Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16. Bikin Deg-degan
16
Suara percikan air terdengar dari arah shower outdoor di depan villa. Siang itu, sinar matahari sudah di ubun-ubun, menembus celah dedaunan kelapa dan menciptakan pantulan cahaya di ubin batu alam.
Allen berjalan menuju Aldrich, membawa sehelai jubah mandi putih tebal di tangannya. Wajahnya tampak gugup, tapi ia berusaha menata napas.
“Tenang, ini cuma pekerjaan. Cuma ngasih jubah mandi, gak lebih,” gumamnya pelan.
Dari arah shower, terdengar suara Aldrich. “Allen? Kamu lama banget sih?”
“I-iya, Mas. Ini bathrobe nya,” sahut Allen gugup.
“Kamu kenapa sih?,” tanya Aldrich heran melihat Allen yang menjawab gugup dan menghindari dari menatap ke arahnya.
Allen melangkah pelan, lebih mendekat dengan bathrobe yang masih tersodor sambil mengalihkan pandangan. Ia menunduk, mencoba fokus agar tidak salah langkah. Tapi suara air yang terus mengucur, aroma sabun pria yang khas, dan siluet tubuh Aldrich membuat jantungnya berdegup kencang tanpa bisa dikendalikan.
Aldrich menoleh sedikit sambil menyambut uluran tangan Allen. “Kamu kenapa? Wajah kamu merah banget kayak kepiting bakar.” katanya, nada suaranya tenang tapi mengandung rasa ingin tahu.
“Ah, gak, Mas! Cuma... kepanasan kayaknya. Iya, kepanasan doang kok.” jawab Allen kikuk, segera memalingkan wajah kembali.
Aldrich menghentikan aliran air dan mengenakan bathrobe ke tubuh kekarnya hingga secara spontan Allen menghela nafas lega.
“Kamu selalu terlihat tegang, Allen. Padahal aku cuma minta hal sepele kayak gini. Kamu tenang aja, aku masih doyan perempuan kok. Jadi gak perlu takut gitu sama aku.”
Allen tertawa canggung. “Mungkin aku cuma masih belum terbiasa, Mas. Semua serba baru buat aku.”
Aldrich mengangguk pelan, lalu mengikatkan tali jubah yang baru saja melilit tubuhnya.
“Makasih,” ucapnya pendek, lalu menatap Allen dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Kamu tahu gak, jarang ada asisten yang setelaten kamu.”
“Terima kasih, Mas. Aku cuma... ingin melakukan yang terbaik,” ujar Allen cepat, menunduk sopan, berusaha menghindari kontak mata. Tapi ia tahu pipinya kini terasa panas seperti terbakar.
Aldrich menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya, lalu akhirnya melangkah pergi, meninggalkan aroma sabun dan udara lembap di belakang.
Allen baru berani menarik napas panjang begitu pria itu benar-benar pergi.
“Ya ampun... kalau tiap hari kayak gini, aku bisa jantungan beneran,” gumamnya, memegang dadanya yang masih berdebar keras.
***
Udara siang di tepi pantai terasa kering, tetapi segar. Angin menerpa lembut, membawa aroma laut yang menyatu dengan semerbak masakan dari dapur vila mewah milik Aldrich. Dari arah teras samping, pramusaji sibuk menata hidangan di atas meja bulat yang menghadap langsung ke laut, pemandangan biru dengan ombak yang pecah di sela-sela karang, menimbulkan suara yang begitu menenangkan.
“Allen! Ayo makan siang!” suara Liang memecah keheningan dari dalam vila. Ia berjalan santai menuju teras, kemejanya digulung sampai siku, rambutnya agak berantakan, tapi justru terlihat lebih kasual dan karismatik.
Allen yang masih betah bersantai di luar sambil menikmati angin pantai menoleh cepat, sedikit gugup. Ia masih belum sepenuhnya pulih dari rasa canggung setelah insiden tadi, melihat sang bos hanya dengan paka_ian da_lam membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Namun begitu mendengar Liang memanggil, Allen menegakkan tubuhnya dan berusaha menormalkan ekspresinya.
“Ya, sebentar, Ko!” sahutnya cepat.
Begitu ia tiba di teras samping, Aldrich sudah duduk santai di salah satu kursi, mengenakan kemeja pantai tipis dan celana pendek linen. Rambutnya yang hitam berkilau masih terlihat lembab, memberi kesan menawan yang membuat Allen nyaris kehilangan fokus.
Liang memberi isyarat pada pelayan untuk menuangkan minuman. “Silakan duduk, Allen,” ucapnya lembut. “Kamu kan lagi gak enak badan. Jadi harus makan yang bernutrisi.”
Allen menunduk sopan. “Aku bisa bantu angkat hidangan dulu, Ko. Lagian belum semuanya tertata rapi.”
Namun Liang menahan tangannya dengan cepat.
“Gak usah. Biar mereka yang urus.”
Nada suaranya pelan, tapi cukup tegas. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi tanda agar Allen duduk di sana.
Aldrich yang melihat pemandangan itu menaikkan alisnya sedikit. “Tumben. Biasanya kamu ketat banget soal disiplin kerja. Sekarang kok malah manjain asisten?” tanyanya dengan nada setengah bercanda.
Liang terkekeh. “Allen bukan cuma asisten, Bos. Dia bagian penting dari tim. Kalau dia sakit karena kecapekan, yang repot ya kita juga.”
Allen menunduk dalam, pipinya memanas.
“Terima kasih, Ko Liang… tapi aku baik-baik aja kok,” gumamnya pelan.
Aldrich menatap keduanya secara bergantian, lalu menyesap jus lemonnya perlahan. Ada sesuatu yang menggelitik di pikirannya, tapi ia memilih diam.
Ia memperhatikan bagaimana Liang sesekali membantu mengambilkan lauk untuk Allen, bahkan menambahkan nasi ke piringnya tanpa diminta.
Sikap itu jelas bukan hal biasa.
“Kamu mau tambah sambal? Ini gak terlalu pedas,” tanya Liang dengan nada penuh perhatian.
Allen sempat menatapnya tak percaya. “Ah… gak perlu repot, Ko. Aku bisa ambil sendiri.”
“Sudah, makan aja yang banyak,” potong Liang sambil tersenyum samar. “Kamu butuh tenaga. Apalagi semalam katanya susah tidur.”
Allen nyaris tersedak. “I-iya, ko.”
“Tadi pagi kamu kelihatan lemas dan kurang fokus,” jawab Liang ringan, lalu menatapnya dari ujung mata. “Kupikir karena kerjaan, tapi mungkin... karena hal lain, ya?”
Aldrich menurunkan sendoknya perlahan, memperhatikan perubahan ekspresi Allen yang mendadak panik. “Hmm… hal lain?” tanyanya datar.
“Kamu mimpi buruk atau ada yang ganggu, Allen?”
Allen langsung menggeleng cepat. “Nggak, nggak ada apa-apa, Mas! Aku cuma… kurang tidur aja.”
Liang terkekeh kecil, sementara Aldrich hanya menghela napas dan memandang laut di hadapan mereka.
Suara ombak terdengar semakin keras, dan sejenak suasana makan siang itu terasa aneh, tenang di luar, tapi hangat dan penuh ketegangan di antara mereka bertiga.
Liang berdeham. “Mas, nanti sore kita mau lanjut surfing?”
Aldrich mengangguk tanpa menoleh. “Ya. Tapi kalo bisa Allen ikut juga biar seru.”
Allen yang canggung hanya bisa tersenyum kaku. “Tapi, Mas. Aku masih ga enak perutnya.”
Dan di dalam hatinya, Allen makin merasa kacau. Ia bisa merasakan tatapan Aldrich yang kadang tajam, kadang lembut dan di sisi lain, perhatian Liang yang hangat tapi misterius
"Ko Liang, panggil dokter buat priksa Allen. Takutnya ada yang mengkhawatirkan. Gak asik dong liburannya kalo dia gak ikut seru-seruan." titah Aldrich.
"Tapi, Mas..." Sahut Liang.
"E-eh, gak usah ko. Nanti abis makan aku bakal minum obat lagi kok. Yakin deh abis ini pasti sakitnya mendingan." Serobot Allen, sementara jantungnya sudah bergemuruh tak karuan.
"Kamu yakin?" tanya Aldrich memastikan.
"Yakin kok, Mas." Jawab Allen cepat.
Liang mengangguk-anggukkan kepala, lalu tanpa bicara ia melanjutkan makannya.
Di kejauhan, matahari mulai condong ke barat.
Pantulan cahaya keemasan di permukaan laut tampak indah, tapi bagi Allen, siang itu justru seperti awal badai yang perlahan mendekat.
.
YuKa/ 161025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍