"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
*
Ceklek.
Ajeng yang sedang melakukan sesuatu pada tabletnya, menoleh singkat saat pintu kamarnya dibuka oleh seseorang .
Dan begitu dia tahu siapa yang membukanya, Ajeng kembali pada kegiatannya, seolah tak peduli siapa yang datang.
“Aku bawakan sarapan, Dek. Sekalian untuk makan siang.” Rendy meletakkan nampan berisi makanan lengkap di atas meja.
Tidak hanya porsi sepiring, tapi mungkin dua atau tiga kali makan.
“Aku udah sarapan.” Jawab Ajeng tanpa menatap suaminya.
“Oh ya? Siapa yang ngasih? Apa ada yang membukakan pintu?”
“Kamu nggak perlu khawatir! Mereka nggak ada yang khianatin perintahmu. Monik yang bawain makanan dari balkon.”
“Emang bisa?” Rendy menaikkan satu alisnya.
“Bisalah. Kan usaha.”
Rendy menghela nafas panjang karena menyadari istrinya masih marah.
“Maaf, pasti kamu udah kelaparan ya? Tadi, Mas baru bangun, Dek. Kalau malam, Brina suka ngajakin begadang.”
“Ekhem.” Ajeng berdehem kecil, mulai kesal. Bahkan, dia sampai meletakkan pensilnya yang semula sibuk mencoret-coret lembar kerja di tablet miliknya.
“Apa perlu yang seperti itu kamu ceritakan?” Baru kali ini, Ajeng menatap Rendy.
“Aku cuma menjelaskan biar kamu nggak ngira kalau aku menyiksamu sampai nggak ngasih makan.”
“Ya. Itu juga yang aku pikirkan. Ini sudah hampir jam makan siang, dan kamu baru saja datang kesini. Aku tidak terlalu mengharapkanmu, tapi biarkan salah satu dari mereka bisa masuk sini.”
“Jadi, kamu masih mau dikurung? Belum sadar juga kalau rencanamu itu salah?”
Sepertinya, Rendy mulai kesal karena terus disalahkan. Terlebih, sikap Ajeng begitu dingin, cenderung ketus.
“Aku tidak akan merubah keputusanku. Justru, kalau aku nggak cepat-cepat cerai dari kamu, aku akan menjadi manusia paling bodoh.”
“Kamu benar-benar tidak tahu yang kamu bicarakan, Ajeng.” Rendy mulai geram. Menahan amarah, dengan cara mengeratkan gigi-giginya sendiri.
“Aku tahu. Aku sangat tahu, dan aku masih sangat sadar atas apa yang aku pikirkan.” Wanita itu masih tenang.
“Kamu sudah dipengaruhi seseorang, Ajeng. Iya kan?” Rendy sedikit berteriak.
“Kenapa sih kamu masih aja nggak sadar kalau apa yang kamu lakukan itulah yang bikin aku mau kita cerai? Kenapa harus mengkambing hitamkan orang lain yang belum tentu ada.”
“Nggak! Pokoknya, aku nggak akan pernah ngizinin kamu melakukan apapun, bahkan untuk sekedar bertemu temanmu saja. Kamu akan tetap disini, sampai kamu menyadari kesalahanmu.”
“Oh, jadi kamu pikir aku yang salah begitu? Sedangkan kamu bisa seenaknya sendiri melakukan apapun?” Ajeng mulai meradang.
“Memang benar kan? Bagian mananya yang salah dari aku? Karena kamu cemburu, begitu?” Rendy tersenyum sinis. “Itu masalah hatimu sendiri. Aku nggak pernah berniat membuatmu cemburu. Aku dan Sabrina pasangan sah.”
“Ya, kamu memang benar, Mas. Terserah kamu berpikir apa. Teruslah menganggap jika dirimu yang paling benar. Begitupun dengan aku. Biarkan aku pada keyakinan dan keputusanku sendiri, bercerai dari kamu."
“Jangan berani macam-macam kamu, Ajeng!” Tiba-tiba, Rendy mencengkeram rahang Ajeng sangat kuat.
“Ya. Lakukan sesukamu, Mas. Ini bisa aku gunakan sebagai bukti di pengadilan.” meskipun menahan sakit, tapi Ajeng berusaha tenang.
“Jangan macam-macam, atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih parah dari ini!” Ancam Rendy.
“Silahkan saja! Aku nggak takut! Kamu mau memukulku?”
“Kamu menantangku, Ajeng?” Rendy berteriak. Tangannya sudah terangkat hendak menghantam pipi Ajeng.
“Mas, jangan!”
Tiba-tiba, suara seorang wanita, terdengar dari balik pintu yang masih setengah terbuka. Wanita itu masuk, mencegah suaminya melakukan sesuatu kepada Ajeng.
Ya, itu adalah Sabrina.
Ajeng yang melihatnya, hanya bisa berdecih dalam hatinya. Kalau dia boleh menebak, pasti sejak tadi madunya itu sengaja menguping di luar sana.
“Jangan kasar, Mas. Aku tahu, kamu lagi emosi.” Sabrina memeluk Rendy dan menurunkan tangan suaminya.
Dengan sangat menurut, Rendy mengikuti kemauan istri mudanya.
“Kasihan Mbak Ajeng. Tolonglah, Mas, jangan seperti ini. Kalian bisa bicarakan baik-baik. Atau kalau nggak, kalian bisa baikan aja kan?”
“Dia harus diberi pelajaran, Sayang.”
Ajeng tersenyum samar, sambil melengos. Sungguh, dia menikmati drama di depannya itu.
“Tidak perlu pakai kekerasan, Mas. Mbak Ajeng itu cewek loh. Pasti, dia cuma lagi sensi aja. Kamu suaminya harus lebih sabar.”
Apa Ajeng takjub dengan cara Sabrina membujuk Rendy, hingga lelaki itu nampak lunak? Jawabannya, tentu saja tidak. Ajeng justru memutar bola matanya malas karena hal itu.
“Mbak Ajeng, maafin Mas Rendy ya. Mungkin, dia lagi emosi.” Kata Sabrina kemudian, gantian menyentuh lengan Ajeng.
Ajeng sendiri mengelak secara halus, seolah malas disentuh oleh madunya.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu.”
Kalau saja, Sabrina mengerti, pasti dia tahu jika Ajeng sedang menyindirnya. Sayangnya, mana bisa wanita culas itu sadar diri?
“Hehehe. Mas Rendy kan suamiku juga, Mbak. Jadi, aku harus minta maaf atas namanya.”
Ajeng bergeming, malas menanggapi Sabrina lagi.
“Em… Mbak.”
Saat Ajeng menatapnya datar, dia tahu Sabrina sedang mengamati tangannya.
“Cincin Mbak Ajeng bagus. Baru ya? Atau baru dipakai? Beli dimana, Mbak?”
Ajeng kembali tersenyum miring mendengar pertanyaan Sabrina. Tapi, sebelum dia menjawab, seseorang sudah lebih dulu menarik tangannya dengan kasar.
“Mana cincin kawin kita, Ajeng?” Rendy melotot kembali marah.
“Apa sih? Kasar banget. Lepas! Sakit tau.” Ajeng menarik paksa tangannya sendiri.
“Jawab dulu! Dimana cincin kawin kita?” Tegas Rendy sekali lagi.
“Ada di lemari. Kenapa? Kamu mau mengambilnya?”
“Lepaskan cincin itu, dan pakai kembali cincin kawin kita!"
“Cincin ini nggak bisa dibuka.” Sahut enteng Ajeng, benar-benar tak merasa bersalah.
“Biar aku aku yang melepasnya.”
Rendy menarik tangan Ajeng lagi, lalu berusaha menarik cincin itu dengan kasar.
“Ah, sakit, Mas! Dibilangin nggak bisa juga.”
“Kamu sengaja lepas cincin kita kan? Kamu ganti pakai itu karena kamu marah.”
“Aku membukanya karena mau nyobain cincin baruku. Sebetulnya, nggak ada niat mau lepas selamanya cincin kawin kita. Tapi, berhubung kita mau cerai, ya sudah, nggak usah dipakai lagi aja.”
“Sampai kapanpun, kita nggak akan bercerai, Ajeng.”
Rendy kembali emosi, tapi Sabrina mencegah lagi.
“Udah, Mas. Daripada kamu marah-marah terus, mending kita pergi dari sini.” Wanita itu kembali menahan Rendy dengan pelukannya.
Rendy sih menurut dan kembali lunak. Tapi, sepertinya Sabrina yang malah belum puas.
“Em, tapi, Mbak. Sebelum kami keluar, aku mau tanya dulu, Mbak beli cincin itu dimana? Aku pengen banget soalnya. Tapi, mau beli yang aslinya, adanya limited edition.”
Ajeng menaikkan satu alisnya, menanggapi Sabrina. Baiklah, sepertinya dia paham maksud madunya itu.
“Oh, benarkah? Apa ini benar-benar limited edition? Berarti, aku beruntung dong bisa dapetin ini.” Ajeng sengaja bersikap provokatif.
“Itu tiruan atau bukan, Mbak?”
Ajeng semakin tersenyum melihat Sabrina kepo.
“Produk Sarah Jewelry. Menurut kamu, asli atau palsu?” Ajeng sengaja mengompori. Tapi, sejauh ini, dia memang berkata jujur.
“Wah, asli kalau gitu, Mbak. Kapan ya aku bisa punya kayak gitu? Mana pasti sekarang udah nggak ada lagi.” Wanita itu memasang wajah sedih. “Mas…. Gimana dong? Aku pengen banget yang kayak ini.”
Melihat istri tercintanya merengek, Rendy berbicara kepada Ajeng
“Pinjamkan dulu sama Sabrina, Dek. Nanti, kamu bisa beli lagi.”
“Apa?!” Ajeng bertanya tidak dengan nada tinggi. “Kamu mau aku pinjami dia, Mas? Dan kamu nyuruh aku beli lagi, seenakmu sendiri, iya?” Ajeng tersenyum sinis.
“Nanti juga bisa dikembalikan kan?”
“Tidak! Sampai mati pun, aku nggak akan pinjamkan ini sama dia. Ini adalah hasil kerja kerasku. Kalau dia mau, suruh dia kerja keras juga, atau kamu inisiatif membelikannya.”
“Tapi, kamu denger sendiri kan itu limited edition?”
“Kalau begitu, ya sudah. Belajar untuk menahan diri. Lagipula, sudah ku bilang kan kalau ini nggak bisa dilepas.”
“Mas…” Sabrina kembali merengek.
Rendy hampir membuka mulutnya lagi, tapi Ajeng mendahului.
“Apa maumu, Mas? Kamu tetap mau paksa aku memberikan ke dia?” Ajeng tersenyum penuh arti. “Kamu tahu, sikapmu ini benar-benar membuatku yakin, kalau aku harus cerai dari kamu secepatnya.”
Dikatai seperti itu, Rendy mengeraskan rahangnya. Tidak berbicara lagi dengan Ajeng, tapi dia menyeret Sabrina keluar dari sana.
“Kita cari yang lain kalau kamu mau.” ucap lelaki itu kepada istri mudanya.
“Serius, Mas?” Sabrina terlihat senang.
Entah, bagaimana jawaban Rendy selanjutnya. Selain Ajeng tak peduli, dia juga tak mendengar lagi karena pintu kamar sudah ditutup oleh pria beristri dua itu lagi.
“Benar-benar pasangan yang serasi.” Ajeng bergumam dengan kesal.
Demi menjaga kewarasannya sendiri, dia memilih mengambil ponselnya, guna mencari hiburan.
Namun, saat dia membuka ponselnya, Ajeng tersenyum senang karena sebuah pesan yang masuk ke nomornya.
[Mau makan siang apa? Tadi, sarapannya dihabiskan kan?]
Dengan penuh semangat, Ajeng membalas pesan itu.
[Aku mau seafood. Apa bisa, Mas?]
Tak lama kemudian, balasan dari Biantara, muncul lagi.
[Baiklah, tunggu ya... Paling lambat jam 12, pasti udah sampai]
Ajeng benar-benar tak bisa melunturkan senyumnya. Dia tahu, dia memang salah membiarkan perasaan bahagia itu tumbuh di hatinya.
Tapi, sebagai manusia normal dengan segala kelemahannya, sepertinya dia bukan satu-satunya wanita yang akan menerima kenyamanan dari orang lain, saat suaminya berlaku dholim.
Ajeng bukan mewajarkan. Dia juga tahu dia salah. Tapi, dia hanya ingin menghibur dirinya sendiri, dengan apapun. Termasuk dengan perhatian Biantara.