NovelToon NovelToon
Janji Di Atas Bara

Janji Di Atas Bara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.

Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.

Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.

"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.

Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 17

Darwis menurunkan Gilang di depan bioskop miliknya. Seperti biasa, Gilang bertugas di loket, menerima tiket penonton satu per satu. Di tengah rutinitas itu, ponselnya tiba-tiba berdering.

Suara di seberang membuat matanya membulat, napasnya tercekat.

"Apa?"

"---"

"Kapan?"

"---"

Tanpa pikir panjang, Gilang menutup panggilan itu. Ia langsung meraih kunci motor dan tancap gas menuju rumah Darwis. Begitu tiba, ia tak sempat mengetuk pintu kamar Irvana.

"Irvana! Hey, bangunlah! Aku sudah menelfonmu dari tadi!"

Irvana membuka mata, separuh sadar, namun begitu mendengar kabar dari Gilang, wajahnya langsung pucat. Ia bangkit, mengenakan jaket tanpa sempat mandi, lalu keluar dengan langkah terburu-buru.

Motor kesayangannya meraung di jalan, melaju seolah sedang mengejar waktu yang tak mau berhenti. Angin menampar wajahnya, tapi bukan itu yang membuat matanya berair_ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar kehilangan napas.

Rumah besar di ujung jalan itu sudah ramai. Rumah Dharma.

Begitu Irvana tiba, gerbang besar sudah terbuka, dan di dalam sana, lautan manusia berpakaian hitam memenuhi halaman. Ia menerobos di antara mereka, langkahnya tergesa, dadanya sesak.

Di ruang tengah, tubuh Nenek Ratna terbujur kaku, tertutup kain putih. Irvana terpaku. Ia berdiri di sana cukup lama, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak mungkin datang lagi. Lalu, dari tangga besar di ujung ruangan, beberapa gadis turun, wajah mereka muram tapi masih berusaha tersenyum pada para tamu.

Senyum itu membuat hati Irvana mencelos_karena di antara mereka, tak ada Raisa.

Ia menoleh ke arah gerbang ketika suara sirine terdengar dari kejauhan. Mobil hitam berhenti tepat di depan. Irvana berlari, berharap. Tapi yang turun bukan Raisa_hanya kerabat Dharma dan beberapa sahabat lama keluarga itu.

Harapan Irvana runtuh di tempat.

Ia akhirnya duduk di depan gerbang yang terbuka lebar, menyalakan rokoknya dengan tangan bergetar. Asapnya naik pelan, bercampur dengan aroma bunga kamboja dan doa-doa yang berhembus di udara.

Sementara itu, Dharma berjalan di belakang iring-iringan pelayat yang mengantar jenazah Nenek Ratna ke pemakaman. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat Irvana di kejauhan_duduk dengan rokok di tangan, dan sebotol minuman yang setia di sisinya.

Tatapan mereka bertemu.

Dharma menatap dingin, sinis.

Irvana membalas dengan pandangan yang tak kalah tajam_mata seorang Ayah yang kehilangan anaknya karena Irvana, dan seorang pria yang masih menyimpan luka terlalu dalam untuk bisa sembuh.

Darwis mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Matanya setengah terpejam, wajahnya memerah karena alkohol yang sudah terlalu lama menemaninya malam ini.

"Aku punya pantun," katanya dengan nada mabuk, senyum miring di bibirnya. "Dengarkan ini. Jika aku adalah alkohol\_"

"Maka kau tidak akan pernah penuh, dan selalu tetap setengah botol," potong Gilang cepat. Semua tertawa, kecuali Irvana.

Darwis ikut tertawa, meski tawanya serak. "Jika aku adalah alkohol, entah air dingin atau soda, aku akan jadi favorit semua orang. Mau saat bahagia atau berkabung, aku tetap ada di tengah mereka."

"Baguus!" seru Gilang sambil menepuk meja. Tawa pecah.

Tapi Irvana hanya diam, menatap kosong ke arah botol di tangannya. Tatapan yang lebih dalam dari sekadar pantulan cahaya di kaca.

Darwis kembali meneguk minumannya. "Jika aku alkohol," katanya lagi, setengah tertawa, setengah berkhayal, "hari akan kering, dan itu hari istirahatku! Hahaha!"

"Hey!" Gilang protes. "Pantun macam apa itu? Sama sekali tidak nyambung."

Namun tawanya masih belum berhenti.

Di bawah layar bioskop yang sudah gelap, suara Irvana akhirnya terdengar. Pelan, berat, tapi setiap katanya jatuh dengan makna.

"Jika aku alkohol," katanya, "aku akan menetes di tenggorokan, membuat mabuk setiap hati. Aku akan mengambil alih kesadaran, memaksa semua rasa tunduk padaku. Dan aku akan memuaskan setiap kehausan yang bahkan air pun tak bisa sembuhkan."

Ruangan tiba-tiba hening.

Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar, dan denting gelas yang diletakkan Darwis di meja.

Darwis bangkit, matanya menatap Irvana lama sekali sebelum berbicara.

"Buatkan aku satu gelas lagi, Gilang," katanya pelan. "Malam ini aku baru saja melihat Irvanaku yang dulu."

Langkahnya berat tapi pasti, menghampiri Irvana yang duduk bersandar di bawah layar. Ia berhenti di depan anak itu\_anak yang bukan darah dagingnya, tapi entah bagaimana selalu ia anggap bagian dari dirinya sendiri.

"Anakku satu-satunya adalah sseorang pahlawan," ucap Darwis pelan. "Siapa yang peduli kalau waktu menjadikannya penjahat? Dia tetap anakku. Dan aku bangga padanya."

Irvana bangkit, lalu tanpa kata memeluk Darwis. Pelukan itu singkat, tapi rapuh, seolah kalau terlalu lama, keduanya akan runtuh bersamaan.

"Setiap ayah memberi nama pada anaknya," kata Irvana, suaranya serak. "Tapi dalam cerita kita, justru aku yang memberi nama untuk ayahku. Sejak aku datang ke hidupmu, semua orang memanggilmu Daddy."

Darwis tersenyum tipis. "Itulah hebatnya dirimu, Nak. Kau berbeda. Kau selalu spesial bagiku."

Ia menatap wajah Irvana yang kini tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan.

"Saat kau berumur sepuluh tahun, kau memeluk kakiku di depan makam orang tuamu. Sejak hari itu, aku bersumpah merawatmu seperti darah dagingku sendiri," ucap Darwis dengan suara bergetar.

"Dan kalau kau benar menganggapku ayahmu... dengarkan aku baik-baik."

Ia menarik napas panjang.

"Jadilah Irvanaku yang dulu, Nak. Aku sangat merindukan Irvanaku. Aku mohon."

Darwis kembali memeluk Irvana, kali ini lebih erat. Sesaat, waktu seperti berhenti.

Lalu ia berbalik, meninggalkan bioskop itu\_meninggalkan anak yang berdiri diam, masih memegang botol yang setengah kosong, seperti hidupnya malam itu.

Irvana tak bersuara.

Matanya berkaca, dadanya sesak. Ia ingin sekali kembali seperti dulu\_menjadi Irvana yang tertawa keras tanpa alasan, yang percaya bahwa luka bisa sembuh hanya dengan waktu.

Tapi Raisa masih di kepalanya.

Dan beberapa nama memang tidak bisa dilupakan, sekeras apa pun kita mencoba.

~

Setelah semua pergi\_Darwis, Gilang, dan sisa tawa yang menggantung di udara\_bioskop itu kembali sunyi.

Irvana masih berdiri di tengah ruangan, menatap layar putih yang kosong. Hening. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar.

Perlahan, ia mengeluarkan ponselnya. Jemarinya gemetar saat menyambungkan kabel ke proyektor. Seketika layar besar itu menyala, membelah kegelapan ruangan.

Dan di sana, muncul wajah yang sudah lama tak ia lihat.

**Raisa**.

Tersenyum lebar. Senyum yang pernah membuat dunia Irvana terasa hidup lagi.

"*Hey, jangan rekam aku*," suara Raisa terdengar renyah, seperti dulu. "*Kalau ada yang lihat, bisa gagal rencana kita*."

Irvana menekan tombol pause.

Wajah Raisa terhenti di tengah tawa. Rambutnya jatuh di sisi pipi, matanya berkilat dalam cahaya lembut layar. Sempurna\_begitu nyata sampai terasa menyakitkan.

Irvana duduk di kursi penonton paling tengah. Kursi yang dulu mereka duduki berdua. Ia menatap layar lama sekali, seolah ingin masuk ke dalamnya, ke masa yang tak bisa disentuh lagi.

Botol di tangannya bergetar sedikit saat ia menenggaknya. Alkohol itu menelusuri tenggorokan, membakar dada, tapi tak cukup kuat untuk menghapus ingatan.

"Raisa--" suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa?"

Ia menatap wajah di layar itu\_wajah yang tak akan menjawab lagi.

"Kenapa harus aku?"

Kalimat itu jatuh di antara kursi kosong dan pantulan cahaya putih.

Tak ada jawaban, hanya gema lembut dari sistem suara bioskop, dan bayangan senyum Raisa yang tetap membeku di sana\_abadi, tapi tak bisa diraih.

...----------------...

**Next Episode**....

1
Deyuni12
dikit amaaaaat
Miss Ra: siaaaap
total 3 replies
Deyuni12
complicated
oh cintaaaa
Deyuni12
sungguh memilukan
Deyuni12
hadeeeeh
kumaha ieu teh atuh nya
Kutipan Halu
mampir kak, mampir jg ya ke karyaku "DIMANJA SAHABAT SENDIRI"☺☺
Deyuni12
lanjuuuut
Jee Ulya
Tapi kalau kebanyakan naratifnya, aku nggak bisa nafas. hihi😁
Jee Ulya
Nyampeee, Aromanyaaa nyampe siniii kaaaak😍😍😍
Jee Ulya: luv banyaak banyaaak
total 4 replies
Jee Ulya
😭😭😭😭 bagus bangettt
Jee Ulya
Aaah diksinyaaaa bikin meleleeeh 😭😭😭
Deyuni12
agaiiiiiin
Deyuni12
lagiiiiii
Deyuni12: d tungguuuu
total 2 replies
Deyuni12
makin penasaran dengan kisah cinta mereka n juga mungkin dendam d masa lalu antara kedua org tua mereka,,hm
lanjut
Deyuni12
hancurkaaaaan
Deyuni12
cinta 🥺🥺🥺
Deyuni12
huft 🥺🥺
Deyuni12
pertikaian dua sahabat kental,berujung kepahitan yg d dapat irvana,,hm
Deyuni12
jeng jeng jeeeng
badai akan segera d mulai
Deyuni12
memadu kasih
hm
lanjut
Deyuni12
hm
haruskah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!