Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Sesuai janji temu, Bu Tutik bertamu ke rumah Vani setelah seluruh kegiatan di sekolah usai. Wanita yang mengenakan kardigan hitam itu masuk saat Bi Inah mempersilakannya. Sambil menunggu Bu Mely turun, Bu Tutik duduk di ruang tamu—di depan meja yang dipenuhi toples-toples kaca berisi camilan.
Bi Inah muncul dari dapur, membawa satu gelas sirop dingin. Segelas itu cukup menyegarkan tenggorokan, mengingat cuaca di luar lumayan panas meski hari hampir sore.
"Silakan, Bu, diminum," ucap Bi Inah.
"Terima kasih, Bi." Senyum Bu Mely mengembang, hangat tapi ringan.
"Bu Guru tunggu aja sebentar, ya. Nanti juga Ibu turun. Kayaknya, tadi lagi mandiin Neng Vani."
Bu Tutik mengangguk pelan. Rupanya kondisi Vani cukup parah sampai harus dimandikan sendiri oleh sang ibu. Rasa penasaran Bu Tutik terhadap muridnya semakin menggelora.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi sandal menapak di tangga. Bu Tutik menengadah, segera berdiri ketika melihat Bu Mely muncul. Sang nyonya rumah menunjuk kursi, memberi isyarat agar tamunya kembali duduk.
Suasana terasa canggung; tak ada sapaan hangat yang menyambutnya. Wajah Bu Mely datar, tenang, tapi jelas menunjukkan kelelahan. Mungkin ia kelelahan setelah seharian mengurusi Vani, pikir Bu Tutik.
"Gimana kabarnya Vani, Bu? Maaf, kerjaan saya baru selesai. Tadinya mau dari pagi ke sini." Usaha memecah keheningan, Bu Tutik membuka percakapan.
"Baik. Gak apa-apa." Jawaban Bu Mely singkat, sebelah tangannya sibuk mengetuk-ngetuk kursi.
"Syukurlah. Saya cemas melihat Vani kemarin mengamuk di sekolah. Tadi kata Ibu sempat dibawa ke hipnoterapi, ya? Gimana, ada perkembangan?"
Bu Mely terdiam beberapa saat, kemudian menjawab tenang, "Baik. Putri saya gak kenapa-napa."
Mulut Bu Tutik hanya bisa membentuk bunyi “oh”. Ia tersenyum tipis, menahan rasa ingin bertanya lebih banyak. Beberapa jawaban terdengar singkat, seolah Bu Mely kurang nyaman dengan kedatangannya.
Akhirnya, Bu Tutik meminta izin menengok Vani, namun permintaannya ditolak halus. "Vani butuh istirahat."
"Sebentar saja tidak bisa, ya, Bu? Saya cuma mau ngucapin semoga Vani cepat sembuh."
"Tidak usah. Biar saya yang sampaikan," ujar Bu Mely.
Merasa tak enak memaksa, Bu Tutik pun mengangguk. Ia berpamitan pulang, setengah ragu, setengah kasihan melihat wajah Bu Mely—capek hingga tampak pucat.
Untuk menghormati tuan rumah, ia meneguk sisa minumannya. Lalu, dengan langkah cepat, Bu Tutik berjalan menuju pintu. Sempat menoleh ke belakang, melihat Bu Mely menatapnya dengan wajah datar, kemudian tersenyum tipis.
Entah mengapa, Bu Tutik merasa ada sesuatu yang aneh. Tengkuknya tiba-tiba merinding. Ia menepis pikiran itu; mungkin ini hanyalah keputusan Bu Mely untuk tidak memperbolehkan putrinya dijenguk.
Tak ada pengantaran sampai pintu, sedikit pun. Meski begitu, Bu Tutik mencoba tetap berpikir positif. Guru muda itu segera menyalakan motor maticnya, memacu pulang.
"Kok, beda sama di telepon, ya? Apa aku datangnya kurang pas?" gumamnya sendiri sepanjang jalan keluar dari perumahan. Rasa aneh itu tetap membekas.
Sementara itu, Bi Inah yang baru saja keluar dari dapur terkejut melihat ruang tamu kosong. Ia segera naik ke lantai atas sambil membawa nampan berisi bubur dan susu untuk Vani.
Pintu kamar si gadis terbuka lebar. Ternyata, Bu Mely baru saja selesai menyeka tubuh putrinya. Bi Inah masuk, menata makanan di atas nakas, sambil bergantian membawa peralatan kotor kembali ke dapur.
"Sudah ketemu sama Bu Guru, Bu?" tanya Bi Inah.
"Belum, emangnya sudah datang, ya?" jawab Bu Mely, tangannya tetap sibuk menyelimuti Vani yang telah terlelap setelah dimandikan.
"Sudah, Bu. Tapi tadi di ruang tamu udah gak ada. Kirain teh udah ngobrol sama Ibu. Tapi masa pulang gitu aja, enggak pamitan."
Mata Bu Mely seketika menyipit. Setelah merapikan tempat tidur, wanita itu duduk di samping Vani yang sudah terlelap. Wajar, pasti lelah—semalaman kurang tidur. Bu Mely mengambil ponsel di atas nakas, mencoba menghubungi Bu Mely sendiri.
"Enggak diangkat," gumamnya sambil menurunkan ponsel. "Oyah, Bi, panggilin Pak Amat, ya. Bilang saya sudah selesai."
Setelah mengetahui latar belakang Pak Amat yang mampu menangani gangguan gaib, Bu Mely setuju meminta bantuannya. Bi Inah langsung turun sambil membawa beberapa wadah kotor ke dapur.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ia kembali bersama Pak Amat. Bi Inah menyusul pria itu yang sedang mencabuti rumput di taman belakang. Pak Amat, yang telah beruban, sedikit menunduk ketika memasuki kamar majikannya—merasa kurang sopan.
"Punten, Bu, saya lagi kotor." Meski sudah mencuci tangan dan kaki, Pak Amat tetap merasa bajunya tak sepenuhnya bersih.
"Enggak apa-apa, Pak," sahut Bu Mely.
Bu Mely menyuruh Pak Amat duduk di ranjang, namun pria enam puluh tahun itu menolak dengan alasan kotor. Akhirnya, Bu Mely menarik kursi di depan meja belajar.
"Bapak duduk di sini."
Setelah duduk, Pak Amat menatap wajah Vani sambil melafalkan doa. Ia menceritakan bahwa beberapa hari terakhir rumah memang terasa berbeda. Bahkan, ia pernah melihat seseorang mengintip dari kamar Vani saat sedang mencabuti rumput. Namun, penampakan itu bukan seperti anak nyonya rumah.
"Kenapa Bapak gak bilang?" tanya Bu Mely.
"Takut Ibu khawatir. Saya teh gak bisa mengusir kalau tidak diminta Tuan Rumah," jelas Pak Amat.
Beliau kemudian meminta segelas air. Surah-surah ruqiah dibacakannya; air itu diminumkan pada Vani, kemudian sisanya diusap ke ubun-ubun dan wajah. Pak Amat mengangkat tangan, membacakan ayat-ayat Al-Quran untuk penyembuhan, diikuti amin oleh Bu Mely dan Bi Inah.
“Nanti malam kalau bisa, Ibu sama Bi Inah baca Yasin di kamar ini, ya. Insya Allah, Neng Vani sembuh atas izin Allah. Kita mah mintanya sama Allah saja.”
Sebuah amplop yang telah disiapkan diserahkan kepada Pak Amat. Pria paruh baya itu sempat menolak dengan sopan, namun Bu Mely bersikeras memaksanya menerima. Menurut Pak Amat, majikannya sudah terlalu baik. Bahkan, anaknya yang sulung diizinkan bekerja di butik. Itu saja baginya sudah merupakan anugerah besar.
Namun, Bu Mely menjalani segalanya dengan hati ikhlas. Baginya, kesejahteraan para pekerja justru membuat rezekinya semakin lancar.
Setelah urusan selesai, Pak Amat segera keluar dari kamar untuk kembali pada pekerjaannya. Saat menuruni tangga, pandangannya terhenti di ruang tamu. Dahinya berkerut ketika melihat seorang gadis seumuran Vani tengah duduk di sofa, menatapnya sambil tersenyum tipis. Namun, wajah gadis itu tampak pucat.
“Temennya Neng Vani, Neng?” tanya Pak Amat dengan ramah.
Gadis itu mengangguk pelan.
“Mau nengok, ya? Ke atas saja, ada Ibu sama Bi Inah,” ucap Pak Amat sambil menunjuk arah tangga.
“Iya, saya mau jemput Vani.” Jawaban gadis itu terdengar santai.
Pak Amat terdiam sejenak, sedikit bingung. Ia pun berpamitan lalu berjalan menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, kakinya seakan terpaku. Hatinya tergerak untuk menoleh kembali. Dan saat pandangannya menyapu ruang tamu, tubuhnya terhenyak. Sofa itu kosong. Tak ada siapa pun di sana.
Seketika bulu kuduknya meremang. Ia tersadar, yang tadi diajak bicara bukanlah manusia biasa. Pantas saja ada tatapan kosong di balik senyum manis gadis itu.
“Bismillah... Neng Vani mah gak akan kenapa-kenapa,” gumamnya lirih, mencoba menenangkan diri.