dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Marah, sedih, bingung, semuanya bercampur aduk menjadi satu.
"Apa... apa yang ada di dalam surat ini?" tanya Riana lirih.
"Semua kebenaran, Mbak. Tentang hubungan saya dan Raka, tentang rencana Ibu dan Bapak, tentang alasan mengapa saya harus menikahi Raka." Kirana menunduk, menyembunyikan wajahnya. "Saya mohon, Mbak. Baca surat ini dan maafkan saya. Saya tahu saya sudah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak punya pilihan lain."
Riana memegang surat itu erat-erat. Ia merasa seperti sedang memegang bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia tidak tahu apakah ia berani membuka surat itu. Ia takut dengan kebenaran yang mungkin akan menghancurkan hidupnya.
"Kenapa kamu memberitahuku semua ini sekarang, Kirana?" tanya Riana. "Kenapa tidak dari dulu?"
"Karena saya tidak tahan lagi, Mbak. Saya tidak bisa hidup dengan kebohongan ini. Saya ingin Mbak Riana tahu yang sebenarnya, meskipun itu berarti Mbak Riana akan membenci saya selamanya."
Riana terdiam. Ia menatap adiknya itu dengan tatapan iba. Ia melihat penyesalan dan kesedihan yang mendalam di mata Kirana. Ia tahu bahwa Kirana juga adalah korban dalam semua ini.
"Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan," Riana akhirnya bersuara. "Saya butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
"Saya mengerti, Mbak," Kirana mengangguk. "Saya akan menunggu. Tapi tolong, Mbak. Baca surat itu dan ketahui kebenarannya."
Riana berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan Kirana yang terisak di kafe. Ia berjalan tanpa arah, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang yang paling dicintainya.
Di apartemen, Riana duduk di sofa, memandangi surat itu. Ia merasa seperti sedang menghadapi ujian terberat dalam hidupnya. Ia tahu bahwa surat ini bisa mengubah segalanya. Bisa menghancurkan keluarganya, bisa menghancurkan hatinya, atau mungkin, bisa membebaskannya.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi Bima. "Bim, bisakah kamu datang ke apartemenku sekarang? Aku butuh kamu. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus aku ceritakan."
Saat menunggu Bima, Riana membuka surat itu dengan tangan gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca, bersiap menghadapi kebenaran yang mungkin akan menghancurkan seluruh hidupnya
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*