Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taaruf Dingin dan Pandangan yang Menghakimi
Malam itu, rumahku dipenuhi aroma masakan Bunda dan ketegangan yang menyesakkan. Setelah sholat Isya, aku duduk di ruang tamu, diapit oleh Bunda Fatma. Aku mengenakan gamis berwarna sage green dan kerudung panjang, yang sengaja kurapikan hingga menutupi dada—sebuah upaya untuk menenangkan Ayah dan memenuhi ekspektasi keluarga yang akan datang.
Aku memang terlihat sopan dan tertutup, tetapi di balik kain itu, hatiku terasa seperti bongkahan es. Aku memegang ponselku yang sudah kembali, berharap ada sinyal dari Revan, tetapi aku tahu itu sia-sia.
Pukul delapan malam, mobil-mobil mewah memasuki halaman rumah. Mereka adalah keluarga besar dari Gus Ammar Fikri.
Pintu dibuka. Aku melihat sosok yang sangat berwibawa: Bapak Kyai, Ayah Ammar, yang karismatik dan ramah. Di sampingnya, ada Ibunya yang anggun. Dan kemudian, muncul Gus Ammar Fikri sendiri.
Dia tinggi, rapi, dan mengenakan kemeja koko modern berwarna abu-abu yang pas di badannya. Wajahnya tampan, bersih, namun dingin. Matanya tajam, memancarkan kecerdasan seorang CEO dan ketegasan seorang Gus. Ia tidak tersenyum.
Setelah basa-basi ramah antara Ayah dan Kyai, aku dipersilakan maju.
"Ini putri kami, Kyai. Indira Safitri," kata Mas Bimo (Ayah Indira), nadanya penuh harapan.
Ibu Ammar langsung meraih tanganku—tentu saja dengan alas hand sanitizer—dengan hangat. "Ya Allah, pak Bimo. Cantik sekali. Wajahnya teduh. Cara berpakaiannya sopan sekali, Nak. Adem melihatnya."
Bapak Kyai mengangguk. "Masya Allah. Semoga cocok, ya. Anak saya ini memang pendiam, Nak. Tapi bertanggung jawab."
Aku hanya bisa tersenyum tipis, ucapan mereka tentang keteduhan dan kesopanan membuatku merasa seperti penipu. Mereka memuji bungkusnya, tanpa tahu betapa hancurnya isi di dalamnya.
Namun, saat mataku bertemu dengan mata Gus Ammar, kehangatan dari keluarganya langsung menghilang. Tatapannya datar, menghakimi. Seolah dia tidak melihat gadis yang sholehah, melainkan masalah yang harus ia selesaikan.
Setelah beberapa saat berbincang santai, kami berdua dipersilakan berbicara secara privat di ruang tamu yang terpisah, ditemani Bunda dan Ibu Ammar yang duduk agak jauh sebagai mahram.
Aku duduk tegang. Ammar Fikri memulai percakapan, suaranya pelan dan rendah, namun sangat formal.
"Assalamu'alaikum, Saudari Indira," sapanya, tidak ada intonasi ramah sama sekali.
"Wa'alaikumussalam, Gus Ammar," balasku, agak canggung dengan panggilan itu.
"Saya tidak suka basa-basi," katanya langsung, suaranya seolah membaca laporan keuangan. "Anda pasti terkejut dengan kecepatan proses ini. Saya juga terkejut. Saya setuju bertemu Anda karena Ayah saya. Namun, sebelum kita melanjutkan, saya perlu tahu komitmen Anda."
"Komitmen apa, Gus?" tanyaku.
"Komitmen terhadap Garis Batas Keyakinan Anda. Keluarga saya sudah tahu latar belakang Anda, perihal hubungan Anda dengan pemuda yang tidak seiman. Saya sudah mencari tahu, Saudari Indira. Saya tidak tertarik pada kisah romantis yang melanggar syariat."
Kata-kata itu menghantamku. Revan tidak pernah menghakimiku sekejam ini.
"Saya... saya tahu saya salah, Gus. Itu masa lalu. Saya sedang berusaha kembali," jawabku, suaraku sedikit bergetar karena emosi.
"Usaha seperti apa? Usaha yang membuat Anda jatuh sakit karena dipaksa berpisah? Atau usaha yang membuat Anda berbohong kepada orang tua Anda?" Tatapan matanya lurus, tanpa ampun.
Aku menarik napas. "Saya datang ke sini karena saya menghormati orang tua saya. Dan saya tidak ingin mengkhianati agama saya lagi. Tapi Anda harus tahu, Gus. Saya butuh waktu. Saya tidak bisa langsung melupakan."
"Waktu. Itu yang saya butuhkan juga," Ammar menyandarkan punggungnya. Ekspresinya sedikit melunak, tetapi tetap dingin. "Saya setuju dengan Anda, Saudari Indira. Saya tidak mencari cinta yang membara saat ini. Perusahaan saya sedang dalam fase ekspansi besar. Saya sangat sibuk, fokus saya terpecah karena desakan pernikahan dari Ayah saya."
"Lalu, kenapa Anda datang ke sini?"
"Saya datang karena Anda adalah solusi logis bagi masalah saya, dan saya adalah solusi bagi masalah Anda," jelas Ammar, kini berbicara seperti CEO yang sedang presentasi.
"Anda butuh waktu untuk sembuh dari cinta terlarang Anda, dan saya butuh waktu untuk menunda pernikahan tanpa membuat Ayah saya kecewa. Jika kita menikah cepat, itu tidak adil bagi Anda. Jika kita menunda taaruf, Ayah saya akan terus mendesak saya mencari kandidat lain."
"Jadi, Anda melihat saya sebagai... penyembuh Anda?" tanyaku.
Ammar menggeleng kecil. "Tidak. Saya melihat Anda sebagai kesepakatan bisnis. Kita sepakat untuk menjalani taaruf yang panjang. Kita akan bertemu sesekali, melakukan hal-hal yang syar'i, namun tanpa ikatan emosional yang mendalam. Dengan begitu, kita berdua mendapat waktu luang yang kita inginkan."
"Anda yakin Anda tidak akan jatuh cinta pada saya?" tanyaku, mencoba menyelipkan nada sindiran.
Ammar menatapku lurus, tanpa keraguan. "Saya seorang profesional, Saudari Indira. Fokus saya adalah angka, database, dan syariah compliance. Perasaan adalah variable yang tidak saya perlukan dalam hidup saya saat ini. Anda akan menjadi seorang istri yang sholehah, saya akan menjadi suami yang bertanggung jawab, dan kita akan sama-sama fokus pada tujuan masing-masing. Adil?"
Aku terdiam. Revan, dengan segala keterbatasannya, selalu menghujaniku dengan kehangatan. Sementara Gus Ammar Fikri, dengan segala keshalihan nya dan status halal-nya, menawariku sebuah perjanjian yang dingin dan steril.
"Bagaimana, Saudari Indira? Apakah Anda bersedia menjalani taaruf yang dingin dan lama ini, untuk sama-sama mendapatkan waktu?" tawar Ammar.
Aku menatapnya. Jika ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kendali atas hidupku, dan satu-satunya cara untuk membuktikan pada Ayah bahwa aku sudah move on, maka aku harus menerimanya.
"Baik, Gus. Saya setuju dengan perjanjian ini," kataku, mengangguk pasrah. "Taaruf yang dingin dan lama."
Di sudut ruangan, Bunda dan Ibu Ammar tersenyum, mengira kami sudah menemukan kecocokan dan chemistry yang alami. Mereka tidak tahu bahwa kami baru saja menandatangani kontrak bisnis untuk menghindari cinta dan komitmen sejati.