Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
“Sebenarnya saya asli sini, Mbak. Ternyata, mbak ini kakaknya Alsa ya. Saya beberapa kali lihat Mbak menghadiri pengajian di masjid Al-Fatihah. Oh, iya, lupa. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Azraq. Biasa dipanggil Aza.”
Ibu Fly datang dengan sebuah nampan berisi dua piring makanan ringan dan dua gelas minuman hangat. Fly tampak mengangkat sebelah alisnya. Mengapa ibunya memperlakukan seolah orang asing ini adalah tamu Fly?
Aza adalah guru tahfidz Alsa lewat pembelajaran daring. Aza membuka kelas daring yang dipromosikan lewat akun sosial medianya. Sepupu Fly yang melihat brosur itu ketika sedang berkunjung ke rumah Fly. Lalu memperlihatkannya kepada ibu Fly. Pada saat itu, Fly masih di kos-nya. Dari sana, Alsa didaftarkan untuk mengikuti kelas tahsin dan tahfidz tersebut. Sudah diikuti selama dua bulan dan sekarang Alsa telah menghafal tiga juz Al-Qur’an dari belakang.
Aza sudah berencana untuk memberikan apresiasi kepada Alsa sebagai muridnya yang paling cepat menghafal. Sebab ia tahu juga bahwa mereka tinggal di kota yang sama. Itulah sebabnya Aza berencana untuk datang setelah beberapa hari yang lalu pulang ke kampong halamannya.
Ternyata, saat datang ke rumah Alsa, ia justru bertemu perempuan yang kerap kali mengikuti kajian yang ia isi.
“Aza dari komplek mana, Nak?” sambung ibu Fly, yang mendengar isi perkataan Aza. Fly tidak jadi bersuara.
Ternyata ini sosok yang Fly sebut penguntit di hadapan Vio. Jika Vio di sini, pasti dia akan heboh. Ucap Fly, dalam hati.
“Komplek seberang, Tante.”
“Wah, deket juga berarti. Udah lama tinggal di sini? Atau emang asli orang sini?”’
“Nggak, Tante. Aslinya mah orang pulau seberang. Orang tua saya mulai pindah satu tahun yang lalu. Sebelumnya, saya tinggal di kos-an deket kampus terus kalau mudik ya ke pulau seberang itu. Tapi, sekarang udah lebih dekat. Karena ayah saya pindah tugas.”
“Berarti kemungkinan pindah lagi?”
“Kayaknya sih nggak, Tante. Soalnya ayah saya insyaAllah akan buka perusahaannya sendiri di sini. Jadi, nggak perlu pindah-pindah lagi.”
“Oh, gitu,” jawab ibu Fly singkat, sambil menyenggol bahu Fly dengan sengaja.
Fly bahkan belum sedikit pun punya kesempatan untuk merespon. Sekarang ibu Fly seperti orang yang sedang menyembuhkan hati anaknya dengan mendorongnya pada orang yang baru.
“Oh, iya. Nama Mbak siapa, ya?”
“Fly.”
“Serius, Fly?”
“Iya, kenapa?”
“Itu nama panggilannya, Aza. Kalau di rumah ini, biasa manggil Fa,” timpal ibu Fly. “Jangan cuek gitu, Fa,” bisik ibu Fly.
Aza mengangguk, tanda mengerti. Ia mencomot kue bolu yang disuguhkan ibu Fly setelah dipersilakan.
“Bukannya tadi Anda bilang mau ngasih apresiasi ke Alsa, tapi kenapa Alsanya nggak dicariin buat ke sini. Padahal dari tadi dia cuma lari-larian di halaman,” urai Fly.
Ibu Fly dan Aza saling pandang. Benar juga. Seharusnya Aza ke sini untuk menjadi tamu.
“Tunggu sebentar, ya.”
“Fa aja, Bu yang manggil Alsa. Ibu di sini, aja.”
Kedua tangan ibu Fly berayun lembut. Lantas mengusap pundak anak sulungnya, “Ibu aja. Kalian ngobrol aja dulu di sini.”
___ ___ ___
Makan malam telah terhidang. Kelima anggota keluarga itu telah berkumpul di kursi masing-masing. Alsa dan Rizal tampak begitu semangat menunggu nasinya diambilkan sang ibu. Lain halnya dengan kakak sulungnya, yang sedari tadi manyun tak jelas. Mood-nya sedang berantakan.
“Kenapa, Fa?” tanya ayahnya.
Fly mengangkat bahu, malas menanggapi.
“Kenapa?” ulang pria itu, kali ini kepada istrinya.
“Ngambek, kali.”
“Makan dulu. Ngambeknya dilanjutin nanti aja,” pinta ayah Fly.
Fly mengembuskan napas berat.
Sikap ibunya benar-benar di luar perkiraannya. Ia tidak pernah melihat ibunya seperti itu sebelumnya. Sangat semangat. Sangat antusias. Fly merasa kehilangan seseorang yang kemarin-kemarin begitu bijak dalam membenahi hatinya yang tengah teriris penolakan cinta.
Pada akhirnya, Fly terpaksa makan. Karena walaupun suasana hatinya sedang tidak baik, tapi perutnya meronta-meronta, meminta untuk diisi.
“Kamu marah karena ibu dukung kamu sama Aza?”
Wanita itu menghampiri putrinya yang tengah melamun di teras. Di kursi rotan mirip yang ada di posko KKN.
“Nggak marah.”
“Lalu?”
“Rindu.”
“Rindu lelaki yang menolak kamu itu?”
“Iya.”
Ibu Fly duduk di kursi rotan di sebelahnya. Penampakan komplek yang sepi di malam hari, bertemankan gemintang bertaburan. Tak ada awan mendung malam ini. Fly bisa memandang langit dalam waktu yang lama ketika suasana hatinya tengah buruk. Yang penting, semua tubuhnya terbungkus kain penghangat. Kecuali wajah. Sweater tebal yang diberikan oleh ayahnya ada hari ulang tahunnya tahun lalu sangat nyaman, hangat, serta tidak membiarkan secuil gigil pun merasuki.
“Kirain kamu udah tenang. Setelah berhari-hari yang lalu ibu selalu kasih nasihat.”
“Benar. Ibu selalu kasih Fa nasihat dengan teramat bijak. Hingga pada hari ini seharusnya Fa merasa sembuh dan tidak perlu lagi memikirkan lelaki itu. tapi, apa? seketika sikap bijak itu sirna. Sebab ibu bersikap terlalu berlebihan di hadapan Aza, seseorang yang bahkan Fly nggak kenal. Fly nggak suka digituin, Bu. Maaf, kalau sekiranya kata-kata Fa menyakitkan.”
Seorang wanita dengan tubuh agak berisi itu melemparkan pandangan ke arah langit. Mengikuti Fly.
“Entah seperti apa gerangan lelaki yang berhasil meluluhkan hatimu tanpa berniat ia melakukannya. Sampai kamu lupa sama dirimu, yang sejak dulu paling marah kalau dicomblangin. Bahkan dibercandakan sedikit saja sama om-om-mu. Kamu pasti akan ngamuk terus ngambek. Dibujuknya harus dengan eskrim atau lollipop. Itu tidak berubah sampai kamu SMA. Pada akhirnya, kamu mengalami perubahan itu di menjelang puncak dirimu sebagai mahasiswi S1. Lihatlah, sekarang kamu sangat terbuka sama Ibu. Sampai-sampai, tidak ragu untuk mengutarakan kata rindu. Padahal sama ibu pun kamu tidak pernah melontarkannya secara tersurat. Atau paling tidak, ibu hanya mendengarnya dari cerita Vio,” urai ibu Fly.
Suasana malam semakin syahdu. Lampu rumah-rumah mengelilingi. Lain halnya dengan posko KKN-nya yang gelap gulita. Juga jauhnya jarak penduduk karea area perkebunan.
Sesaat, sebenarnya Fly merasa malu dengan ungkapan ibunya. Ia benar-benar tanpa rem mengutarakan semua isi hatinya. Seperti sedang bercengkrama dengan teman dekatnya. Padahal, dengan Vio dan Yui juga dia tidak segitunya. Paling, hanya berbicara sekadarnya.
“Maaf, Bu. Mungkin Fa terlambat dewasanya.”
“Dari dulu kamu udah dewasa. Selalu mandiri dan bisa mengandalkan diri sendiri. Itulah mengapa ayahmu menghubungimu hampir setiap hari. Karena ia tidak ingin kamu terlalu mandiri hingga ia kehilangan peran dirinya untuk memperhatikan, mungkin juga memanjakanmu.”
“Siapa juga yang mau memanjakan anak yang sudah menginjak 21 tahun. Habis ini nyusun skripsi. Tahun depa wisuda. Ah, berasa banget bukan dewasanya.”
Tak perlu cara sulit untuk mengembalikan keadaan yang menyenangkan. Tak perlu waktu lama juga untuk Fly ngambek kepada ibunya. Sebab semua telah terkendali dengan baik. Sebab dipikir-pikir, ibu Fly pasti hanya melakukan hal semacam itu di hadapan Aza agar Fly tidak terlalu berlarut memikirkan Gen.