Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh Belas
Dalam keadaan kalut, Qilla langsung menghubungi dua orang yang selalu bisa dia percaya, Zenith Edsel Alvaro dan Zenith Edsel Alexandra, si kembar yang sudah seperti saudaranya sendiri.
Mereka bertiga seperti trio yang tak terpisahkan sejak SMP, dan Qilla tahu bahwa dia bisa mempercayai mereka dengan apa saja.
Bukan hanya sahabat, mereka telah menjadi bagian dari hidup Qilla, dan Qilla yakin bahwa mereka akan ada di sampingnya dalam situasi apa pun. Qilla berharap bahwa dengan berbicara kepada mereka, dia bisa mendapatkan klarifikasi dan dukungan yang dia butuhkan untuk menghadapi situasi ini.
Dengan tangan yang masih gemetar, Qilla menekan tombol panggilan, berharap bahwa Zenith bersaudara bisa menjawab panggilannya dan memberinya solusi atas kebingungannya.
Dan seperti biasa, mereka datang tak lama setelah Qilla mengabari mereka, membawa dua kantong plastik berisi makanan favorit mereka. Ayam crispy yang renyah, kentang goreng yang gurih, dan bubble tea juga stroberi ukuran besar dengan rasa yang mereka semua sukai.
Qilla tersenyum kecil melihat makanan itu, merasa sedikit lega karena kehadiran Zenith bersaudara dan makanan favorit mereka bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik.
"Kalian selalu tahu apa yang gue butuhkan," kata Qilla, mengambil salah satu minuman rasa stoberi dari kantong plastik dan menyesapnya dengan nikmat.
Alvaro dan Alexandra tersenyum, tahu bahwa Qilla sedang tidak enak badan dan membutuhkan sedikit kehangatan dari mereka.
"Kami ada untuk lo, Qilla," kata Alvaro, sambil memeluk Qilla dengan hangat.
Alexandra mengangguk setuju, "Apa yang terjadi, Qilla? Lo bilang ada masalah?" Qilla menarik napas dalam-dalam, siap untuk menceritakan semuanya kepada sahabat-sahabatnya.
"Menurut gue sih... nggak masalah juga kalau calon suami lu kaya, tampan, berkelas. Lo pasti bakal hidup bahagia tujuh turunan," ujar Alvaro sambil merangkul Qilla dengan hangat.
Alexandra mengangguk setuju, "I agree. Pria sepertinya memang bikin iri." Qilla tersenyum tipis, tapi tatapan matanya tetap sedih.
"Tapi masalahnya bukan itu," katanya lirih. Alvaro dan Alexandra saling menatap, penasaran apa yang sebenarnya mengganggu Qilla.
"Jadi, apa masalahnya?" tanya Alvaro, suaranya penuh perhatian. Qilla menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menjelaskan apa yang dirasakannya.
"Gue nggak yakin gue bisa bahagia dengan dia," katanya akhirnya, suaranya tercekat karena takut dan ragu. Alvaro dan Alexandra memandang Qilla dengan serius.
"Why?" tanya Alvaro dan Alexandra serempak, penasaran apa yang sebenarnya mengganggu Qilla.
Qilla menunduk, suaranya lirih seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. "Yah, gue nggak tahu kenapa, tapi gue nggak cinta sama dia. Sama sekali nggak." Kata-katanya keluar dengan pelan, tapi penuh dengan kejujuran dan kesedihan.
Alvaro dan Alexandra memandang Qilla dengan penuh perhatian, mencoba memahami apa yang dirasakan oleh sahabat mereka. "Apa lo sudah pernah bertemu dengannya sebelumnya?" tanya Alvaro, mencoba untuk memahami situasi.
Qilla mengangguk, "Iya, aku dan dia udah pernah bertemu."
Alexandra mengangguk. "Oh, jadi ini tentang perjodohan?"
Qilla mengangguk, suaranya masih lirih."Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan," katanya, merasa terjebak dan tidak tahu jalan keluar.
Alexandra mengelus pelan tangan Qilla, mencoba menenangkannya. "Gue rasa lo jalanin aja dulu, karena cinta itu bukan selalu muncul di awal, Qill. Kadang tumbuh seiring kebersamaan. Nggak semua cinta harus datang duluan sebelum ikatan," katanya dengan lembut.
Alvaro mengangguk setuju, meskipun terlihat agak ragu di balik ekspresi seriusnya. "Iya, mungkin Nan benar. Cinta bisa tumbuh seiring waktu," katanya, mencoba mendukung pendapat Alexandra.
Namun, Qilla masih terlihat ragu, tidak yakin apakah dia bisa memaksakan diri untuk mencintai seseorang yang tidak dia cintai sejak awal.
Alexandra memandang Qilla dengan penuh perhatian. "Tapi kalau lo merasa benar-benar tidak bisa, mungkin lo harus bicara dengan orang tua lo, Qill. Jangan sampai lo melakukan sesuatu yang membuat lo tidak bahagia."
Qilla menggeleng pelan, suaranya lirih tapi penuh dengan kesedihan. "Udah, Nan. Berkali-kali. Tapi kalian tahu sendiri kan papa gue kayak apa. Sekali dia bilang A, semua orang harus ikut A, dan tidak ada yang berani membantahnya," katanya, menggambarkan betapa kuatnya pengaruh ayahnya terhadap keluarga mereka.
Alexandra dan Alvaro saling menatap, memahami kesulitan yang dihadapi Qilla. Mereka tahu bahwa ayah Qilla adalah orang yang keras dan tidak mudah diubah pendiriannya.
"Gue ngerti, Qill. Tapi mungkin ada baiknya lo coba lagi, dengan cara yang berbeda," usul Alexandra, mencoba memberikan solusi. Namun, Qilla hanya menggeleng lagi, merasa bahwa dia sudah tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan ayahnya.
"Gue sudah tidak tahu lagi apa yang harus gue lakukan, Nan, Al," katanya, merasa terjebak dan tidak berdaya.
"Lo mau kabur?" kata Alvaro tiba-tiba, dengan senyum nakal di wajahnya.
"Gue bantu kabur." Qilla dan Alexandra sontak menoleh, terkejut dengan usul Alvaro.
"Al!" seru Alexandra, mencoba menghentikan Alvaro. Tapi kemudian dia terdiam, berpikir sejenak.
"Tunggu... itu bukan ide buruk," katanya, matanya berbinar dengan ide yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Alvaro melanjutkan, "Kita berdua kan bentar lagi pindah ke luar negeri dan sekolah di sana. Lo ikut aja sama kita. Kita bisa cari cara untuk membuat papa lo tidak bisa menemukan lo."
Qilla terkejut, tidak percaya bahwa Alvaro dan Alexandra serius dengan usul mereka. "Apa kalian benar-benar serius?" tanya Qilla, hatinya berdebar dengan kemungkinan baru yang terbuka di depannya.
Alvaro dan Alexandra saling menatap, lalu mengangguk serempak. "Serius, Qill. Kita tidak akan meninggalkan lo sendirian," kata Alvaro, dengan tekad yang kuat di dalam suaranya.
Namun Qilla baru sadar sesuatu, wanita itu membelalak, terkejut dan merasa dikhianati. "APA?! Lo berdua pindah sekolah? Dan kalian nggak ngasih tau gue?!" katanya dengan nada yang meninggi.
Alvaro dan Alexandra saling menatap, lalu Alexandra menjelaskan dengan cepat, "Kita emang niatnya ke sini buat ngasih kabar itu, tapi lo duluan yang bikin kami kaget dengan cerita pertunangan lo itu."
Qilla merasa sedikit sedih karena tidak diberitahu lebih awal tentang rencana pindah sekolah mereka, tapi dia juga mengerti bahwa situasinya memang tidak biasa.
"Kalian serius pindah? Kapan?" tanya Qilla, mencoba memahami situasi baru ini.
Alvaro mengangguk. "Iya, kita sudah daftar sekolah di luar negeri. Pindah lima hari lagi." Qilla merasa seperti sedang kehilangan sesuatu yang berharga, tapi dia juga merasa bahwa ini mungkin kesempatan baginya untuk memulai sesuatu yang baru.
"Jadi, kalian serius dengan ide kabur itu?" tanya Qilla, matanya memandang Alvaro dan Alexandra dengan serius.
Alvaro dan Alexandra mengangguk serempak, menunjukkan keseriusan mereka. "Iya, Qill," kata Alvaro, dengan senyum yakin di wajahnya.
Qilla terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan dan risiko yang akan dia hadapi. Namun, detik berikutnya, dia tersenyum, menunjukkan tekadnya untuk mengambil langkah besar ini.
"Oke, gue mau. Terima kasih ya, semoga bisa berhasil," katanya, dengan nada yang penuh harapan dan optimisme.
Alvaro dan Alexandra membalas senyum Qilla, dan ketiganya saling menatap, merasakan kebersamaan dan kesepakatan untuk menghadapi apa yang akan datang.
"Kita akan buat rencana yang detail, dan pastikan semuanya berjalan lancar," kata Alexandra, dengan nada yang penuh percaya diri.
Qilla mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan adanya rencana yang akan dibuat bersama. "Gue percaya sama kalian," katanya, dengan suara yang penuh keyakinan.