Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENEKATAN ARYAN
Malam kembali menyelimuti The Grand Elegance Residency. Jam kerja sudah berakhir, dan hanya shift malam yang berjaga. Aryan sengaja menunda kepulangannya. Setelah insiden kebocoran air tadi pagi, keraguan dan ketakutan telah berubah menjadi tekad bulat. Ia harus ke Lantai Tujuh. Ia harus tahu.
Aryan memastikan troli pembersihnya terparkir di tempat yang tersembunyi, lalu ia berjalan cepat menuju tangga darurat. Ia membawa sebilah linggis kecil yang ia pinjam diam-diam dari gudang penyimpanan alat kebersihan, alat yang ia harapkan bisa memecahkan gembok.
Ia menaiki anak tangga dengan hati-hati, memastikan setiap langkahnya tidak menimbulkan bunyi yang mencurigakan. Perasaannya tegang, jantungnya berpacu seiring ia mendekati lantai terlarang itu.
Akhirnya, ia sampai di Lantai Tujuh. Pintu besi yang terkunci rapat dengan gembok tua itu kini berada tepat di hadapannya.
Aryan menghela napas panjang, mengeluarkan linggis kecil itu. Ia mencoba memasukkan ujung linggis ke dalam celah gembok, memutar, dan menariknya dengan sekuat tenaga. Gembok itu bergeming. Ia mencoba lagi dan lagi. Gembok itu terlalu kuat, dan suaranya mulai terdengar. Ia harus lebih cepat.
Dengan gerakan yang lebih berhati-hati, Aryan memosisikan linggisnya di rantai yang membelit pintu. Ia menggunakan seluruh tenaga di bahu dan lengannya, menarik linggis dengan gerakan seperti mendongkel.
Kletak!
Suara rantai yang putus terdengar keras dan nyaring. Gembok dan rantai itu jatuh ke lantai beton dengan bunyi dentingan yang menggelegak di keheningan. Pintu besi itu kini hanya tertutup biasa.
Aryan menunduk, mengintip melalui celah kecil di pintu, bersiap mendorongnya.
Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat dekat, tepat di belakangnya, mengejutkannya hingga ia hampir menjatuhkan linggisnya.
"Aryan! Kamu lagi ngapain di sini?"
Aryan tersentak, berbalik dengan cepat. Itu adalah Rima. Rekan kerjanya yang ramah dan sedikit penurut. Wajah Rima kini terlihat terkejut dan sedikit ketakutan, namun ia juga membawa sebuah senter kecil.
Aryan segera menyembunyikan linggis di belakang punggungnya. "Rima? Kenapa kamu belum pulang? Aku... aku lagi mau mencoba membereskan kamar 5, Lantai Enam, biar bocornya enggak makin parah. Aku yakin sumbernya dari sini."
Rima melirik pintu besi yang sudah terbuka sedikit dan rantai yang putus di lantai. "Kamu nekat banget, Yan! Kamu gila mau masuk ke dalam situ? Ini dilarang keras!"
Rima mendekat, suaranya berbisik. "Tapi... kamu benar. Aku juga curiga. Semua orang di sini tahu, larangan itu bukan hanya soal kabel. Kami cuma takut bicara."
Aryan melihat keraguan dan ketegangan di mata Rima. Ia tahu, Rima adalah orang yang tepat untuk diajak berbagi rahasia ini.
"Aku minta tolong, Rima. Jangan kasih tahu siapa pun soal ini. Ini jadi rahasia kita berdua. Aku cuma mau memastikan, apa yang bikin air di kamar 5 itu bocor. Kalau kamu mau ikut, bantu aku jaga-jaga," pinta Aryan.
Rima menimbang-nimbang sebentar, menatap kegelapan di balik pintu, lalu kembali menatap Aryan. Ia menghela napas pasrah. "Baik. Tapi kita harus sangat cepat. Aku juga penasaran. Aku minta satu hal: jangan sampai ada yang tahu."
"Deal," balas Aryan.
Mereka berdua mendorong pintu besi itu pelan-pelan. Bau apek seperti gudang tua dan debu tebal langsung menyeruak keluar. Mereka berdua refleks terbatuk dan menutup hidung.
"Ya Tuhan, ini beneran enggak terawat," bisik Rima.
Mereka menyalakan senter Rima dan melangkah masuk. Sesuai dugaan Aryan, lorong itu gelap gulita. Dindingnya tampak lembap dan mengelupas, banyak sarang laba-laba tergantung di langit-langit, dan debu tebal menyelimuti lantai. Lantai ini memang seperti dunia yang berbeda dari kemewahan di lantai bawah.
Aryan langsung menuju ke Kamar 5. Itu adalah tujuan utamanya, tempat ia yakin masalah kebocoran itu berasal.
Saat mereka hampir sampai di depan pintu kamar nomor 5, yang tampak tertutup rapat, tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
"Siapa?"
Suara itu terdengar datar, berat, dan dingin. Suaranya bukan seperti suara orang yang terkejut, melainkan seperti suara yang sudah menunggu.
Aryan dan Rima serentak terdiam. Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
Aryan memberanikan diri. "Ada orang di dalam, Mbak? Saya staf hotel, Aryan. Saya buka ya pintunya. Kami datang untuk perbaikan."
Hening sesaat. Lalu, suara itu kembali. "Silakan."
Aryan memegang gagang pintu. Ia dan Rima membuka pintu itu perlahan.
Kamar itu gelap, tirai jendelanya tertutup rapat. Namun, di sudut ruangan, di balik bayangan pekat, Aryan melihatnya. Sosok wanita bergaun merah.
Sosok itu duduk di kursi tua, membelakangi mereka. Namun, saat pintu terbuka penuh, sosok itu berputar dengan gerakan yang sangat cepat dan patah-patah.
Wajahnya yang putih pucat kini terlihat jelas dalam cahaya senter yang bergetar di tangan Rima. Mata merah menyala, gigi tajam, dan kuku panjang hitamnya, semua detail yang dilihat Aryan saat ketindihan kini terwujud nyata. Rambutnya panjang, menyentuh lantai.
Sosok itu menatap lurus ke arah mereka, lalu membuka mulutnya yang mengerikan.
"Tengah malam mati..."
Kalimat itu terucap dingin, menyeramkan, dan diiringi dengan raungan pelan yang menusuk.
Sontak, Aryan dan Rima berteriak ketakutan secara bersamaan. Itu adalah teriakan spontan yang berasal dari insting primitif.
Mereka berbalik, hendak lari. Namun, saat Aryan berbalik, ia merasakan sesuatu menarik lengan seragamnya dengan tarikan yang kuat dan dingin. Ia ditarik kembali oleh Kuntilanak itu.
Aryan tahu ini adalah mimpi buruk terburuknya yang menjadi nyata. Ia tidak menyerah. Ia menendang dengan sekuat tenaga ke arah ruang kosong di belakangnya, tempat ia merasa tangannya ditarik. Tendangan itu tidak mengenai apa-apa, tetapi kekuatan tarikan di lengannya tiba-tiba menghilang.
Ia menoleh sekilas ke belakang. Sosok itu sudah tidak ada.
Aryan tidak peduli. "LARI, RIMA! CEPAT!"
Mereka berdua berlari tunggang langgang keluar dari Kamar 5, menyusuri lorong berdebu Lantai Tujuh. Mereka melewati pintu besi, membantingnya hingga berdentum keras, dan bergegas menutupnya. Aryan meraih rantai yang putus dan menggantungnya sekenanya di pintu.
Mereka tidak berhenti. Mereka berlari menuruni anak tangga darurat dengan kecepatan tinggi, mengabaikan rasa sakit di kaki mereka.
Saat mereka mencapai Lantai Dua, Rima tiba-tiba berhenti. Ia terengah-engah, tubuhnya bersandar pada dinding. Aryan berhenti di sebelahnya, juga terengah-engah, berusaha mengambil napas.
"Apa... apa tadi, Bang?" tanya Rima, suaranya gemetar dan serak karena ketakutan.
Aryan bersandar di dinding, mengatur napasnya yang kacau. "Aku... aku juga enggak tahu, Rima. Aku kira... aku kira aku doang yang lihat. Aku kira aku halusinasi."
Rima menggeleng, matanya masih memancarkan kengerian. "Enggak, Bang. Bukan Abang doang. Aku juga sama. Aku lihat... matanya... giginya..."
Kenyataan pahit itu menusuk. Itu bukan halusinasi. Mereka berdua melihatnya.
Aryan menatap Rima. "Kita harus merahasiakan ini, Rima. Kita sudah terlanjur masuk. Kita sudah lihat. Ini harus jadi rahasia kita. Enggak ada yang boleh tahu kita di sana. Nanti kita dipecat, atau bahkan dianggap gila."
Rima mengangguk cepat, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku janji. Aku enggak akan bicara. Sekarang, ayo kita turun. Kita harus bersikap seolah enggak ada apa-apa."
Mereka berdua melanjutkan langkah mereka, berjalan menuruni sisa anak tangga, berusaha menenangkan diri. Ketika mereka sampai di lantai dasar, mereka berjalan seolah-olah baru saja menyelesaikan tugas shift malam biasa, menyembunyikan trauma dan rahasia mengerikan yang baru saja mereka temukan di lantai yang seharusnya tidak ada. Mereka harus kembali bekerja, seolah-olah kamar terlarang di Lantai Tujuh itu hanyalah mitos.