NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pendataan

Hujan turun bukan lagi sebagai berkah, melainkan peringatan.

Pagi itu, Desa Tanjung Sari terbangun oleh suara yang tidak biasa—derap sepatu di jalan tanah, lebih berat dari langkah petani, lebih tergesa dari anak-anak yang berangkat sekolah. Kabut masih menggantung ketika dua sepeda motor berhenti di depan balai desa.

Orang-orang keluar dari rumah, berdiri di ambang pintu, saling bertukar pandang tanpa suara. Tidak ada yang bertanya, karena beberapa jawaban memang tidak ingin didengar terlalu cepat.

Lia berdiri di dapur ketika suara itu sampai ke telinganya. Tangan yang memegang sendok terhenti di udara. Ada rasa mual yang kembali datang, kali ini lebih kuat, disertai detak jantung yang tiba-tiba tak beraturan.

“Bu…,” panggilnya lirih.

Ibu Surti muncul dari kamar, wajahnya langsung menegang begitu melihat ke arah jalan. Ia tidak berkata apa-apa, tapi gerakannya berubah—lebih cepat, lebih waspada.

Di luar, seorang pria berseragam turun dari motor. Ia membuka map cokelat, membaca nama desa dengan nada datar, seolah tempat ini hanya satu titik kecil dalam daftar panjang yang harus diselesaikan hari itu.

“Pengumuman dari kecamatan,” katanya.

Satu kalimat sederhana itu cukup membuat pagi kehilangan keseimbangannya.

.

Di sawah, Wijaya berhenti mencangkul ketika suara mesin terdengar mendekat. Burung-burung beterbangan meninggalkan pematang. Tanah basah terasa dingin di telapak kakinya.

Perasaan berat yang sejak kemarin mengendap di dadanya kini menemukan bentuk.

Ia berdiri tegak, menatap arah desa.

Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Wijaya merasa—rumah tidak lagi sepenuhnya aman.

Wijaya berjalan pulang dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Lumpur melekat di betisnya, tapi ia tidak berhenti membersihkan. Di kepalanya, suara mesin motor itu masih berputar, bercampur dengan kalimat Pak Wiryo yang terucap singkat di sawah. “Ke balai desa. Katanya penting.”

Di depan rumah, Lia berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, lebih pucat dari pagi tadi. Tatapan mereka bertemu sebentar—cukup lama untuk saling membaca, terlalu singkat untuk saling menenangkan.

“Mas,” kata Lia, suaranya pelan, “tadi ada orang kecamatan.”

Wijaya mengangguk. “Aku dengar.”

Mereka tidak melanjutkan percakapan itu. Ada hal-hal yang terasa lebih aman jika ditunda beberapa menit.

Balai desa penuh oleh suara yang ditahan. Bukan ribut, bukan sunyi—melainkan gumam rendah, seperti hujan yang jatuh di atap seng dari kejauhan. Para lelaki duduk berderet, beberapa perempuan berdiri di belakang, memeluk selendang atau menggendong anak kecil.

Di depan, Kepala Desa membuka map dengan tangan sedikit gemetar.

“Ini soal pendataan ulang lahan,” katanya akhirnya. “Ada kebijakan baru dari atas.”

Kata atas menggantung di udara, berat dan tak terlihat.

Seorang pria berseragam yang tadi pagi datang melangkah maju. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi. Ia berbicara tentang batas tanah, tentang sertifikat lama, tentang revisi yang “perlu disesuaikan”.

Kalimatnya rapi, bersih, dan sama sekali tidak menyebutkan dampaknya.

Namun setiap orang di ruangan itu tahu—jika sesuatu perlu disesuaikan, berarti ada yang akan dikorbankan.

“Lahan di petak timur,” lanjutnya, membuka satu lembar kertas. “Masuk daftar evaluasi.”

Wijaya merasakan telinganya berdenging. Petak timur. Sawah yang ia sebutkan semalam. Sawah yang sudah mereka tanami dengan harapan musim ini akan lebih baik.

“Evaluasi bagaimana?” tanya seseorang.

“Belum ditentukan,” jawab pria itu singkat. “Sementara, aktivitas diminta dihentikan dulu.”

Hentikan.

Satu kata itu memukul lebih keras dari kalimat panjang mana pun.

Di rumah, Lia duduk dengan tangan menggenggam ujung kain. Ia tidak ikut ke balai desa—Ibu Surti memintanya tinggal. Alasannya sederhana: kamu masih lemah. Tapi Lia tahu, ada alasan lain yang tidak diucapkan.

Ia mencoba fokus pada suara ayam, pada aroma kayu bakar, pada napasnya sendiri. Namun setiap menit terasa lebih panjang dari biasanya.

Ketika Wijaya pulang, senja sudah turun. Wajahnya tidak marah, tidak pula panik. Justru itu yang membuat Lia berdiri cepat. “Mas?”

Wijaya duduk perlahan. “Sawah kita… sementara dihentikan.”

Lia menelan ludah. Tangannya refleks menyentuh perutnya—gerakan kecil yang tidak luput dari mata Wijaya.

“Kenapa?” tanya Lia.

“Katanya pendataan ulang,” jawab Wijaya. “Tapi caranya… bukan seperti mendata.”

Mereka terdiam. Angin sore menyelinap lewat celah dinding, membawa dingin yang tidak biasa.

Lia ingin mengatakan sesuatu. Tentang bidan. Tentang kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Tentang betapa ia takut masa depan yang baru itu datang bersamaan dengan hilangnya yang lama.

Namun ia menahan diri. Belum sekarang.

Wijaya berdiri, menatap langit yang mulai gelap. “Aku akan cari tahu besok. Kita tidak boleh diam.”

Lia mengangguk pelan. Di dadanya, rasa mual bercampur dengan perasaan lain—naluri melindungi yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

.

Malam itu, Desa Tanjung Sari tidak benar-benar tidur.

Dan di dalam rumah kecil itu, dua orang dewasa belajar satu hal baru:

bahwa membangun keluarga bukan hanya soal cinta,

tetapi tentang bertahan, ketika dunia mulai menarik kembali apa yang telah ia janjikan.

Sementara Desa Tanjung Sari berusaha memahami arti satu lembar pengumuman, kota bergerak seperti biasa—tanpa jeda, tanpa rasa bersalah.

Di lantai delapan sebuah gedung perkantoran, hujan hanya terdengar sebagai ketukan halus di balik kaca tebal. Pendingin ruangan menyala stabil, lampu neon tak mengenal pagi atau sore. Di ruangan itu, musim tanam tidak berarti apa-apa.

Seorang pria berkemeja rapi duduk di balik meja besar, map-map cokelat tersusun seperti barisan tentara. Di depannya, beberapa berkas terbuka—peta, salinan sertifikat lama, catatan bertanda tinta merah.

“Desa Tanjung Sari?” tanyanya tanpa menoleh.

“Iya, Pak,” jawab staf di seberang meja. “Lahan timur masuk zona penyesuaian.”

Pria itu mengangguk pelan. Bukan tanda setuju, bukan pula ragu—lebih seperti seseorang yang mencentang daftar belanja.

“Pastikan tidak ada aktivitas dulu,” katanya. “Kalau dibiarkan, nanti ribet.

“Warganya?” tanya staf itu ragu.

Pria itu akhirnya mengangkat wajah. Tatapannya datar, nyaris bosan.

“Warga selalu ribet di awal. Nanti juga capek sendiri.”

Ia menutup map, mendorongnya ke sisi meja. Di kertas itu, garis-garis sawah hanya tampak sebagai bidang hijau tak bernama. Tidak ada keringat. Tidak ada doa. Tidak ada perut perempuan yang menyimpan kehidupan baru.

Di luar gedung, klakson bersahutan. Kota tidak peduli desa mana yang kehilangan musim.

Malam di Desa Tanjung Sari berjalan lebih lambat dari biasanya.

Setelah makan, Wijaya duduk di lantai beralas tikar, membersihkan lumpur yang mengering di cangkulnya—pekerjaan yang seharusnya dilakukan sore tadi. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya tidak sepenuhnya hadir.

Lia mengamati dari ambang pintu. Ada keinginan kuat untuk berkata jujur, tapi juga rasa takut bahwa kejujuran itu akan menjadi beban tambahan di pundak Wijaya yang sudah berat.

“Kepala desa bilang besok akan ada pendataan lanjutan,” ujar Wijaya tanpa menoleh. “Katanya hanya sementara.”

Sementara.

Kata itu kembali terdengar kosong.

Lia duduk di sampingnya. “Kalau… kalau sawah itu diambil?”

Wijaya berhenti. Napasnya tertahan sejenak. “Aku belum mau memikirkan sejauh itu.”

Ia melanjutkan membersihkan cangkul, lebih keras dari sebelumnya.

Di luar, hujan turun lagi—lebih deras dari pagi. Atap seng berisik, seolah ikut berdebat dengan kegelisahan mereka.

Lia menekan perutnya pelan. Tidak ada yang terasa, belum ada tanda apa pun selain mual dan lelah. Tapi ia tahu, ada sesuatu yang sedang bertumbuh dan bergantung sepenuhnya pada keputusan-keputusan yang dibuat orang-orang jauh dari desa ini.

Keesokan paginya, kota kembali bergerak. Rapat singkat digelar. Kopi hitam, kertas ditandatangani, satu-dua catatan tambahan. Tidak ada yang menyebut nama Wijaya. Tidak ada yang menyebut Lia. Desa Tanjung Sari hanya angka dan lokasi.

“Pastikan sosialisasinya halus,” ujar seseorang di ujung meja.

“Tidak perlu ramai.”

Dan begitulah keputusan diambil—cepat, rapi, dan jauh dari lumpur sawah.

Di desa, Lia berdiri di halaman, menatap padi yang bergoyang tertiup angin. Hijau, muda, dan penuh harap.

Ia mengerti sekarang:

bahwa ancaman tidak selalu datang dengan suara keras,

kadang ia datang lewat meja bersih, pulpen mahal, dan kata sementara yang tak pernah benar-benar sementara.

Tangannya kembali ke perutnya. “Bertahanlah,” bisiknya—entah pada dirinya sendiri, atau pada kehidupan kecil yang belum tahu dunia seperti apa yang sedang menunggunya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!