Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 20
“Sama bapak, dikasihkan Eli anaknya tante Triani, terus – baju-baju bagus dari Bunda, direbut tante Dwita. Aku cuma boleh nyoba, disuruh gaya karena di foto, abis itu dilepas lagi.” Gadis kecil itu sibuk mengelap air mata yang terus mengalir.
Septian memalingkan wajah, tidak sanggup melihat dua sosok yang dia sayangi segenap hati sama-sama menangis tergugu.
“Mas Tian sering dipukul pakek penggaris papan sama tante Dwita … cuma dikarenakan sering nyuri sayur atau irisan ikan diatas meja untuk aku makan. Bapak juga, beberapa kali menyabet kaki mas Tian pakek ikat pinggang. Mas Tian hampir setiap hari puasa, biar aku bisa kenyang. Hari-hari kami makan nasi putih, kuah bening atau santan. Dilarang ngambil lauk, paling enak tempe goreng sama kentang.” Ambar sesenggukan, dia adukan semuanya, kecuali tentang memulung.
Huff huff … Sriana kesulitan bernapas, kepalan tangannya memukul dada. “Kenapa kalian ndak pernah cerita ke Bunda?”
Tian yang menjawab, dia tatap pilu sang ibu. Dirinya pun berlinang air mata walaupun menangis tanpa suara. “Kata Bapak, Tante, Nenek, Kakek – kalau kami ngadu ke Bunda ataupun orang lain, nanti pas Bunda pulang … kita bakalan diusir dari rumah.”
Ambar menambahkan, dia sudah duduk sendiri di samping kakaknya. “Katanya nanti kita bakalan tinggal dikolong jembatan kalau nggak kandang Ayam. Ndak apa-apa ya Bun, asal aku sama mas Tian ikut Bunda, kita sama-sama. Ambar ndak mau bareng mereka lagi, ndak ada yang sayang.”
“Mereka bohong! Semua bohong! Rumah itu punya Bunda, warisan dari mbah Uti kalian, nantinya juga jadi kepunyaan mas Tian, dek Ambar. Jangan didengerin kalau orang-orang itu ngomong aneh! Semisal mau main tangan, lari keluar! Teriak yang kenceng biar mereka ditangkap polisi!” dia terlanjur emosi, sakit sekali hatinya.
“Bunda ….” Tian memanggil pelan ibunya, ada yang ingin ditanyakan.”
“Dalem, Le?” (Iya, Nak)
“Apa bener Bunda punya pacar di sana. Tante Triani bilang, Bunda malas pulang cuti dikarenakan sudah memiliki kekasih. Terus ada rencana nikah lagi, jadi warga sana. Kami nanti sama siapa, Bun?”
Sejatinya, baik Septian maupun Ambar – mereka masih anak-anak, memiliki ketakutan akan kesendirian. Bukan mereka tidak berusaha mengadu mencari perlindungan, pernah suatu ketika mendatangi rumah neneknya, ibunya Triani. Si sulung menceritakan bagaimana perlakuan keluarga ayahnya, bukannya dibela malah disuruh pulang. Begitu sampai rumah, disabet tali pinggang.
Dari sanalah, Septian lebih memilih menyimpan semua keluh kesahnya seorang diri. Dia juga takut akan ancaman bertubi-tubi.
“Tian, sebelum Bunda berangkat ke Hongkong juga pernah cerita ke kalian kan? Kalau mau bekerja sampai empat tahun saja, setelah itu pulang terus biar bisa bareng-bareng lagi. Setiap kali kita video call, Bunda juga dirumah, ndak kemana-mana. Le … kalaupun Bunda berada di belahan dunia lain, kalian pasti tak bawa. Mas Tian serta dek Ambar – harta yang paling berharga bagi Bunda.”
Pulang cuti, terus kembali lagi kerja, pisah jarak bukan hal mudah – tabungan terkuras, perasaan kembali gundah gulana sama seperti awal dia menjejakkan kaki di negeri ini.
“Njuk Bunda mantuk’e kapan?” Ambar menanyakan kapan ibunya pulang.
“Insyaallah sekitar enam bulan lagi. Apa kalian masih bisa menunggu, Nak? Atau Bunda pulang saja?” dia ingin mendengar pendapat, kata hati putra putrinya. Rasanya, semuanya tidak lagi berarti setelah tahu kondisi mereka.
“Kami bisa tahan sampai Bunda pulang. Enam bulan itu kan cuma sebentar,” jujur Septian, dia tahu dari sorot mata ibunya yang tengah bingung.
Ambar mendongak melihat ekspresi kakaknya, kala Septian mengangguk, dia lantas menatap lagi ibunya. “Tapi jangan lebih dari enam bulan ya, Bun?”
“Insyaallah, Nduk. Secepatnya Bunda pulang, kita pasti berkumpul lagi.” Dia mengangguk yakin.
“Mas Septian, Ambar Ratih – tolong dengerin Bunda baik-baik ya, Nak?”
Putra-putri Sriana mengangguk, memandang serius ibunya.
“Mulai besok pagi, kalian ndak perlu jalan kaki ke sekolah. Keluar rumah seperti biasa saja, terus mampir ke rumah bude Wulan – sarapan dulu disana. Nanti lek Dimas yang akan mengantarkan ke sekolah, sewaktu pulang juga dijemput, makan siang lagi di tempat Bude. Mau ‘kan?” tuturnya lembut.
“Apa ndak merepotkan, Bun?” lirih Tian, matanya melirik segan Wulan dan suaminya yang sedang duduk diatas rumput, memberikan ruang.
“Ndak. Bunda sudah ngomong, dan Alhamdulillah mereka setuju. Kalau semisal kalian ingin makan apa, bilang saja. Minta tolong bude Wulan masakan.”
Mata Ambar menyipit, senyum manis terbit, dia terlihat senang, mengangguk kuat-kuat.
Septian pun tersenyum lebar memperlihatkan sepasang lesung pipinya. “Terima kasih nggeh, Bun. Maaf, belum bisa jadi anak kebanggaan, belum bisa bahagiain Bunda _”
“Mas Tian itu putra kebanggaan Bunda, pahlawan adek Ambar, kesayangan kami. Lee, Bunda ndak minta apa-apa. Cukup kamu sehat, baik-baik saja, bahagia, sudah Alhamdulillah senangnya hati ini.” Jemarinya menyentuh layar ponsel seolah tengah mengelus pipi Septian. "Maafkan Bunda ya, Nak. Maaf sudah meninggalkan kalian bersama orang ndak punya hati nurani."
Tian menggeleng. "Bukan salah Bunda." Dia memejamkan mata seakan meresapi sentuhan tak nyata itu.
“Dek Ambar juga putri kesayangan Bunda. Kalian berdua permata hati Bunda, tak ternilai dan takkan tergantikan. Sehat-sehat ya Sayang, kita pasti berkumpul lagi.”
“Bunda aku mau peluk, boleh?” Ambar merentangkan kedua tangannya, dia minta dipeluk virtual.
Sriana mengangguk antusias, dia mundur sedikit lalu memeluk dirinya sendiri.
Septian merangkul pundak adiknya, mereka sama-sama memejamkan mata, menghayati seolah pelukan ini nyata.
Menit pun berlalu, Ambar membuka matanya, dia memajukan bibir mengecup kening ibunya.
Sriana yang mendengar suara kecupan hangat itu mengerjap, mendekatkan wajahnya ke layar ponsel.
Malu-malu Septian mencium pipi berjerawat sang ibu.
“Bunda jelek ya, Mas?”
“Ndak. Bunda cantik hati serta parasnya. Sehat-sehat nggeh Bun, aku sayang, kangen sama Bunda.”
“Bunda juga, Le. Sekarang pesen makanan sana, sarapan dulu baru berenang ya.”
"Boleh pesen dua ndak, Bun? Ambar kepengen mie ayam sama bakso.” Dia langsung menunduk.
“Boleh, Nduk. Tapi makannya satu dulu, nanti kalau lapar baru pesen lagi, ya. Ambar kalau renang hati-hati, dengerin mas Tian ya, Nak?” ia memberi pengertian.
Ambar langsung mengiyakan, menarik tangan kakaknya. Mereka berlari ke warung yang berada di area kolam renang.
***
“Nek perihal pakaian, kita ndak bisa mengusahakan Sri. Nanti mereka curiga, biarkan saja untuk sementara – Tian, Ambar mengenakan baju yang ada dulu,” ucap Dimas, suaminya Wulan.
Sriana mengangguk paham, dia tidak ingin membuat kedua anaknya dalam keadaan lebih buruk lagi dari ini.
“Motor sekennya apa sudah dapat, Mas?”
“Ada ini yang mau jual. Punyanya mas Zahid Bagas, motor Honda Vario 125 cc, harga sepuluh juta tahun 2020.”
“Dia niat jual motor atau mau sedekah?”
.
.
Bersambung.
semoga berhasil
kacublik bikin para penghuni rumah Sri Podo teler sek Yo Ben Tian Ambar berhasil sek
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka