Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Elio
Panggilan masuk dari sekretaris membuat Eleanor harus menuju ruang direktur. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan benar saja, Nicholas ada di sana. Duduk santai, seolah ruangan itu miliknya.
Direktur tersenyum kaku ketika Eleanor masuk. “Madame Chen, Mr. Nicholas Armand sudah menyampaikan keinginannya. Aku pikir… tak ada salahnya jika kau sendiri turun langsung menanganinya. Ini kesempatan besar bagi perusahaan.”
Eleanor berdiri tegak lalu tersenyum sangat tipis. “Dengan hormat, saya menolak. Tim ini punya banyak orang kompeten di bidangnya. Permintaan itu di luar lingkup pekerjaan saya.”
Suasana seketika tegang, terlihat jelas direktur mencoba menekan senyum. “Kau tahu risikonya, Eleanor. Menolak klien sebesar Mr. Nicholas bukan keputusan tepat. Kau bisa…” ia berhenti sejenak, menimbang kata-kata, “…mengorbankan karirmu sendiri.”
Nicholas menyilangkan kakinya dalam diam, tapi matanya menatap Eleanor dengan intens. Dan ia merasakan tatapan itu, “Saya paham risikonya, Madame. Tapi keputusan saya tidak berubah.”
Sesaat, hanya terdengar bunyi detak jam dinding di ruangan itu. Nicholas akhirnya bangkit, merapikan jasnya lalu mendekat pada Eleanor. Senyuman tipis menghiasi bibirnya, senyum yang mengandung ancaman.
“Seorang konsultan budaya yang tidak fleksibel,” katanya datar, “mungkin bukan konsultan yang profesional.”
Direktur menoleh gugup ke arah Nicholas, lalu kembali ke Eleanor. Namun Eleanor tidak bergeming, hanya menatap lurus ke depan seolah tak terpengaruh.
Nicholas berjalan melewati Eleanor, berhenti sebentar di sisinya lalu berbisik tepat di telinganya. “Kau tidak bisa lari selamanya.”
Eleanor menegang…
Eleanor duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan notulen rapat pagi tadi. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Ia menutup laptop dengan helaan napas berat. Jemari lentiknya memijat pelipis sementara matanya terpejam rapat. Kata-kata Nicholas di ruang meeting masih terngiang di telinganya. Ia menggunakan kedudukan untuk menekannya. Eleanor tahu jika ia tetap menolak, maka Nicholas tidak akan berhenti sampai di situ. Ia mengenalnya terlalu baik.
Suara langkah berat dari pintu membuatnya menoleh. Elio baru saja pulang dengan tas ransel hitam di punggungnya. Senyum lebar menghiasi wajah remaja itu begitu melihat ibunya sudah di rumah.
“Hi, Mum,” sapa Elio ringan, melepas tasnya di kursi. “Kau terlihat sangat lelah.”
Eleanor berusaha mengembalikan senyum. “Hanya masalah pekerjaan. Jangan khawatir...”
Setelah Elio masuk ke kamarnya, Eleanor membuka kembali laptopnya meski layar kosong terasa seperti cermin yang memantulkan kegelisahannya sendiri.
Resign.
Kata itu kembali bergulir di kepalanya semakin nyata. Ia tinggal menulis surat pengunduran diri dan menyerah pada posisi yang sudah ia perjuangkan bertahun-tahun. Lalu… selesai. Nicholas tidak akan lagi punya alasan untuk menekannya dan tidak ada lagi ruang untuk bertemu.
Pintu kamarnya Elio terbuka, ia langsung mencium aroma sabun mandi. Elio duduk di sofa sambil membawa segelas susu.
“Mum,” panggilnya sambil duduk santai di tepi meja kerja Eleanor. “Aku tadi ngobrol bersama teman-teman soal college.”
Eleanor menoleh penuh perhatian. “College?”
Elio mengangguk dengan mata berbinar. “Aku ingin mencoba École Polytechnique atau mungkin Oxford, jika aku beruntung.” Ia tertawa kecil, lalu meneguk susu dari gelasnya. “Aku tahu itu sulit, tapi aku sangat ingin mencoba.”
Eleanor menggenggam jari Elio, senyum bangga perlahan merekah di wajahnya. Tapi di balik itu hatinya mencelos. Biaya untuk pendidikan di sana tidaklah murah.
“Itu minat yang bagus, Boy,” ucapnya lembut, menutupi guncangan hatinya. “Mum akan mendukung semua impianmu.”
Elio menatap Eleanor, lalu mengerutkan kening menyadari ada yang berbeda dari ekspresi ibunya. “Mum,” suaranya pelan dan hati-hati, seakan takut menyinggung. “Are you okay?”
Eleanor cepat-cepat menggeleng, terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku baik-baik saja. Akhir-akhir ini pekerjaanku sangat banyak, yeah… sedikit pusing.”
Elio masih ingin bertanya lebih jauh, tapi ia mengenal ibunya cukup baik untuk tahu kapan harus berhenti. Ia mengangguk, sambil menepuk bahu Eleanor. “Apa pun itu aku tahu kau bisa mengatasinya. Semangat, Mum.”
Eleanor bangkit dari kursinya lalu berjalan ke kamar sambil berkata ringan, “Mum akan mandi sebentar. Kau bisa mengerjakan PRmu, Elio.”
Elio berdiri, lalu mengangguk singkat, “Oke, Mum. Goog Night.”
“Night,”
Ia menatap punggung putranya yang kembali ke kamar, dadanya terasa sesak. Jika ia menyerah sekarang, bagaimana dengan mimpi Elio?
Begitu pintu kamar mandi terkunci, Eleanor langsung menyalakan shower. Suara air mengalir segera memenuhi ruangan. Ia berdiri lama di bawah guyuran itu, membiarkan air hangat membasahi rambut, wajah, dan tubuhnya.
Perlahan, bahunya mulai bergetar. Tangan kanannya menutupi mulut, berusaha menahan suara yang ingin pecah lebih kencang. Biarlah air matanya mengalir bersama air shower.
Ia lelah, sangat lelah…
Lelah harus berpura-pura kuat di depan Elio. Lelah menjaga wibawanya di kantor. Lelah harus menghadapi tatapan Nicholas yang selalu menekannya.
Tangisannya bukan hanya tentang hari ini. Ini adalah tangisan yang selama bertahun-tahun ia tahan dalam dirinya. Tentang Nicholas, tentang pengkhianatan, tentang masa mudanya yang hancur, tentang bagaimana ia harus membangun dirinya kembali dari reruntuhan. Kini pria itu kembali hadir dalam hidupnya tanpa rasa bersalah, menyeret semua luka lama muncul ke permukaan.
Tubuh Eleanor merosot. Ia menekuk lutut lalu memeluk dirinya sendiri. Isaknya semakin dalam, sesak yang sudah lama dipendam akhirnya pecah.
“Aku harus bagaimana…” bisiknya nyaris tak terdengar, hanya dirinya sendiri yang mendengar.
Bayangan senyum Elio kembali muncul menyadarkan pikirannya. Eleanor menarik napas panjang lalu menyeka wajah dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Ia harus bisa… bisa memaksa dirinya untuk berhenti.
“Sudah cukup,” katanya lirih pada dirinya sendiri.
Ia berdiri perlahan, kembali ke bawah aliran air. Membiarkan sisa-sisa air mata luruh bersama rasa sakit. Besok ia harus kembali berdiri tegak, karena menyerah bukan pilihan. Elio tidak boleh menerima imbas dari apa yang terjadi di masa lalu.
Eleanor mematikan shower lalu membalut tubuhnya dengan kimono. Ia berdiri sejenak di depan cermin, menatap matanya yang sembab.
Drrrt… drrrt… drrrt…
Ketika ia hendak meraih skin care, ponselnya berdengung pelan di meja rias. Sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.
+33798XXXXXX
Pikirkan baik-baik tawaranku, Eleanor. Aku tahu kau berjuang keras untuk berada di posisi sekarang. Kau tahu, dalam sekejap aku bisa menghancurkannya jika aku mau. Jadi berhati-hatilah dalam menentukan keputusan.
Kalimat-kalimat itu menempel di pikirannya seperti percikan minyak panas. Ia tahu tanpa ragu siapa pengirimnya. Gaya bahasa dan pemilihan katanya … Nicholas.
Tangan Eleanor gemetar saat ia membaca pesan itu sekali lagi. Ancaman itu bukan hanya soal pekerjaan, tapi menyentuh fondasi yang ia rawat untuk Elio, untuk hidup yang mereka miliki bersama. Eleanor menutup mata sejenak, menunggu pola napasnya lebih teratur.
Sebenarnya apa yang kau mau dariku, Nicholas?
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪