Miskin , dihina wajar. Diam di bully, biasa. Yang luar biasa adalah, Aqmal seorang remaja miskin yatim piatu, menolak menyerah pada nasib malang, penderitaan, hinaan dan perundungan, justru membuat nya tumbuh menjadi semakin tegar dan kuat.
Hingga alam berpihak kepada nya, memberikan sebutir gundu ajaib kepada nya.
setelah mendapatkan gundu ajaib itu, perlahan hidup nya mulai berubah, setapak demi setapak, dia mulai meniti takdir nya menjadi seorang kultivator utama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvinoor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gundu Ajaib
Setelah selesai menanak nasi, Aqmal segera menuju ke sumur di belakang pondok untuk mandi.
Keseharian yang sederhana, rutinitas yang bergulir dari itu ke itu saja.
Bila malam hari, lampu pelita, menyala hanya sebatas hingga pukul sembilan saat belajar saja, sesudah nya, dia akan tidur dalam kegelapan, beralas tikar dan kelambu tua.
Keadaan seperti ini akan berlangsung hingga Jum'at siang. Dia pulang dari sekolah jam setengah dua belas siang, mandi, ganti baju, ke masjid.
Pulang dari mesjid, barulah rutinitas baru bergulir lagi, setelah berganti pakaian, membawa dua liter beras, garam dan gula secukup nya, didalam ransel lusuh nya, langsung menggowes sepedanya masuk kedalam hutan larangan, hutan yang ditakuti semua orang.
Setelah lima kilometer memasuki hutan, nampak di tengah hutan larangan itu ada sebuah telaga yang cukup besar, dengan dikelilingi batu batu besar.
Diatas sebatang pohon Singkwang yang besar dan condong ke telaga, ada sebuah rumah pohon yang tidak terlalu besar, namun cukup lega buat Aqmal sendirian. sepintas rumah pohon itu seperti berada diatas telaga.
Rumah pohon itu beralaskan kulit kayu kenanga, berdindingkan kulit kayu kenanga, dan beratapkan palm hutan.
Di rumah pohon di tengah hutan larangan itulah Aqmal menghabiskan hari hari nya hingga Minggu sore nanti, untuk mencari kayu bakar dan bunga bunga kenanga hutan.
Sebidang kebun kecil terlihat di tepi telaga itu, yang ditanami pisang, singkong, pepaya, dan lombok.
Aqmal segera menyandarkan sepeda tua nya di sebatang pohon, lalu naik keatas rumah pohon nya.
Rumah pohon ini awal nya dibangun oleh almarhum ayah nya, setelah ayah nya tidak ada, kini rumah pohon itu diurus oleh Aqmal sendiri.
Dahulu, sewaktu ayah nya masih hidup, Aqmal dan ayah nya lah yang menempati rumah pohon itu selama Jum'at, Sabtu, dan Minggu.
Tak ada yang berani memasuki hutan larangan itu semenjak dahulu kala, karena banyak cerita orang orang dahulu maupun orang jaman sekarang yang nekat memasuki hutan larangan itu, tidak pernah kembali lagi, konon di dalam hutan larangan itu, ada banyak binatang buas dan binatang berbisa nya. Bahkan ada rumor yang beredar mengatakan, jika di dalam hutan larangan ini ada sebuah goa yang dihuni oleh seekor ular besar, sebesar pohon kelapa, saking tua nya ular itu, hingga di kepala nya tumbuh tanduk.
Cerita ular sawa bertanduk itu bukan hanya cerita dari kampung teluk Nangka saja, tetapi hampir di semua desa desa di sekeliling hutan larangan itu.
Namun mulai jaman ayah Aqmal masih muda, hingga jaman Aqmal sendiri, belum pernah Aqmal bertemu binatang buas apapun juga.
Setelah meletakan ransel tua nya di lantai, Aqmal segera mengambil joran, membawa cacing yang dia bawa dari pondok di tepi hutan, Aqmal segera turun, untuk memancing ikan.
Tidak sulit mencari ikan di telaga ini, paling lama dua atau tiga kali melempar kail, sudah dapat ikan yang besar.
Namun Aqmal tidak pernah mengambil secara berlebihan, hanya sekedar untuk dia makan saja.
Seperti biasa nya, siang menjelang sore itu, Aqmal kembali mempersiapkan kan pancing dan umpan cacing nya.
Dengan sebilah joran ditangan, Aqmal melangkah menyusuri tepian telaga, mencari spot yang tepat untuk melempar kail nya.
Baru saja Aqmal berjalan beberapa puluh meter, didepan nya terlihat seekor binatang yang sangat cantik sekali. Seekor kura kura sebesar piring sedang terbalik tertelentang diatas pasir di pinggir telaga.
Kura kura itu sekuat daya berusaha membalikan badan nya, namun hanya sia sia belaka.
Bukan kura kura nya yang menarik hati Aqmal, tetapi warna kura kura itu yang menarik hati Aqmal. Kura kura itu berwarna kuning ke emasan, seperti sebuah mainan berbentuk kura kura yang terbuat dari pada emas.
Aqmal ingat pesan almarhum ayah nya dahulu yang mengatakan, jika bertemu mahluk aneh baik rupa, bentuk maupun warna nya, jangan sekali kali diganggu, karena itu bisa jadi penunggu hutan larangan ini yang sedang menyamar.
Mengingat pesan almarhum ayah nya itulah, Aqmal buru buru menolong kura kura itu membalikan tubuh nya.
Setelah mendapat pertolongan dari Aqmal, kura kura emas itu segera berenang kearah tengah telaga, lalu lenyap tenggelam kedasar telaga.
Aqmal sendiri segera meneruskan langkah nya, mencari spot yang baik untuk melempar joran nya.
Baru sekali dia melemparkan joran nya, seekor ikan yang cukup besar menyambar umpan nya.
Aqmal menarik kail nya, seekor ikan sebesar kipas terlihat terkait di kail nya.
Dengan langkah gembira, Aqmal segera kembali ke rumah pohon nya, dia tidak ingin meneruskan memancing, bagi nya satu itu sudah cukup untuk nya sore ini.
Namun saat Aqmal tiba di pasir tempat kura kura emas tadi terbalik, dia melihat kura kura tadi sudah berada di tengah jalan, seperti sedang menghadang nya, seraya menatap kearah diri nya.
Tiba tiba, kura kura emas tadi memuntahkan sebutir batu mirip gundu sebesar ibu jari tangan, berwarna biru langit.
Setelah memuntahkan batu itu kura emas tadi kembali ke tengah telaga, dan lenyap menyelam kedasar telaga.
Cukup lama Aqmal terdiam mematung, menatap kearah batu mirip gundu berwarna biru langit itu, ragu ragu, ingin mengambil atau tidak.
Akhirnya Aqmal memberanikan diri mengambil batu gundu itu, menatap kearah dalam batu itu, namun batu itu tidak tembus pandang, seperti batu akik biasa.
Batu gundu itu berwarna biru langit dengan campuran putih mirip awan, sepintas seperti melihat miniatur bola Dunia sebesar ibu jari tangan.
Setelah memasukan batu gundu itu kedalam saku celana nya, Aqmal segera melangkah kearah rumah pohon nya.
Aqmal segera membersihkan ikan yang dia dapatkan tadi, membuang perut nya, dan mencuci nya.
Di dalam pondok nya, diatas pohon Singkwang, Aqmal segera menghidupkan api di dapur, untuk menanak nasi dan membakar ikan.
Dibelakang dapur itu ada teras ukuran satu setengah kali tiga meter yang menghadap kearah telaga secara langsung.
Pemandangan indah inilah yang membuat Aqmal betah berhari hari tinggal di pondok ini. Bahkan saat liburan, dia menghabiskan masa liburan nya di tempat ini. Ditempat ini, semua kepahitan hidup terasa lenyap begitu saja, tak ada hinaan, caci maki dan perundungan.
Setelah nasi matang, kini giliran ikan sebesar kipas tadi yang di panggang Aqmal diatas bara api.
Sementara menunggu ikan bakar nya marang, Aqmal turun ke tanah, memetik beberapa pucuk singkong, beberapa biji buah terong dan tentu saja buah cabe, benda yang tak boleh ketinggalan sama sekali.
Beberapa saat kemudian, hidangan super sederhana telah tersaji, nasi putih panas, dengan ikan bakar segar, serta pucuk singkong dan buah terong yang hanya di masak dengan air putih saja, namun bagi Aqmal, itu terasa seperti hidangan super mewah nya. Inilah yang membuat remaja yatim-piatu ini lebih senang menyendiri di tengah rimba ini ketimbang di tengah tengah keramaian orang banyak. Disini dia merasa menjadi orang kaya yang sesungguh nya, cukup makan dan pikiran yang damai.
Entah mengapa, hutan larangan ini sangat angker sejak jaman purbakala dahulu hingga turun temurun sekarang. Memang banyak yang penasaran, menyelidiki nya, namun satu persatu tim penyelidik itu tidak pernah kembali, ada juga yang bisa pulang, namun dengan otak yang sudah tidak waras lagi, hingga akhirnya hutan larangan ini benar benar dilarang untuk umum, hanya Aqmal dan ayah nya saja yang berani keluar masuk tanpa halangan apapun, sehingga ayah Aqmal dianggap kuncen hutan larangan. Dahulu bila ada anak yang tersesat di hutan larangan ini, ayah Aqmal yang di minta mencari nya, dan pasti berhasil. Seperti sengaja di letakan ditempat yang mudah dicapai, orang hilang itu akan mudah ditemukan. Namun bila remaja hingga orang tua, biasa nya tidak ditemukan, atau paling paling jika di temukan juga, sudah dalam keadaan yang tidak waras lagi.
Dahulu sewaktu masuk hutan larangan itu, ayah nya sering mewanti wanti agar jangan berbuat kerusakan, boleh mengambil apapun, hanya sebatas yang diperlukan saja.
Mungkin karena itulah, maka hutan larangan ini seperti bersahabat dengan Aqmal bahkan menjaga nya dari binatang buas.
Selama Aqmal hidup dari hasil hutan larangan ini, dia belum pernah sekalipun bertemu dengan binatang buas apapun, baik serigala, macan, maupun ular sawa. Bahkan binatang binatang buas itu seperti sengaja menghindari nya.
Selesai makan, hari mulai beranjak gelap, Aqmal segera menutup pintu rumah pohon, menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng bekas ikan sarden untuk menerangi nya belajar beberapa saat.
Setelah selesai belajar, Aqmal segera mematikan lampu teplok nya, dan berbaring diatas tikar pandan.
Dalam tidur nya, Aqmal bermimpi bertemu dengan seorang pria tua berjenggot putih panjang hingga menjuntai sampai dada nya.
Dalam mimpi nya, pria tua itu berkata, "cucu ku, kau pemuda berhati emas, tidak tergiur dengan kemewahan, suka menolong sesama mahluk tuhan, ambil ini nak, jaga baik baik!" kata kakek itu seraya menyerahkan sebutir gundu berwarna biru muda.
"Untuk apa ini kek?, saya tidak memerlukan ini, ambilah kembali kek!" tolak nya.
Namun kakek tua itu memaksa dengan meletakan gundu itu ke telapak tangan kanan nya.
Di telapak tangan kanan nya, tiba-tiba gundu itu bersinar biru terang, lalu tenggelam di telapak tangan nya, seperti batu tenggelam di lumpur.
...****************...