bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Hujan kini turun lebih deras, membasahi kaca jendela rumah keluarga Aditama. Suara gemericiknya menyatu dengan isak tangis Lidya yang belum juga mereda. Jonathan masih berdiri di tempat yang sama, membiarkan rasa bersalah membebani tubuhnya. Di luar, Kevin sudah menghilang ke dalam gelap, membawa amarah dan luka yang belum tentu bisa disembuhkan.
Sigit akhirnya angkat bicara, suaranya pelan namun tegas.
“Besok kau bawa Nadia ke sini.”
Jonathan mengangkat kepalanya, menatap sang ayah penuh kebingungan.
“Aku ingin bicara dengannya langsung,” lanjut Sigit.
“Kalau kau benar-benar ingin memperbaiki semuanya, maka kau harus menghadapinya bersamaku. Bukan sebagai pelaku dan korban, tapi sebagai suami dan istri.”
Lidya menoleh pelan, menatap suaminya dengan mata basah.
“Kau ingin menerima mereka?” bisiknya lirih.
Sigit menatap istrinya, matanya tak goyah. “Aku ingin tahu kebenarannya. Semua kebenaran, bukan hanya dari mulut Jonathan.”
Jonathan mengangguk perlahan.
“Baik, Pa. Besok… aku akan bawa dia ke sini.”
...
Malam itu Jonathan duduk di kamar, menatap ponsel yang sunyi. Pesan dari Nadia belum dibalas sejak tadi siang. Mungkin ia butuh waktu. Mungkin ia sedang menangis. Atau mungkin… ia ingin pergi jauh.
Pikiran itu membuat Jonathan bangkit, meraih jaketnya dan kunci mobil. Ia tak bisa tinggal diam.
...
Di tempat lain, Nadia duduk di tepi ranjang di kamar apartemen milik Jonathan. Matanya sembap, napasnya berat. Bayangan tentang Dewi tak henti menghantui benaknya.
“Aku sahabatmu… tapi kau mati karena aku,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia meraih perutnya yang mulai membuncit, mengelusnya pelan.
“Maafkan Mama, Nak… Dunia ini kejam, dan Mama tak cukup kuat untuk melindungi kita dari semuanya.”
Tiba-tiba pintu diketuk. Nadia tersentak. Ia berdiri, ragu. Tapi suara di luar membuatnya lega.
“Ini aku,…”
Ia membuka pintu perlahan. Wajah Jonathan tampak lelah, tapi matanya penuh kejujuran.
“Besok… Papa ingin bertemu denganmu,” ucap Jonathan lirih.
Nadia mengerutkan kening.
“Untuk apa?”
“Untuk mendengar semuanya langsung darimu. Tentang kita. Tentang malam itu.”
Nadia terdiam lama. Ia ragu, lalu mengangguk perlahan.
...
Pagi harinya, Nadia duduk di ruang tamu keluarga Aditama, berhadapan dengan Sigit dan Lidya. Jonathan duduk di sampingnya, tapi tak sekalipun memotong percakapan.
Lidya memperhatikan Nadia dari ujung kepala hingga kaki. Pandangannya tajam, penuh penilaian. Wajah wanita itu tampak sembap, kulitnya penuh jerawat, rambutnya kusam tak terurus, dan pakaian yang dikenakannya pun tampak lusuh.
Dalam hati, Lidya bertanya-tanya, Apa yang dilihat Kevin dan Jonathan dari perempuan seperti ini?
Ia menoleh sekilas ke arah suaminya yang duduk tenang, lalu kembali menatap Nadia. Rasa tidak suka itu tak bisa disembunyikannya, meskipun mulutnya tetap terkatup rapat.
Tak tahan, Lidya akhirnya berkata, pelan namun tajam,
“Kau… sedang hamil?”
Nadia mengangguk pelan, menunduk.
Lidya menghela napas panjang, matanya menyipit.
“Aku masih tidak mengerti… Kenapa dua anakku bisa tertarik pada perempuan sepertimu?”
Sigit menoleh ke arah istrinya, nada suaranya datar namun penuh makna.
“Lidya…”
“Aku hanya jujur, Mas,” ucap Lidya tanpa mengalihkan pandangan dari Nadia.
“Dia bukan siapa-siapa. Wajahnya pun…” Ia tak melanjutkan, tapi nadanya penuh hinaan yang tersirat.
Jonathan diam. Tatapannya kosong menatap lantai, seolah telinganya tak mendengar ucapan ibunya yang merobek harga diri Nadia sedikit demi sedikit.
Nadia menoleh perlahan ke arah Jonathan, berharap ada pembelaan, sepatah dua patah kata yang menunjukkan bahwa ia tak sendiri. Tapi yang ia temui hanya tatapan menghindar. Jonathan tak berani menatap balik.
Lidya mendengus pelan, lalu bersedekap, matanya masih menusuk wajah Nadia.
“Perempuan macam apa yang datang ke rumah orang, membawa aib dan anak dalam kandungan, lalu berharap diterima?”
Nadia menggigit bibir bawahnya. Napasnya tercekat, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia tak ingin menangis. Tidak di hadapan wanita yang menghinanya. Dan terlebih… tidak saat pria yang seharusnya melindunginya hanya duduk membisu.
Sigit menatap Jonathan lekat-lekat.
“Kau tidak akan berkata apa-apa?”
Jonathan perlahan mengangkat wajahnya, tapi tetap tidak menoleh ke arah Nadia. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar,
“Aku… aku hanya ingin semuanya selesai.”
Nadia tercekat. Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada semua hinaan Lidya. Hanya ingin semuanya selesai. Seolah dirinya adalah masalah yang harus disingkirkan.
Lidya tersenyum tipis, seolah puas.
“Kau lihat? Bahkan dia tak punya keberanian untuk berdiri di sampingmu.”
Air mata Nadia menetes. Ia buru-buru menyekanya, menegakkan bahu. Ia tak ingin terlihat lemah.
“Aku memang bukan siapa-siapa, Bu,” ucap Nadia lirih.
“Tapi aku tidak datang ke sini untuk minta belas kasihan.”
Lidya mengangkat alis, mengejek.
“Lalu untuk apa?”
Nadia mengelus perutnya yang membuncit.
“Untuk anak ini. Dia berhak tahu siapa ayahnya. Dan aku berhak mengatakan yang sebenarnya.”
Sigit menatap Nadia dalam diam. Matanya tenang, namun penuh makna. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat.
“Kalau begitu, katakanlah. Mulailah dari awal. Dari malam itu.”
Nadia menarik napas panjang. Ia tahu, ini akan menyakitkan. Tapi tak ada jalan lain.
Ruangan itu mendadak senyap. Hanya detak jarum jam yang terdengar samar di antara napas yang tertahan. Sigit menatap Nadia dengan mata penuh perhatian. Lidya bersedekap, ekspresinya sinis tapi ingin tahu. Sementara Jonathan… hanya menunduk, tak berani menatap siapa pun.
Nadia mengepalkan tangannya, mencoba menahan gemetar yang merambat di tubuhnya. Ia tahu, sekali ia bicara, tak ada jalan kembali.
“Saat itu… aku masih tinggal satu kos dengan Dewi,” ucap Nadia pelan, suaranya parau.
“Dia kekasih Jonathan… dan sahabatku.”
Lidya mengangkat alis, sinis. “Lalu?”
“Suatu malam, Dewi pergi ke rumah saudaranya. Aku sendirian di kamar. Sekitar jam sebelas malam, ada yang mengetuk pintu. Waktu aku buka… itu Jonathan.”
Sigit mengerutkan dahi. Jonathan semakin menunduk, wajahnya mulai memucat.
“Dia mabuk,” lanjut Nadia, suaranya mulai bergetar. “Bau alkohol sangat kuat. Matanya… kosong. Aku sempat memintanya pergi, tapi dia justru masuk. Dia bicara hal-hal yang tak jelas."
Air mata mulai mengalir dari mata Nadia. Tapi kali ini ia tidak menyekanya. Ia membiarkan semuanya mengalir bersama luka yang selama ini disimpannya sendiri.
“Aku panik… Aku berusaha menghalaunya. Tapi dia… dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia mendorongku ke kasur. Dan malam itu, dia...” suara Nadia pecah, tubuhnya mulai gemetar. “...dia memperkosaku.”
Lidya terperanjat, matanya melebar. Sementara Sigit membeku di tempat duduknya. Hanya Jonathan yang tetap diam, seolah tak punya tenaga lagi untuk menyangkal.
“Beberapa minggu kemudian, aku tahu aku hamil. Aku panik. Aku ingin menggugurkan kandungan ini. Tapi saat aku memberitahunya…” Nadia menoleh ke arah Jonathan dengan tatapan getir, “dia melarangku. Katanya dia akan bertanggung jawab. Katanya dia akan menikahiku.”
Nadia menarik napas, berusaha menenangkan dirinya.
“Dan dari sanalah semuanya berubah. Kami menikah secara diam-diam… dengan kontrak. Tanpa restu siapa pun. Bukan karena cinta. Tapi karena rasa bersalah. Dan rasa takut.”
Lidya menatap Jonathan dengan wajah syok, seakan tak percaya anak yang selama ini dibanggakannya mampu melakukan hal sekeji itu. Ia menggeleng pelan, matanya penuh luka dan kemarahan yang tidak tahu ke mana harus diarahkan.
“Tidak… Tidak mungkin…” bisiknya, lalu tiba-tiba berdiri. Tatapannya tajam tertuju pada Nadia, penuh kemuakan dan cemooh.
“Kau pasti memanfaatkan keadaan. Kau tahu dia mabuk, lalu kau biarkan! Kau… perempuan licik yang mengambil kesempatan saat anakku lemah!”
Sigit sontak menoleh ke arah istrinya, wajahnya menegang.
“Lidya, cukup.”
“Tidak!” teriak Lidya. Suaranya meninggi, mengguncang ruangan. “Aku tidak akan tinggal diam melihat perempuan ini menghancurkan keluargaku!”
Nadia menunduk. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun ia tetap diam. Ia tahu, pertahanan Lidya lahir dari penolakan atas kebenaran yang menyakitkan. tapi itu tak membuat luka di hatinya jadi lebih ringan.
“Kau lihat dia, Mas?” Lidya menunjuk ke arah Nadia.
“Wajahnya pucat, penuh jerawat. Rambutnya seperti belum pernah menyentuh sisir. Matanya sembab, tubuhnya lusuh. Apa yang kau lihat dari perempuan seperti itu, Jonathan? Hah? Kau anak CEO, tampan, cerdas, terdidik. Dan kau… menikah dengan makhluk sepertinya?”
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....