NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:844
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhir dari altherion

Kepulan asap dan api masih menjulang dari kejauhan, membakar langit malam Jerman dengan semburat jingga dan hitam pekat. Angin malam berhembus pelan membawa bau besi terbakar dan debu beton. Ajie menoleh sesaat ke belakang, memandangi reruntuhan fasilitas Altheron yang kini hanya tinggal kenangan buruk. Ledakan terakhir membuat tanah bergetar di bawah kaki mereka, dan suara besi runtuh masih terdengar samar.

Ia menggandeng Melly, sementara Faisal menyusul di belakang dengan langkah cepat, sesekali menoleh untuk memastikan tidak ada yang mengikuti. Ketiganya diam, terlalu lelah untuk bicara. Hanya napas mereka yang berat, dan rasa ngeri yang belum sepenuhnya lepas dari dada.

Ajie masih memikirkan satu hal.

Ratna.

Apakah dia selamat? Ia melihat bayangannya terakhir tadi, berdiri di puncak reruntuhan, tubuhnya nyaris tertelan api dan debu. Tidak jelas apakah ia melarikan diri, atau memutuskan bertahan sampai akhir. Entah kenapa, di tengah segala kekacauan, Ajie merasa perih ketika memikirkan itu. Bukan karena dia peduli pada Ratna sebagai musuh, tapi karena ia melihat seseorang yang hancur oleh dunia—sama seperti dirinya dulu. Bedanya, Ratna memilih jalan yang gelap.

Ajie menarik napas dalam. Lalu melangkah lagi.

Perjalanan keluar dari zona fasilitas memakan waktu berjam-jam. Mereka berjalan kaki menembus hutan kecil di sekitaran, baru menjauh sepenuhnya menjelang pagi. Melly sempat pingsan setengah jam karena kelelahan, dan Faisal mengumpat berkali-kali karena sepatunya penuh lumpur dan darah. Tapi pada akhirnya, mereka menemukan jalan beraspal dan berhasil menumpang truk tua yang membawa mereka menuju kota kecil terdekat. Dari sana, petualangan logistik dimulai: paspor palsu, penyelundupan via bagasi pesawat kargo, dan seminggu penuh kekacauan yang hanya bisa dilakukan Melly dengan koneksi gilanya.

Dan tepat tujuh hari kemudian, mereka kembali.

Jakarta menyambut mereka dengan panas yang menusuk dan polusi yang menyengat. Tapi tidak ada yang mengeluh. Bagi mereka, ini adalah rumah. Bahkan Faisal yang biasanya cerewet cuma bisa diam lama sambil menatap jendela taksi yang berembun. Ajie memejamkan mata di bangku belakang, mencoba menyesuaikan tubuhnya dengan udara tropis setelah dinginnya malam-malam Eropa. Melly duduk di sampingnya, menggenggam botol air sambil sesekali melirik wajah sahabatnya yang tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Kos-kosan Ajie terletak di daerah Tebet. Masih sama seperti dulu. Lorong sempit, tangga berderit, dan ibu kos yang super bawel soal tamu. Tapi anehnya, semua itu terasa hangat sekarang.

Di dalam kamar yang sempit dan berantakan, Ajie menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Melly duduk di lantai, bersandar ke lemari kayu yang penuh stiker motor. Faisal langsung membuka kulkas mini dan berseru, “Minumannya basi semua, Bro! Besok kita belanja!”

Ajie tertawa lemah. “Ambil aja air galon. Ada sisa kopi instan di atas kulkas.”

Melly menatap Ajie beberapa saat. Wajah lelaki itu masih memar, tapi sorot matanya kini tak lagi sesuram sebelumnya.

Ajie membuka suara. “Mel... makasih, ya.”

Melly mengerutkan kening. “Buat apa?”

Ajie duduk tegak. “Lo nyelametin gue. Dua kali. Pertama gagal, tapi lo balik lagi. Gue tahu itu gak gampang.”

Melly menunduk, memainkan gelang di pergelangan tangannya. “Gue cuma gak mau kehilangan temen lama gue.”

“Enggak, lo lebih dari itu,” suara Ajie jadi pelan. “Lo satu-satunya orang yang percaya gue waktu semua orang ninggalin. Bahkan waktu gue udah nyerah sama diri sendiri.”

Keheningan turun beberapa detik. Melly menatap Ajie dengan mata yang sayu tapi dalam. Ada begitu banyak kata yang tak terucap di antara mereka. Kenangan kuliah, malam-malam lembur bengkel, obrolan sambil ngopi di loteng tua kampus, semua seolah mengalir diam-diam di udara.

Ajie menggeser sedikit, duduk lebih dekat ke arah Melly. “Gue gak tahu hidup gue bakal kayak apa setelah ini. Tapi yang gue tahu... kalau lo gak datang ke fasilitas itu, mungkin sekarang gue udah mati.”

Melly tertawa kecil, getir. “Gue juga nyaris mati, Ji.”

Ajie menatapnya lekat-lekat. Tanpa sadar, tangannya menyentuh pipi Melly yang lecet ringan.

“Jadi... makasih. Banget.”

Melly membalas tatapan itu. Detik-detik berlalu pelan, dan entah siapa yang mulai lebih dulu, tapi wajah mereka makin dekat. Napas mereka saling menyentuh. Jarak itu mengecil, dan mata mereka terpejam perlahan.

Hidung mereka bersentuhan.

Lalu—

CEPLAK!

“WOY!”

Pintu kamar terbuka lebar dan Faisal masuk sambil membawa kantong plastik besar.

Ajie dan Melly langsung menjauh seperti kena setrum. Wajah mereka memerah dalam sepersekian detik.

Faisal mengangkat alis sambil cengar-cengir. “Aduh... maaf, maaf. Gue kira ini kamar kos, bukan sinetron prime time.”

Ajie mengusap tengkuknya sambil menghindari tatapan Melly. “Gue... gue cuma—”

“Mau pelukan doang,” Melly cepat memotong dengan suara setengah geli, setengah malu. “Tapi gagal karena ada tuyul masuk.”

Faisal tertawa terpingkal-pingkal, menjatuhkan plastik berisi mi instan dan minuman soda ke lantai. “Gue bakal cerita ini ke anak-anak kampus, sumpah! ‘Paint Man ketangkep basah!’ Hahaha!”

Ajie melempar bantal ke arahnya, dan Melly tak bisa menahan tawa juga. Mereka bertiga akhirnya duduk bersila di lantai, membuka bungkus makanan dan minuman, dan seperti biasa, ribut soal hal-hal kecil. Seolah perang dan kematian di Jerman adalah mimpi buruk yang jauh sekali.

Tapi di antara tawa itu, Ajie masih menyimpan satu warna.

Warna ungu.

Dan ia tahu... meski fasilitas itu hancur, perangnya belum selesai.

Karena selama Altheron masih punya bayang-bayang... dan Ratna masih hidup entah di mana... warna-warna dalam dirinya belum benar-benar tenang.

Tapi malam ini, biarlah mereka tertawa dulu.

Sebelum badai berikutnya datang.

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!