Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Tiga bulan berlalu dengan ritme yang intens tapi teratur. Studio Garasi kini sudah punya delapan episode yang tayang di TVRI dan empat episode di SCTV. Nama mereka mulai dikenal, tidak hanya di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, dan Medan.
Surat-surat dari penonton terus berdatangan. Kael membuat papan khusus di dinding studio untuk menempelkan surat-surat favorit mereka, surat dari anak SD yang bilang Rizal adalah karakter favoritnya, surat dari guru yang berterima kasih karena animasi mereka membantu mengajarkan nilai moral, dan bahkan surat dari orang tua yang bilang mereka menonton bersama anak-anak mereka setiap Sabtu pagi.
"Ini yang bikin gue semangat. Bukan honor, bukan rating. Tapi surat-surat kayak gini." Kael berbicara sambil menempelkan surat baru dari seorang anak perempuan di Yogyakarta yang menggambar Rizal dengan crayon warna-warni, suaranya penuh emosi yang ia coba sembunyikan tapi tidak berhasil.
"Gue juga. Setiap kali gue capek atau bosen, gue baca surat-surat ini. Langsung semangat lagi." Rani menambahkan sambil berdiri di sebelah Kael, matanya memindai surat-surat yang sudah memenuhi setengah papan.
Tapi di balik kesuksesan yang mulai terlihat, ada masalah baru yang muncul, masalah yang lebih kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan kerja keras semata.
Suatu sore, Dimas datang ke ruang kerja Kael di lantai satu dengan wajah serius yang jarang ia tunjukkan. "Kael, gue perlu ngomong sesuatu. Penting."
Kael mendongak dari laporan keuangan yang sedang ia cek. "Ada apa, Mas?"
Dimas duduk di kursi di depan meja Kael, tangannya meremas-remas jari dengan gelisah. "Gue... gue dapet tawaran dari studio lain. Studio animasi di Bandung. Mereka nawarin gaji dua kali lipat dari yang gue terima sekarang, plus benefit kesehatan."
Kael terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Ini adalah momen yang ia takuti, momen ketika orang-orang yang ia percaya mulai mempertimbangkan opsi lain. "Lu... mau terima tawarannya?"
Dimas menatap Kael dengan tatapan yang penuh konflik. "Gue gak tau, Kael. Di satu sisi, gue sayang sama Studio Garasi. Ini rumah gue. Tapi di sisi lain... gue butuh uang. Bokap gue sakit, biaya pengobatan mahal. Gaji di sini... gak cukup."
Kael merasakan dadanya sesak. Ia tahu perasaan ini, perasaan tidak berdaya ketika uang menjadi faktor yang memisahkan orang-orang yang ia sayangi. "Berapa yang lu butuh? Buat biaya pengobatan bokap lu?"
"Sekitar dua juta. Gue udah coba cari pinjaman, tapi gak ada yang mau kasih tanpa jaminan." Dimas menjawab dengan suara pelan, tidak berani menatap Kael.
Kael berpikir cepat. Dana operasional studio masih cukup untuk dua bulan ke depan. Kalau ia ambil dua juta dari situ, mereka masih bisa bertahan, meskipun ketat. "Gue pinjamin lu. Dua juta. Anggap aja bonus. Lu gak perlu bayar balik. Asal lu stay di sini."
Dimas mendongak cepat, matanya membulat dengan perasaan tidak percaya. "Kael... lu serius? Tapi... studio kita masih kecil. Uang segitu besar banget."
"Gue lebih butuh lu di sini daripada uang itu. Lu salah satu founding member. Lu gak bisa pergi, Mas." Kael berbicara dengan nada tegas tapi penuh emosi, matanya menatap Dimas dengan tatapan yang memohon tanpa kata-kata.
Dimas terdiam. Air mata mulai mengalir di pipinya, tangis yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah. "Kael... gue gak tau harus bilang apa. Makasih. Makasih banget."
Kael berdiri, menghampiri Dimas, lalu memeluknya dengan erat. "Kita keluarga, Mas. Keluarga gak ninggalin keluarga. Apapun yang terjadi, kita hadapi bareng." Kael berbicara dengan suara yang bergetar, pelukannya semakin erat seolah takut Dimas akan menghilang.
Dimas membalas pelukan itu sambil terisak. "Gue janji gak akan kemana-mana. Studio Garasi adalah rumah gue."
Setelah Dimas keluar dengan mata merah tapi senyum lega, Kael kembali duduk di kursinya. Ia menatap buku kas yang terbuka di meja, angka-angka yang ia hitung dengan cermat kini harus direvisi. Dua juta bukan jumlah kecil untuk studio sekecil mereka. Tapi ia tidak menyesal. Keputusan tadi adalah keputusan yang benar, keputusan yang memprioritaskan manusia di atas angka.
Tapi ia juga sadar bahwa ini adalah tanda peringatan. Mereka perlu pendapatan yang lebih stabil, lebih besar, agar tidak ada lagi anggota tim yang harus memilih antara keluarga dan mimpi.
Malam itu, Kael berkumpul dengan Rani, Budi, dan Arman di lantai satu. Ia menjelaskan situasi keuangan mereka dengan jujur, tidak ada yang ia sembunyikan. Transparansi adalah salah satu prinsip yang ia pegang erat sejak awal.
"Gue pinjamin Dimas dua juta untuk biaya pengobatan bokap-nya. Itu berarti dana operasional kita tinggal cukup untuk dua bulan. Kalau kita gak dapet income tambahan, kita bakal kesulitan bulan ketiga." Kael menjelaskan sambil menunjukkan laporan keuangan yang sudah ia update, suaranya tenang tapi ada kekhawatiran yang tersirat.
"Apa kita perlu cari klien lain? Selain TVRI sama SCTV?" tanya Budi sambil menggigit kukunya lagi, kebiasaan buruk yang selalu muncul saat ia cemas.
"Itu salah satu opsi. Tapi gue gak mau kita terlalu spread out. Nanti kualitas turun." Kael menjawab sambil mencatat di buku catatannya, pikirannya sudah mulai merangkai strategi alternatif.
"Gimana kalau kita bikin merchandise? Poster, komik, kaos dengan gambar Rizal? Penonton kayaknya suka banget sama karakter kita. Pasti laku." Rani memberikan ide sambil menunjukkan beberapa surat penonton yang memang menanyakan apakah ada merchandise Rizal yang bisa dibeli.
Kael menatap surat-surat itu dengan mata berbinar. "Ide bagus, Ran. Tapi kita butuh modal awal buat produksi. Cetak poster, bikin kaos, itu gak murah."
"Berapa kira-kira?" tanya Arman yang dari tadi mendengarkan dengan serius, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang tidak beraturan.
"Minimal lima ratus ribu buat test market. Kita cetak seratus poster, lima puluh kaos. Kita jual murah dulu, liat responnya." Kael menghitung cepat di kertas, angka-angka yang ia sudah pelajari dari pengalaman di kehidupan sebelumnya tentang bisnis merchandise.
"Kita masih punya dana segitu?" tanya Budi dengan nada hati-hati.
"Punya. Tapi itu dana darurat. Kalau kita pake, kita bener-bener gak punya safety net." Kael menjawab dengan nada ragu, tidak yakin apakah ini keputusan yang bijak.
Hening sejenak. Mereka saling menatap dengan ekspresi yang sama, campuran antara takut dan ingin mencoba.
Akhirnya Rani yang berbicara. "Gue rasa kita harus ambil risiko. Kalau kita selalu main aman, kita gak akan berkembang. Kita udah sampai sejauh ini dengan ambil risiko. Kenapa sekarang harus berhenti?"
Kael menatap Rani dengan tatapan yang penuh terima kasih. "Lu bener. Oke. Kita coba. Gue akan kontak percetakan besok. Kita target launching merchandise dua minggu dari sekarang."
Dua minggu berikutnya adalah masa-masa yang sibuk tapi menyenangkan. Di sela-sela produksi episode reguler, mereka juga menyiapkan desain merchandise. Dimas menggambar berbagai pose Rizal yang lucu dan ekspresif untuk poster dan kaos. Rani mendesain layout yang menarik. Budi bahkan membuat jingle pendek untuk promosi merchandise mereka.
"Rizal si anak kampung, teman setia yang selalu riang. Poster dan kaosnya kini hadir, untuk teman-teman semua!" Budi menyanyikan jingle itu dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil, membuat semuanya tertawa keras sampai perut mereka sakit.
"Bud, lu gak usah jadi sound designer. Lu lebih cocok jadi pelawak," gurau Agus sambil tertawa, tangannya memegang perut yang sakit karena kebanyakan ketawa.
"Gue multitalenta, Gus. Jangan remehkan," balas Budi sambil tersenyum bangga, lalu melanjutkan menyanyi dengan gaya yang lebih lebay lagi.
Hari peluncuran merchandise, mereka membuat booth kecil di pasar malam Tebet, tempat yang menjadi inspirasi animasi pertama mereka. Poster-poster Rizal dipajang dengan rapi, kaos-kaos digantung di tali, dan mereka bertiga, Kael, Dimas, dan Rani berdiri di booth dengan senyum lebar sambil menawarkan merchandise kepada pengunjung pasar malam.
"Kakak, ini Rizal! Rizal dari TV! Ada posternya, ada kaosnya juga!" teriak Rani dengan semangat, suaranya bersaing dengan pedagang-pedagang lain yang juga berteriak menawarkan dagangan mereka.
Respon awalnya lambat. Orang-orang lewat, melirik sebentar, tapi tidak berhenti. Kael mulai cemas, bagaimana kalau merchandise mereka tidak laku? Bagaimana kalau ini investasi yang sia-sia?
Tapi kemudian, seorang anak perempuan kecil berhenti di depan booth mereka, matanya berbinar melihat poster Rizal. "Mama! Itu Rizal! Rizal dari TV! Aku mau posternya!"
Ibu anak itu tersenyum, lalu menghampiri booth mereka. "Berapa, Mbak?"
"Lima ribu, Bu. Posternya bagus, kertas tebal." Rani menjawab dengan senyum ramah, tangannya mengambil poster dan menunjukkan kualitasnya.
"Ambil dua ya. Satu buat adiknya juga." Ibu itu membayar sepuluh ribu, lalu memberikan poster kepada anak-anaknya yang langsung memeluk poster itu dengan senang.
Itu adalah penjualan pertama mereka. Dan setelah itu, seperti efek domino, orang-orang mulai berhenti. Anak-anak mengenali Rizal, meminta orang tua mereka untuk membelikan poster atau kaos. Beberapa bahkan minta tanda tangan dari Kael dan Dimas, sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Dalam tiga jam, semua poster laku. Kaos tinggal lima. Mereka terjual habis sebelum pasar malam tutup.
Kael menghitung uang dengan tangan gemetar, delapan ratus ribu dari penjualan malam itu. Setelah dikurangi modal, mereka untung tiga ratus ribu. Tidak banyak, tapi ini adalah bukti bahwa merchandise mereka punya pasar.
"Kita... kita berhasil," bisik Dimas dengan suara tidak percaya, matanya menatap tumpukan uang di tangan Kael.
"Kita berhasil," ulang Rani sambil tertawa lega, tangannya menyeka keringat di dahinya setelah tiga jam berdiri dan berteriak.
Kael tersenyum lebar, senyum yang penuh lega dan kebahagiaan. "Ini baru awal. Minggu depan kita cetak lebih banyak. Kita coba jual di sekolah-sekolah, di toko-toko buku. Kita bisa bikin ini jadi aliran pendapatan yang stabil."
Dan malam itu, di tengah keramaian pasar malam yang mulai sepi, tiga anak muda itu berdiri di booth kecil mereka dengan senyum lebar dan hati yang penuh harapan. Mereka tidak hanya membuat animasi, mereka sedang membangun brand, membangun bisnis, dan membangun masa depan yang lebih cerah untuk Studio Garasi.