Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Tujuh tahun yang lalu, air sungai yang dingin dan gelap seharusnya menjadi akhir dari segalanya. Namun, takdir rupanya punya rencana lain yang jauh lebih panjang bagi Raya.
Suara gemericik air perlahan menyusup ke telinga Raya yang tersumbat pasir. Ia terbatuk keras, memuntahkan air keruh yang menyesakkan paru-parunya. Tubuhnya terasa remuk, seolah setiap inci tulangnya telah berpindah tempat.
Raya membuka mata dengan susah payah. Langit malam di atasnya begitu kelam, tanpa bintang. Ia tergeletak di atas tumpukan batu kali yang tajam dan lumpur yang licin.
"Akh... s-sakit..." rintihnya pelan. Suaranya pecah, hanya berupa bisikan parau yang tertelan suara air.
Ia mencoba menggerakkan jemarinya, lalu tangannya, hingga akhirnya ia bisa duduk meski dengan tubuh gemetar hebat karena hipotermia. Ia memandangi permukaan sungai yang baru saja mencoba menelannya.
"Kenapa?" bisiknya pada kegelapan. "Kenapa aku masih bernapas? Kenapa aku tidak mati saja?"
Hening. Hanya ada suara jangkrik di kejauhan yang menjawab.
Tiba-tiba, sebuah tawa lirih keluar dari bibirnya yang membiru. Tawa itu semakin lama semakin keras, berubah menjadi gelak tawa yang menyayat hati di tengah sunyinya malam. Ia tertawa hingga air matanya mengalir deras, bercampur dengan sisa air sungai di wajahnya.
"Bahkan neraka pun tidak mau menerimaku, ya?" ia tertawa getir. "Apa aku terlalu menyedihkan sampai-sampai kematian pun enggan menerimaku!"
Raya meraba perutnya yang masih rata. Rasa nyeri hebat menjalar di sana. "Maafkan Ibu, Nak... kau pasti sudah pergi. Tidak apa-apa, setidaknya kau tidak perlu melihat betapa hancurnya duniamu."
Dengan sisa tenaga, Raya merangkak menjauh dari tepian air. Di lehernya, ia merasakan sesuatu yang dingin, seuntai kalung emas tipis dengan liontin kecil peninggalan mendiang ibunya. Satu-satunya harta, sekaligus satu-satunya kenangan yang ia miliki.
"Hanya ini yang tersisa, Ma." bisiknya sambil menggenggam liontin itu kuat-kuat. "Maafkan Raya, tapi Raya harus hidup."
Malam itu juga, ia berjalan tertatih menuju jalan raya. Ia menjual kalung itu di sebuah toko emas kecil yang berada di pinggiran kota. Uang yang ia dapatkan memang tidak seberapa dibanding nilai kenangannya, tapi itu cukup untuk membeli tiket bus paling pagi menuju sebuah desa kecil yang tak pernah ia dengar namanya.
Di atas bus yang berguncang, ia menatap pantulan wajahnya yang kusam di kaca jendela. "Mulai hari ini, Raya si gadis menyedihkan sudah mati di dasar sungai. Aku adalah Anna."
Dua minggu kemudian, di sebuah desa kecil yang jauh dari hingar-bingar kota asalnya, Raya, yang kini mulai menyebut dirinya Anna, melangkah masuk ke sebuah klinik sederhana. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan ia hanya mengenakan daster murah yang ia beli di pasar loak.
Kehadirannya langsung memicu bisik-bisik dari para ibu yang sedang mengantre. Tatapan mereka tajam, penuh penghakiman melihat gadis yang tampak begitu muda harus mendatangi poli kandungan.
"Lihat itu, masih kecil sudah hamil. Pasti anak haram."
"Wajahnya asing, mungkin pelarian dari kota."
Anna hanya menunduk, meremas ujung bajunya sampai buku jarinya memutih. Saat namanya dipanggil, ia masuk ke ruang periksa dengan jantung yang berdebar kencang.
"Ada keluhan apa, Nak?" tanya seorang dokter wanita paruh baya sambil menyiapkan stetoskopnya.
"Saya... saya ingin periksa kandungan, Dok," suara Anna bergetar. "Dua minggu lalu saya jatuh dan terbentur hebat. Saya hanya ingin memastikan... apakah janin di rahim saya masih ada? Saya yakin dia sudah hilang, tapi..."
Dokter itu menatapnya dengan saksama, lalu mengangguk tanpa banyak bertanya. "Mari kita lihat. Berbaringlah."
Saat alat USG yang dingin menyentuh kulit perutnya, Anna memejamkan mata rapat-rapat. Dalam hatinya, ia sudah pasrah. Ia berpikir bahwa lebih baik janin itu pergi sekarang daripada harus lahir dan menderita bersamanya yang tidak memiliki apa-apa.
Namun, ruangan yang sunyi itu tiba-tiba dipenuhi suara detak yang sangat cepat, kuat, dan ritmis.
Deg-deg, deg-deg, deg-deg.
Mata Anna terbuka lebar. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat mendengar frekuensi itu. "Suara apa itu, Dok? Apa itu... sisa dari keguguran?"
Dokter itu tersenyum kecil, sorot matanya yang bijak melembut. "Bukan, Nak. Itu suara jantung bayimu. Dia sangat kuat. Meski kamu menyerah pada hidupmu sendiri, dia memutuskan untuk tetap bertahan hidup di dalam sana. Dia memilihmu menjadi ibunya."
Anna terpaku. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah tak terbendung. Ia menangis sesenggukan, sebuah tangisan yang campur aduk antara rasa bersalah yang amat dalam dan secercah harapan yang tiba-tiba muncul.
"Dia... dia masih hidup? Setelah semua itu?"
"Iya. Kondisinya baik-baik saja. Tapi sekarang, kamu juga harus mulai berjuang untuk hidupmu sendiri jika ingin dia lahir selamat," ucap Dokter itu sambil memberikan tisu.
Anna keluar dari klinik itu dengan langkah yang lebih tegak. Ia tidak peduli lagi pada tatapan mencemooh di ruang tunggu. Kini, dunia di hadapannya tak lagi sekelam dulu. Jika makhluk sekecil itu punya keberanian untuk bertahan di tengah arus sungai yang mematikan, maka ia, ibunya, tidak punya alasan lagi untuk menyerah.