Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Suara dari Kegelapan
Langit pagi tertutup awan kelabu saat Qianru berdiri di taman belakang Istana, tempat rahasia yang biasa ia gunakan untuk pertemuan dengan Pasukan Bayangan Giok.
Di hadapannya berdiri dua puluh orang berpakaian seragam hitam dengan lambang giok hijau di dada kiri mereka. Di antara mereka, Lei Shan dan Shan’er yang baru kembali dari misi menyampaikan perkembangan penting.
“Gudang logistik Bei Yan telah hancur. Tapi mereka kini memindahkan suplai ke arah utara lebih dalam, dekat wilayah suku Langhu,” lapor Lei Shan.
“Dan bukan itu saja,” timpal Shan’er. “Mereka didukung oleh pedagang dari ibu kota. Beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan keluarga Permaisuri.”
Qianru menarik napas panjang. “Artinya... musuh kita tak hanya ada di luar. Mereka ada di dalam tembok istana ini.”
Qianru menatap mereka satu per satu. “Kita tidak hanya menghadapi perang dari luar, tapi juga dari dalam. Tapi selama aku masih bisa berdiri, aku tidak akan membiarkan pengkhianat merebut takhta yang dijaga oleh darah rakyat.”
Qianru lalu membentangkan sebuah rencana, memata-matai arus dana dan persediaan ke arah utara, menyusupkan agen ke rumah-rumah dagang yang mencurigakan, serta memperkuat pos-pos rahasia di perbatasan. Ia menunjuk Liu Qingxuan sebagai penanggung jawab jalur pengobatan dan penyelamatan, sementara Cang Yue bertanggung jawab atas pelatihan personel baru Bayangan Giok.
Sore harinya, Qianru secara tak langsung diundang Permaisuri untuk minum teh di Paviliun Lianhua. Suasana tampak tenang, namun percakapan yang terjadi bagaikan pertarungan pedang tanpa suara.
“Selir Qianru, belakangan ini kamu tampak... sibuk. Apakah bunga-bunga di taman tidak lagi cukup menarik?” tanya Permaisuri, senyumnya tajam.
Qianru menatap langsung ke mata wanita itu, lalu tersenyum santai. “Benar, Yang Mulia. Akhir-akhir ini bunga tak lagi cukup... terlalu banyak duri, sedikit harum. Aku lebih tertarik pada akarnya—apa yang menyuburkan dan apa yang meracuni.”
Permaisuri menegang sesaat. “Kamu sepertinya sudah banyak belajar.”
“Kadang, satu langkah kecil bisa menyelamatkan seluruh ladang. Kadang pula, seekor ular beracun perlu dipotong sebelum sempat menggigit,” jawab Qianru sambil mengaduk tehnya perlahan.
Setelah percakapan itu Qianrupun pamit meninggalkan kemarahan permaisuri.
Malam harinya, Qianru berdiri di menara pengawas rahasia, memandangi langit yang dipenuhi bintang samar. Dalam hatinya, ia tahu badai akan segera datang. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak takut.
Pasukan Bayangan Giok tumbuh dalam bayangannya. Rakyat mulai berbisik tentang ‘selir berlidah tajam yang menyelamatkan Kaisar’. Dan musuh-musuhnya, perlahan tapi pasti, mulai menunjukkan wajah asli mereka.
Langkah pertama telah diambil.
Langit akan berguncang.
Kota Zhen’an, ibu kota Kekaisaran Cine, tampak hidup seperti biasa. Tapi di balik hiruk-pikuk pasar dan istana, ada jaring laba-laba gelap yang perlahan menggenggam nadi perdagangan.
Di lorong sempit belakang Gerbang Timur, sebuah rumah teh tua menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar minuman herbal.
Qianru, menyamar dengan pakaian rakyat biasa dan rambut digelung sederhana, berjalan pelan di antara kerumunan. Di sisinya, Yu’er dan Shan’er menyamar sebagai pedagang keliling. Mereka sedang melacak aliran perak gelap yang diduga berasal dari kas keluarga Permaisuri dan mengalir ke tangan penyokong pasukan suku Bei Yan di utara.
“Informan kita bilang rumah teh ini hanya kedok,” bisik Yu’er.
“Bagian bawah tanahnya digunakan untuk menyimpan emas dan membuat surat pengiriman palsu,” tambah Shan’er.
Qianru mengangguk pelan. “Kita tidak bisa membongkar semua dalam satu malam. Tapi kita bisa menarik seutas benang dan melihat ke mana ia terulur.”
Mereka memasuki rumah teh dan disambut oleh aroma manis bunga kering serta pemiliknya, seorang wanita tua dengan senyum tipis. Di bawah lantai, lorong rahasia menanti.
Malam itu, setelah mendapatkan kata sandi dari salah satu tamu yang sedang mabuk, Qianru dan timnya menyusup ke ruang bawah tanah rumah teh. Di dalamnya, mereka menemukan peti-peti perak, peta pengiriman barang, dan gulungan surat yang mencatat nama-nama pedagang terlibat. Salah satu nama mencuri perhatian Qianru: Feng Yuanlong—seorang saudagar terkenal dan... saudara sepupu Permaisuri.
“Bukti kuat,” bisik Qianru. “Tapi kita butuh lebih.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di atas. “Cepat, sembunyi!” seru Qianru. Mereka melompat masuk ke balik rak buku palsu, mengintip melalui celah.
Seorang pria bertopeng masuk bersama dua penjaga. Ia membuka salah satu peti dan mengeluarkan gulungan surat. “Kita akan kirim suplai terakhir sebelum musim semi berakhir. Setelah itu, suku Bei Yan akan bergerak,” katanya. Suaranya dalam, dan meskipun tersembunyi, Qianru merasakan aura membunuh darinya.
Pria itu berbalik, dan cahaya lilin menampakkan ukiran kecil di gagang pedangnya—simbol naga bermata tiga.
“Simbol ini…” gumam Qianru dalam hati. “Itu lambang... Jingwei, organisasi pembunuh rahasia era Dinasti sebelumnya. Mereka pun ikut campur?”
Kembali ke Istana
Setelah berhasil keluar tanpa jejak, Qianru memerintahkan Lei Shan untuk menyelidiki Jingwei, organisasi bayangan yang diduga telah disusupkan ke dalam kekaisaran lewat para pedagang. Di istana, ia segera menghadap Liu Qingxuan.
“Jika benar Jingwei hidup kembali, kita tak hanya menghadapi pengkhianat dalam negeri... tapi juga sisa-sisa pemberontak dari era sebelumnya,” ucap Qianru, duduk di depan meja peta.
Liu Qingxuan mengangguk. “Kita perlu mengaktifkan jaringan intel tua milik mendiang Jenderal Lei Ming. Termasuk orang yang bahkan aku tak yakin masih hidup...”
“Siapa?” tanya Qianru.
“Namanya Mo Tian. Mantan pembunuh Jingwei yang membelot. Tapi ia hanya akan muncul... jika dihadapkan pada darah keluarganya yang terbunuh.”
Qianru menegang. “Berarti kita harus membuat suara besar agar ia mendengar.”
Qianru tahu bahwa memburu Mo Tian bukan perkara mudah. Orang seperti dia—mantan pembunuh elit Jingwei—tak akan muncul hanya karena ancaman. Ia butuh alasan yang menyentuh akar luka lama: dendam atas keluarga, darah, dan kehormatan.
Di ruang rahasia Bayangan Giok, Qianru menggelar rencana yang berisiko: menyebarkan kabar palsu bahwa salah satu anggota Jingwei lama yang membantai keluarga Mo Tian kini menjadi bagian dari lingkar dalam Permaisuri.
“Kita umpan dia dengan api kebencian,” kata Qianru kepada Cang Yue, yang baru saja tiba dari utara. “Begitu dia tahu pelakunya masih hidup, dia pasti muncul.”
Cang Yue mengangguk, meski ekspresinya berat. “Dan jika dia tidak datang sendirian? Jika yang muncul adalah seluruh cabang Jingwei yang tersembunyi di ibukota?”
Qianru hanya tersenyum tipis. “Berarti kita sekalian menarik keluar semua ular dari sarangnya.”
Kabar disebarkan secara halus lewat pelayan-pelayan istana yang telah disusupi, para penjaja berita di pasar, hingga pertunjukan sandiwara keliling yang membawa kisah
Bersambung