NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:949
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 •

...Rias Pengantin untuk Mayat...

Udara malam Pekanbaru terasa dingin menusuk kulit, meski jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan. Namun, di dalam studio rias kecilku yang remang, hawa dingin itu seolah bukan berasal dari pendingin ruangan, melainkan dari tatapan mata boneka manekin yang berjajar di sudut, membisu seolah menunggu giliran untuk dirias. Aku, Karina, seorang penata rias pengantin yang jam terbangnya sudah lumayan tinggi, malam ini merasakan firasat aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Ponselku bergetar, menampilkan nama "Bu Rahmawati". Jantungku berdesir. Bu Rahmawati ini, seorang kolega lama ibuku, adalah sosok yang disegani di dunia tata rias tradisional. Beliau jarang sekali menghubungiku langsung kecuali ada hal yang sangat mendesak atau unik.

"Halo, Bu Rahma," sapaku, mencoba menyembunyikan rasa penasaran.

"Karina," suara Bu Rahmawati terdengar serak, ada getaran aneh di dalamnya. "Bisa kamu datang sekarang? Ada pekerjaan yang... sangat mendesak."

"Sekarang, Bu? Di mana?" tanyaku, sedikit terkejut. Biasanya klien akan membuat janji jauh-jauh hari.

"Di rumah duka Wijaya, Jalan Sudirman. Ini kasus khusus, Karina. Sangat khusus." Bu Rahmawati berhenti sejenak, seperti ragu ingin melanjutkan. "Klien menginginkan riasan pengantin penuh. Untuk... mempelai wanita yang sudah meninggal."

Darahku serasa membeku. Merias jenazah bukan hal yang asing bagiku, sesekali memang ada permintaan untuk merias wajah jenazah agar terlihat lebih damai. Tapi riasan pengantin penuh? Untuk mayat? Ini benar-benar di luar nalar. Namun, Bu Rahmawati adalah mentor, bahkan panutanku. Aku tak bisa menolak begitu saja.

"Baik, Bu. Saya akan segera ke sana."

Aku buru-buru menyiapkan peralatan riasku, memilih kuas-kuas terbaik, palet eyeshadow dengan warna-warna lembut, dan foundation yang paling tahan lama. Di balik semua persiapan profesional ini, ada kegelisahan yang menggerogoti. Siapa yang meminta hal seaneh ini? Dan mengapa harus aku?

Setibanya di rumah duka Wijaya, suasana terasa begitu sunyi dan mencekam. Hanya ada beberapa pelayat yang masih terjaga, duduk lesu di kursi-kursi. Aroma melati dan bunga sedap malam menyengat, bercampur dengan bau karbol yang dingin. Bu Rahmawati menungguku di depan pintu, wajahnya terlihat pucat pasi.

"Karina, syukurlah kamu datang," bisiknya, tangannya terasa dingin saat menggenggam tanganku. "Ayo ikut Ibu."

Kami berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih terpencil. Di dalamnya, sebuah peti mati terbuka terbaring di tengah, di kelilingi lilin-lilin yang berkelip redup. Sesosok tubuh terbaring di dalamnya, ditutupi kain batik. Di sisi peti, seorang pria paruh baya dengan rambut memutih, tampak putus asa. Dialah Pak Dirga, ayah dari almarhumah, seperti yang Bu Rahmawati bisikkan padaku.

"Ini Karina, Pak Dirga. Dia penata rias terbaik yang saya kenal," kata Bu Rahmawati kepada Pak Dirga, suaranya berusaha tegas.

Pak Dirga mengangguk pelan, tatapannya kosong. "Terima kasih sudah datang, Nak Karina. Tolong buat putri saya terlihat cantik. Ini adalah pernikahan yang paling dia impikan."

Permintaannya, meskipun aneh, terdengar tulus dan pilu. Aku mengangguk, lalu mendekati peti mati. Bu Rahmawati menarik kain penutup jenazah perlahan.

Dan di sanalah dia. Seorang wanita muda, mungkin seusiaku, dengan wajah yang damai, seolah hanya tertidur. Kulitnya pucat, tapi masih terlihat sisa-sisa kemerahan di pipinya. Yang membuatku terkejut adalah gaun pengantin yang sudah melekat di tubuhnya. Gaun putih bersih dengan detail brokat yang rumit, lengkap dengan tudung pengantin dan mahkota kecil yang terbuat dari bunga melati segar. Seolah-olah dia memang siap menikah, hanya saja... dia sudah tiada.

"Namanya Amara," kata Pak Dirga pelan, suaranya bergetar. "Dia akan menikah lusa. Tapi Tuhan berkehendak lain..."

Aku menelan ludah. Jadi, ini adalah calon pengantin yang meninggal sebelum hari H-nya. Rasa iba mencengkeram hatiku. Tugas ini bukan lagi sekadar pekerjaan, tapi sebuah penghormatan terakhir untuk mimpinya yang tak kesampaian.

Dengan tangan gemetar, aku mulai bekerja. Aroma wangi kosmetik bercampur dengan aroma kemenyan yang baru dinyalakan oleh Pak Dirga. Aku mengaplikasikan foundation dengan hati-hati, memastikan warnanya menyatu sempurna dengan kulit pucat Amara. Tanganku terlatih, namun kali ini setiap sapuan kuas terasa begitu berat. Aku bisa merasakan tatapan Bu Rahmawati dan Pak Dirga mengawasiku.

Saat aku menggoreskan eyeliner tipis di kelopak mata Amara, aku menyadari sesuatu yang aneh. Mata Amara, meskipun terpejam rapat, seolah bergetar sedikit. Aku menarik tanganku, jantungku berdegup kencang. Mungkin hanya perasaanku saja, efek tegang. Aku berusaha menepisnya, melanjutkan pekerjaanku.

Ketika aku memakaikan lipstik berwarna nude pink di bibirnya, aku merasakan hembusan napas tipis di ujung jari-jariku. Napas! Aku langsung menjauh, kaget.

"Bu Rahma!" bisikku, tanganku menunjuk bibir Amara. "Dia... dia bernapas!"

Bu Rahmawati segera mendekat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia meletakkan jarinya di bawah hidung Amara. Lalu, menggeleng pelan. "Tidak, Karina. Kamu pasti salah. Dia sudah diperiksa dokter."

Aku yakin apa yang kurasakan. Tapi, melihat ekspresi Bu Rahmawati yang meyakinkan, aku mulai ragu pada diriku sendiri. Apakah karena aku terlalu lelah? Atau tegang? Aku memutuskan untuk mempercepat pekerjaanku.

Beberapa saat kemudian, riasan Amara selesai. Ia tampak begitu cantik, seolah tidur pulas, siap menyongsong hari bahagianya. Aku melangkah mundur, merasa lega sekaligus hampa.

Pak Dirga mendekat, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Karina. Kamu berhasil. Dia cantik sekali."

Tiba-tiba, suara pintu ruangan terbuka. Seorang pemuda, dengan kemeja rapi dan raut wajah cemas, tergesa-gesa masuk. Ia langsung menghampiri peti mati.

"Amara!" serunya, suaranya pecah. "Maafkan aku, Sayang. Aku terlambat."

Pemuda itu adalah calon suami Amara, seperti yang kuduga. Ia menggenggam tangan Amara yang terlipat di dadanya. Dan saat itulah, plot twist yang tak pernah kuduga terjadi.

Tangan Amara, yang seharusnya kaku dan dingin, perlahan menggenggam balik tangan tunangannya. Matanya yang tadi terpejam rapat, kini perlahan terbuka. Bukan tatapan kosong, melainkan tatapan hidup, penuh kepedihan.

Aku dan Bu Rahmawati terperanjat, mundur selangkah. Pak Dirga terhuyung ke belakang, wajahnya pias.

"Amara... kamu hidup?" bisik tunangannya, suaranya nyaris tak terdengar.

Amara mencoba berucap, suaranya serak dan sangat lemah. "Aku... tidak... mati..."

Seketika, ruangan menjadi riuh. Pelayat yang tadinya lesu kini berhamburan mendekat, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pak Dirga segera memanggil dokter.

"Apa yang terjadi, Bu Rahma?" bisikku, tubuhku menggigil.

Bu Rahmawati menatapku dengan mata lebar, tidak kalah terkejut. "Aku... tidak tahu, Karina. Ini... mukjizat?"

Tidak lama kemudian, dokter datang. Setelah pemeriksaan singkat, dokter menggelengkan kepala, tampak bingung. "Denyut nadinya sangat lemah, tapi memang ada. Sepertinya ia mengalami katatonia ekstrem, membuatnya tampak seperti sudah meninggal."

Katatonia. Sebuah kondisi langka di mana seseorang tidak responsif dan tampak seperti dalam keadaan koma, bahkan bisa disalahpahami sebagai kematian. Selama ini, semua orang mengira Amara sudah tiada.

Namun, plot twist belum berakhir.

Saat kerumunan mulai bubar dan Amara dibawa ke rumah sakit, aku melihat Bu Rahmawati memegang tas tangannya erat-erat, wajahnya masih pucat. Ia menatapku, lalu ke arah Pak Dirga yang masih shock.

"Karina," Bu Rahmawati berbisik pelan, nyaris tak terdengar. "Ada satu hal lagi yang belum kamu tahu."

Aku menatapnya penasaran.

"Sejak awal, aku tahu Amara belum meninggal," katanya, suaranya kini lebih mantap, namun dipenuhi penyesalan. "Dokter yang memeriksa pertamanya adalah temanku. Ia bilang ada keanehan, tapi Pak Dirga... Pak Dirga bersikeras untuk segera memakamkan Amara. Ia sudah memiliki calon suami lain untuk Amara, dari keluarga kaya raya yang bisa menyelamatkan bisnisnya yang bangkrut."

Aku terperanjat. Jadi, semua ini... semua ini adalah sandiwara? Riasan pengantin untuk mayat yang sebenarnya belum mati, agar pemakaman bisa segera dilakukan dan Pak Dirga bisa melanjutkan rencananya?

"Lalu, mengapa Ibu memanggilku?" tanyaku, suaraku tercekat.

Bu Rahmawati menunduk. "Aku tidak setuju dengan keputusan Pak Dirga. Tapi aku tidak punya bukti kuat untuk menentangnya. Aku hanya bisa berharap... sentuhanmu, Karina, sentuhan seorang penata rias yang tulus, bisa mengembalikan kesadaran Amara. Aku melihat di matanya masih ada kehidupan, meski samar."

Aku menatapnya tak percaya. Jadi, selama ini, Bu Rahmawati sedang berjudi dengan nyawa seseorang, menggunakan tanganku sebagai perantara, dengan harapan Amara akan "bangun" sebelum dimakamkan? Air mataku menetes. Ini bukan tentang riasan atau hantu, tapi tentang intrik manusia yang gelap.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Bukan hantu yang kutemukan di balik riasan pengantin itu, melainkan intrik busuk manusia. Cermin dalam riasan pengantin untuk mayat itu bukan memantulkan dunia lain, melainkan sisi gelap dari keserakahan dan pengkhianatan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Amara setelah ini, atau apa yang akan ku lakukan dengan profesiku. Yang jelas, kejadian malam ini akan selamanya menghantuiku, lebih dari sekadar cerita seram. Setiap sapuan kuas kini terasa seperti menyingkap tabir rahasia yang mengerikan.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!