NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

Carol berencana untuk berdiskusi dulu dengan papanya besok. Mungkin saja papanya memiliki solusi terbaik untuk dirinya.

Keesokan paginya, Carol tidak memakai baju sekolah. Sementara itu, Anton sudah menunggu di bawah.

> “Nona Carol ke mana, Bi?”

“Ada di kamarnya, Tuan. Ada apa?”

“Kenapa dia nggak turun-turun? Bukannya katanya mau sekolah? Kok dia nggak turun-turun sih? Apa dia menarik perkataannya kembali dan tidak mau sekolah?”

Karena Carol tak juga turun, akhirnya Anton naik ke atas dan mengetuk pintu kamar Carol.

Tok! Tok! Tok!

> “Carol, ini Papa. Tolong buka pintunya, Nak.”

Carol bingung harus berkata apa kepada papanya, karena dirinya sendiri belum siap untuk pergi ke sekolah. Ia takut papanya akan memarahinya, sebab kemarin ia sudah bilang ingin sekolah, tapi hari ini tidak. Carol juga takut papanya jadi tidak percaya lagi padanya. Maka dari itu, ia memilih tidak membuka pintu.

Sebenarnya, tidak apa-apa kalau Carol jujur. Hanya saja, Anton menjadi khawatir terhadap anaknya. Ia takut Carol menjadi trauma dan mengalami gangguan mental yang parah di kemudian hari.

> “Tenang aja, Carol. Papa nggak bakal marah kok sama kamu. Kalau misalkan Papa marah, kamu boleh marahin Papa balik.”

Carol yang mendengar itu hanya diam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Baginya, ia sangat bersyukur memiliki papa yang sebaik Anton.

Akhirnya, Carol membuka pintu dengan sedikit celah. Ia masih takut bertemu muka dengan papanya.

> “Papa boleh masuk ke kamar kamu?”

Carol pun membuka pintu sedikit lebih lebar agar papanya bisa masuk.

Anton baru sadar, kini Carol sudah dewasa. Semua perlengkapan di kamar Carol menunjukkan perubahan itu — mulai dari make up, perhiasan, hingga koleksi tas yang bahkan Anton tidak tahu kapan Carol membelinya.

Anton merasa bersalah dan menyesal karena selama ini terlalu cuek pada anaknya sendiri, padahal Carol adalah satu-satunya anak yang ia punya.

> “Kamu nggak mau sekolah?” tanya Anton pelan.

“Maafin aku, Pa. Kayaknya aku belum siap untuk ke sekolah. Papa nggak marah kan sama aku?”

“Ya nggak apa-apa kalau kamu belum siap. Papa nggak maksa kamu. Papa juga mau ke kantor sebentar sih. Kamu mau ikut?”

“Emang aku boleh ikut ke kantor Papa? Bukannya aku malah ganggu, Pa? Siapa tahu Papa ada meeting atau apa, kan aku nggak tahu.”

Anton berpikir sejenak. Kalau Carol ikut ke kantor, hal apa yang bisa diajarkan ke anaknya?

> “Kalau kamu mau, nanti Papa minta sekretaris Papa untuk ngajarin kamu tentang pengelolaan perusahaan. Tapi kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa.”

“Tapi kan aku masih SMA. Apa aku wajib belajar hal itu? Aku belum tentu jadi pewaris Papa.”

“Lantas, kalau bukan kamu, siapa lagi?”

Carol hanya diam. Ia bingung dan merasa bersalah karena menolak keinginan papanya.

> “Papa marah ya gara-gara aku nggak mau sekolah? Ya sudah deh, kalau Papa marah, aku akan ke sekolah.”

“Papa serius mau ngajarin kamu tentang pengelolaan perusahaan. Tapi kenapa kamu nggak mau? Kamu mau berharap apa?”

“Kan Papa tahu, kemarin-kemarin aku bikin kue. Aku pengen coba bisnis itu sendiri. Aku nggak mau nerusin usaha Papa, karena itu bukan usaha aku. Aku juga nggak ngerti.”

“Makanya, karena kamu nggak ngerti, Papa ajarin biar kamu ngerti. Nanti kalau kamu udah ngerti, terserah mau lanjut atau nggak. Itu urusan kamu. Papa nggak bisa maksa.”

Carol kembali diam. Ia berpikir, kalau belajar, apakah dirinya akan jadi egois dan ingin menguasai semua aset papanya?

> “Nggak deh, Pa. Hari ini aku mau bikin kue aja. Nanti kalau Papa pulangnya lama, aku bakal anterin kuenya ke kantor. Tapi kalau Papa pulang cepat, ya aku nggak anterin.”

“Ya sudah, terserah kamu aja. Pokoknya kalau kamu udah siap, kasih tahu Papa, ya. Nanti Papa ajarin kamu tentang pengelolaan perusahaan.”

“Iya, Pa. Makasih, ya. Papa udah baik banget sama aku, padahal aku sering ngecewain Papa dan nyusahin Papa.”

Anton hanya diam. Dalam hati, ia bangga memiliki anak seperti Carol.

Ia merasa Carol layak menjadi ahli warisnya. Anton sudah membesarkannya dari bayi hingga sekarang. Namun sampai hari ini, orang tua kandung Carol tak pernah mencarinya. Apakah mereka tidak pernah merasa melahirkan anak seperti Carol?

Anton keluar dari kamar Carol. Ia berhenti sejenak di depan pintu, memandangi ruangan itu. Ada rasa kasihan di hatinya. Ia sendiri bingung bagaimana harus bersikap terhadap Carol.

Sesampainya di mobil, Anton berpesan pada pengawal agar selalu menjaga dan melindungi Carol. Ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

Anton berpikir, jika suatu hari ia sudah tidak ada di dunia ini, setidaknya Carol bisa melanjutkan segalanya dengan baik. Namun ada satu penyesalan dalam hidup Anton — ia belum memberitahu Carol bahwa sebenarnya Carol bukan anak kandungnya.

Mungkin sekarang belum saat yang tepat. Anton sendiri belum siap untuk mengatakannya.

---

Setibanya di kantor, Anton langsung menghadiri meeting bersama klien yang sudah lama menunggu. Walau ia menunda beberapa pekerjaan sebelumnya, tetap saja tugasnya menumpuk dan tak pernah berkurang.

Meskipun Carol tidak tahu betapa sibuknya papanya, Anton selalu berusaha menyisihkan waktu untuk bermain dengannya. Ia tidak mau mengulang penyesalan yang sama. Lebih baik menebus kesalahan sekarang daripada menyesal nanti.

Kalaupun nanti Carol tahu bahwa ia bukan anak kandung Anton, setidaknya ia sudah tumbuh menjadi anak yang baik.

Setelah meeting selesai, waktu sudah menunjukkan sore hari. Anton teringat pada Carol — apakah anaknya sudah makan? Apa yang sedang ia lakukan? Dalam hati, Anton ingin segera pulang dan bermain dengan anaknya, tapi ia masih harus bekerja keras demi masa depan Carol.

Meski dulu Anton sempat meninggalkan anaknya demi mencari sosok ibu yang tepat, kini ia sadar hal itu tidak perlu dilakukan. Ia bahkan enggan mencari wanita lagi. Karena sikap itulah, banyak orang menilai Anton aneh — pria tanpa istri tapi punya anak.

Orang-orang berbisik, menuduh Anton pria yang “celap-celup” tanpa ikatan jelas. Tapi Anton tidak peduli.

Bagi Anton, yang penting adalah anaknya. Selama Carol tidak mendengar hal buruk itu, Anton tak mempermasalahkan apa pun.

Anaknya jauh lebih berharga daripada omongan orang lain. Orang-orang boleh menilai apa saja, tapi mereka tak pernah mengenal Anton seperti Carol mengenalnya.

---

Sementara itu, Carol sudah selesai membuat cookie. Ia mencicipinya, dan rasanya sudah pas di lidah. Namun ia mulai merasa lelah — setiap hari mencoba resep yang sama tanpa hasil baru.

Kini Carol bingung, bagaimana cara memasarkan kuenya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!