Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. MEMILIKI TAPI TIDAK SELAMANYA
"Kamu mau kemana? Biar aku antar," ucap Teddy setelah mobilnya melaju cukup jauh.
Fiona tak langsung menjawab. Ia pun bingung harus kemana sekarang. Meski ingin sekali pulang dan bertemu orang tuanya, namun ia tidak memiliki keberanian. Masih segar dalam ingatan kekecewaan yang tergambar di wajah mama dan papanya. Jika bisa, ia tidak ingin kemanapun hari ini. Tapi ia dan Teddy tetap harus pergi untuk mengelabuhi Agnes, namun mereka tidak akan ke rumah sakit sebab inseminasi itu tak perlu dilakukan. Sekarang ia hanya perlu menunggu benih yang telah ditanam oleh Teddy dalam rahimnya segera tumbuh.
"Apa kamu mau ke rumah Aidan?" tanya Teddy lagi sebab Fiona hanya diam saja.
"Aku mau ke pondok aja," jawab Fiona akhirnya. Mungkin dengan kesana ia bisa menemukan sedikit ketenangan. Ia juga sudah cukup lama tak bertemu ustadzah Dian, wanita yang berjasa atas perubahan dirinya sekarang.
Teddy pun mengangguk, kemudian melajukan mobilnya menuju sebuah pesantren yang disebutkan Fiona. Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun akhirnya sampai.
"Nanti aku jemput kamu sebelum Dzuhur," ucap Teddy ketika Fiona melepas seat belt.
Fiona hanya mengangguk, lalu turun dari mobil.
Teddy menarik kembali tangannya yang baru akan terulur pada Fiona sembari tersenyum kecut. Lihatlah, bahkan hanya sekedar mencium punggung tangannya pun tak dilakukan istri keduanya itu. Yah, sepertinya ia memang terlalu berharap.
"Kenapa kita bertemu lagi di persimpangan yang tak seharusnya. Mencintai dalam senyap. Hanya bisa menikmati kebersamaan yang tidak bisa diabadikan. Aku memilikimu di saat ini, tapi tidak untuk selamanya."
Teddy membuang nafas panjang sembari menatap langkah Fiona yang kian menjauh. Bahkan ia tak mampu membayangkan Fiona akan pergi dari hidupnya setelah melahirkan anak seperti permintaan Agnes.
Damar ... nama itu terngiang dalam ingatan. Ia juga tidak boleh lupa bahwa ada seseorang yang senantiasa menunggu Fiona.
Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia mengeluarkan benda pipih itu dari saku celana dan langsung menjawab telepon dari Agnes.
"Assalamualaikum, Mas,"
"Waalaikumsalam, Sayang. Kenapa?"
"Kalian sudah sampai di rumah sakit?" tanya Agnes."
"Sudah, Sayang. Baru aja sampai, sekarang Fiona lagi ke ruang pemeriksaan sama suster," jawab Teddy sembari memejamkan mata. Karena tindakannya yang sudah terburu-buru itu, sekarang ia harus membohongi istrinya. Bahkan Fiona juga harus ikut dalam kebohongan ini.
Agnes menghela nafas lega mendengarnya. Sejak tadi ia merasa tak tenang sendiri, ada saja hal negatif yang merasuki pikirannya. Membayangkan saat ini suaminya hanya berdua dengan wanita lain di dalam mobil.
"Semoga semuanya berjalan lancar ya, Mas."
"Aamiin. Oh ya, aku tutup teleponnya dulu ya soalnya mau siap-siap untuk pemeriksaan juga," ucap Teddy.
"Iya, Mas."
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
Sambungan telpon pun terputus. Teddy meletakkan ponselnya di dashboard, lalu menoleh ke arah gerbang pesantren. Tak melihat Fiona lagi, ia pun menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuannya adalah bertemu sang papa.
Sementara itu di dalam pondok...
"Ustadzah kangen banget sama kamu," ucap ustadzah Dian setelah mengurai pelukan.
Fiona tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga, ustadzah."
"Maaf ya, ustadzah gak datang di pernikahan kamu. Waktu itu lagi ada sedikit urusan yang gak bisa di tinggal."
"Gak apa-apa, ustadzah."
Wanita paruh baya itu tersenyum sembari mengusap lengan Fiona. Dari tatapan matanya menggambarkan kesedihan yang tak terucap, dan ia cukup memahami apa yang dirasakan wanita itu sekarang.
Tak dapat menahan perasaan, Fiona kembali mendesakkan tubuhnya ke dalam dekapan ustadzah Dian. Memeluk wanita yang seusia mamanya itu dengan erat. Air mata yang sejak tadi ditahannya pun jatuh membasahi pipi.
"Kamu yang sabar. Yakinlah Allah meletakkan kamu ditempat yang sekarang bukan secara kebetulan, tetapi Allah telah menentukan jalan yang terbaik untuk kamu. Allah sedang melatih kamu untuk menjadi kuat dan hebat. Percayalah, disaat kamu ikhlas dengan keadaanmu, disitulah Allah merencanakan kebahagiaan untukmu. Allah mampu mengubah situasi terpuruk sekalipun menjadi momen terbaik dalam hidupmu," ucap ustadzah Dian sembari mengusap punggung Fiona yang bergerak karena menangis.
Fiona hanya mampu mengangguk dalam pelukan wanita itu dengan air mata yang kian deras mengalir.
"Ustadzah, ada kiriman makanan untuk anak-anak...." Ucapan Damar menggantung bersamaan dengan langkahnya yang terhenti di ambang pintu ketika melihat siapa yang sedang bersama ustadzah Dian. Tatapan rindu begitu menghujam pada sosok yang berada dalam dekapan wanita paruh baya itu.
Kedua wanita berbeda generasi itupun segera mengurai pelukan. Fiona mengusap air matanya sebelum menoleh menatap Damar.
"Mas...."
Damar tersenyum tipis. Setelah beberapa hari tak bertemu, akhirnya ia bisa melihat wanita pujaannya itu.
*****
"Jadi, sekarang Mas Damar tinggal di sini?" tanya Fiona usai membagikan makanan pada anak-anak pondok.
Damar mengangguk. "Aku sedang belajar untuk membiasakan diri, belajar menerima dan memahami cara Tuhan memproses hidup. Agar aku bisa lebih berani menghadapi kenyataan," ujarnya sembari tersenyum tipis. Karena ia sendiri tidak tahu akan seperti apa hubungannya dengan Fiona.
Ia bersedia dan siap menunggu Fiona terlepas dari Teddy dan Agnes. Tapi ia tidak tahu, apakah Fiona masih akan menerima dirinya setelah wanita itu tahu tentang sisi buruknya yang pernah suka bermain wanita.
Fiona menoleh menatap lelaki itu. "Kenapa Mas Damar masih mau menunggu aku? Padahal Mas tau aku akan kembali dengan tidak utuh lagi."
"Karena aku sendiri jauh dari kata sempurna, Fio. Benar kata Papa, aku terlalu tidak tahu diri menginginkan kamu yang sempurna sementara aku sendiri adalah seorang pendosa. Apakah pantas jika aku mengatakan ini impas? Kamu akan kembali padaku yang seorang pendosa ini dengan tanpa mahkotamu lagi," ucap Damar, yang tentunya hanya mampu ia ucapkan dalam hati. Ia belum siap jika Fiona tahu tentang sisi buruknya.
"Sebentar lagi Adzan, kita ke Musholah, yuk!" ajak Damar, mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
Fiona mengangguk. Ingatannya seketika tertuju pada Teddy yang katanya akan menjemput sebelum Dzuhur, entah dimana suaminya itu sekarang.
"Kak Fio, ada yang nyariin."
Panggilan seorang anak perempuan menghentikan langkah Fiona dan Damar yang hendak menuju musholah.
"Itu sepertinya Mas Teddy," ucap Fiona sembari menatap Damar.
Lelaki itu mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, hal yang membuat Fiona semakin diliputi rasa bersalah. Bagaimana bisa Damar seikhlas ini menerima dirinya.
"Ayo aku antar ke depan."
Keduanya pun mengayun langkah menuju gerbang pesantren.
Teddy menatap keduanya bergantian. Ada perasaan cemburu yang tiba-tiba merasuk ke hati. Apakah Damar dan Fiona sudah membuat janji untuk bertemu di sini.
"Mas, aku pamit ya, tolong sampaikan juga sama ustadzah Dian."
Damar mengangguk. "Kalian hati-hati di jalan.
Setelah Fiona masuk ke mobil, Teddy pun gegas duduk di bagian kemudi dan segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Tak tahan melihat Fiona yang terus menoleh ke arah jendela menatap Damar dan saling melambaikan tangan.
Tak ada obrolan sepanjang jalan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. hingga tak berselang lama kemudian mereka pun akhirnya sampai rumah.
Agnes yang sudah menunggu kedatangan mereka, segera menghampiri keduanya yang baru saja turun memasuki rumah.
"Mas, gimana prosesnya, lancar?"
Teddy hanya mengangguk lalu menoleh menatap Fiona.
Wanita itupun langsung merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop berlogo rumah sakit yang semalam diberikan Teddy untuk ia serahkan pada Agnes, berisi pernyataan bahwa ia dan Teddy telah melakukan inseminasi itu.
Agnes menerima amplop itu dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
kasih faham thor ... /Angry/