Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Kencan
Matahari Minggu bersinar hangat, langit bersih tanpa awan. Icha berdiri di depan cermin, mengenakan hoodie biru muda dan celana jeans yang paling nyaman miliknya. Dinda, yang datang khusus pagi-pagi hanya untuk membantu, sudah sibuk di belakang, mengecek rambut Icha.
“Lo yakin ini bukan kencan?” Dinda menyeringai, mengangkat alis.
“Dia cuma ngajak jalan-jalan, kok,” jawab Icha pelan.
“Cha… lo berdandan lebih lama dari biasanya. Itu definisi kencan.”
Icha pura-pura sibuk membenarkan tali sepatunya. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah sejak kapan, ada degup-degup tak biasa setiap kali nama Albar disebut.
Albar menunggu di depan rumah Icha, mengenakan kemeja kotak-kotak dan jaket jeans—penampilannya sedikit lebih rapi dari biasanya. Tangannya membawa dua cup minuman boba, dan wajahnya sumringah saat melihat Icha keluar dari gerbang.
“Eh, sinyal gue akhirnya keluar rumah juga!” serunya ceria.
Icha tersenyum, mencoba menahan malu. “Ngaco banget, Bar.”
“Gue serius. Sejak tadi pagi, wifi hati gue udah deteksi perangkat baru. Ternyata lo!” Albar mengedip, membuat Icha mencubit lengannya pelan.
Mereka naik angkot ke taman kota, tempat penuh pepohonan rindang dan aroma jajanan khas hari Minggu. Ada suara anak-anak tertawa, penjual balon, dan keluarga kecil yang piknik di rerumputan. Albar berjalan di samping Icha, kadang sengaja memperlambat langkah hanya untuk mencocokkan langkah mereka.
“Lo tau gak, Cha?” katanya tiba-tiba. “Gue udah suka sama lo dari awal masuk sekolah.”
Icha melirik. “Dari awal banget?”
“Ya… dari pertama kali lo ngomelin gue soal wifi. Gue pikir, ‘wah, cewek ini beda. Galaknya orisinil’.”
Icha tertawa, “Itu bukan galak, Bar. Itu kesel.”
“Dan dari kesel lo, lahirlah cinta.”
Icha menggeleng pelan, geli sendiri. Tapi dia merasa nyaman. Hari itu, semuanya terasa pas.
Setelah makan bakso tusuk dan es doger, mereka duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam. Beberapa anak kecil sedang memberi makan ikan. Daun-daun bergoyang tertiup angin pelan. Albar menghela napas panjang.
“Cha,” katanya serius. “Gue udah gak tahan lagi mau bilang ini…”
Icha menoleh, agak gugup.
“Aku suka lo. Dari dulu. Dan makin lama gue deket sama lo, makin gue yakin… lo itu sinyal terbaik dalam hidup gue.”
Icha tersenyum, matanya berkaca-kaca tapi bahagia. “Bar...”
“Dan lo tau?” lanjut Albar, semangatnya mulai lepas kendali. “Semenjak lo nerima gue waktu itu di belakang sekolah, koneksi hati gue lancar banget. Nggak pernah lag. Streaming rasa sayang ke lo lancar jaya!”
Icha tertawa, pipinya memerah. “Gila lo ya…”
“Makanya gue mau nanya sekarang,” Albar berdiri dan berdiri tegak seperti orang mau presentasi. “Lo mau gak jadi pacar gue? Jadi satu-satunya user yang tersambung ke router hati gue selamanya?”
Icha menutup wajah dengan tangan, tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kemudian ia menatap Albar dalam-dalam dan berkata pelan, “Mau.”
Albar langsung melompat kegirangan seperti anak kecil. “Ya ampun! Gue gak nyangka sinyal gue akhirnya dapet password lo juga!”
Dia melompat-lompat di depan Icha, menarik tangan gadis itu dan memutarnya seperti menari. “Mulai sekarang, gak ada lagi roaming! Kita satu jaringan! Satu provider! Satu paket unlimited cinta!”
“Bar! Malu tau!” Icha tertawa, menepuk pundak Albar agar berhenti.
Tapi Albar tak peduli. “Gue janji, sinyal cinta gue gak akan pernah putus. Bahkan kalau listrik mati, hati gue masih nyala buat lo.”
Icha menyandarkan kepala di bahu Albar, menikmati hangatnya sore itu. Mereka duduk di sana lama, membiarkan waktu berjalan lambat.
Tapi entah dari mana, sepasang mata mengintip dari balik pohon. Reina, dengan hoodie dan masker, memperhatikan mereka dengan wajah datar.
“Kita lihat sekuat apa sinyal lo, Icha,” bisiknya pelan.