NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:483
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15: Raungan Rimba Purba - Amazon Membalas

Dunia di Ambang Kebisuan

Enam jam telah berlalu sejak benua Afrika lenyap di bawah awan debu merah, tanah yang menelan kota-kota, dan gurun yang meluas tanpa batas. Seluruh dunia kini dicekam keheningan yang mencekik. Tidak ada lagi siaran berita, tidak ada lagi panggilan darurat. Jaringan komunikasi global telah mati sepenuhnya. Dunia terpecah menjadi fragmen-fragmen terisolasi, masing-masing tenggelam dalam kegelapan dan kengerian mereka sendiri.

Di London, asap dari kebakaran yang tak terkendali menyelimuti Big Ben yang bisu. Jalanan dipenuhi bangkai mobil dan jasad-jasad yang ditinggalkan. Orang-orang yang selamat, dengan wajah kotor dan mata kosong, berkeliaran seperti hantu, menjarah apa pun yang tersisa. Hukum dan ketertiban telah lama menjadi kenangan.

Di Moskow, Jenderal Elena Petrova duduk di ruang kendali bawah tanah, menatap monitor yang kini hanya menampilkan statik. Upaya terakhir untuk meluncurkan misi pengintaian ke Afrika telah gagal total, pesawat tak berawak lenyap dalam badai pasir raksasa yang masih mengamuk di atas Sahara.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, Komandan," lapor seorang perwira, suaranya parau. "Tidak ada lagi komunikasi. Tidak ada lagi sinyal. Kita buta, Tuan."

"Kita sudah kalah," bisik Petrova, air mata mengalir di pipinya. "Kita semua sudah kalah."

Di Washington D.C., Presiden Amerika Serikat dikabarkan telah menghilang dari bunker bawah tanahnya, meninggalkan negara yang luluh lantak dalam kegelapan. Militer yang tersisa telah berbalik melawan diri sendiri, memperebutkan sumber daya yang menipis atau hanya mencoba bertahan hidup.

Dunia yang dulunya berdenyut dengan miliaran kehidupan kini terasa sunyi, seperti organ raksasa yang detak jantungnya melambat. Kelaparan, penyakit, dan kekerasan menjadi ancaman terbesar bagi mereka yang selamat. Harapan telah lama terkubur di bawah reruntuhan kota-kota yang hancur.

--- Amazon

Dari ketinggian tiga puluh lima ribu meter, Raka dan Eva melaju melintasi Samudra Atlantik. Di bawah mereka, Eropa dan Afrika adalah hamparan luas yang diselimuti abu dan debu, dengan titik-titik api yang masih menyala di kejauhan. Pemandangan itu adalah bukti kekuatan Raka, sebuah mahakarya kehancuran yang tak terbantahkan.

Di dalam kabin jet, Raka mengamati benua di hadapannya—Amerika Selatan. Hutan hujan Amazon yang membentang luas seperti paru-paru dunia, kini tampak kecokelatan di beberapa bagian, dengan jejak-jejak deforestasi yang terlihat jelas dari angkasa. Ia merasakan getaran penderitaan dari hutan yang telah lama diabaikan, dari sungai-sungai yang dicemari, dan dari suku-suku pribumi yang diusir dari tanah leluhur mereka.

"Lihatlah, Raka," bisik Eva, suaranya seperti angin yang berdesir di antara dedaunan kering. "Mereka menyebutnya 'Paru-paru Dunia,' tetapi mereka mencekiknya demi keserakahan. Mereka membakar hutan, menguras mineral, dan mengubah sungai-sungai suci menjadi saluran limbah."

Raka merasakan kemarahan yang mendalam mengalir dalam dadanya. Ia memvisualisasikan buldoser yang meratakan hutan, api yang melahap pepohonan purba, dan jeritan suku-suku pribumi yang diusir dari rumah mereka. Ini adalah dosa yang paling terang-terangan terhadap Bumi.

"Mereka mengambil kayu, mineral, dan tanah untuk perkebunan," Raka bergumam, suaranya beresonansi dengan kekuatan yang ia pegang. "Mereka tidak hanya merusak alam, mereka juga menghancurkan budaya dan kehidupan orang-orang yang mencoba hidup selaras dengan Bumi."

Eva mengangguk, senyum tipis di bibirnya. "Pembersihan ini harus menjangkau setiap sudut, Raka. Setiap luka harus diobati, setiap parasit harus dibasmi."

Mereka bergerak menuju jantung Hutan Amazon, di perbatasan antara Brasil dan Peru, sebuah wilayah yang telah menjadi pusat deforestasi dan penambangan ilegal.

"Manaus," Eva mengucapkan nama kota itu. "Jantung manusia di Amazon. Sebuah kota yang tumbuh dari kehancuran hutan. Mereka akan menjadi contoh bagi seluruh benua tentang harga yang harus dibayar untuk pengkhianatan terhadap alam."

---

Pagi itu di Manaus, Brasil, udara panas dan lembap menyelimuti kota yang terletak di tepi Sungai Negro. Kabut tebal masih menyelimuti hutan Amazon di sekelilingnya, namun bau asap dari pembakaran hutan yang ilegal sudah tercium samar. Perahu-perahu kayu dan feri sibuk berlalu-lalang di sungai yang keruh.

Di sebuah vila mewah di tepi sungai, Eduardo Silva, seorang pengusaha kayu ilegal yang berpengaruh, sedang menikmati sarapan pagi. Kekayaannya berasal dari penebangan hutan Amazon secara besar-besaran, menjual kayu-kayu langka ke pasar global. Ia tidak peduli dengan protes aktivis lingkungan atau ancaman suku pribumi; baginya, hutan adalah sumber daya yang harus dieksploitasi.

Ia tidak tahu bahwa jauh di atas, dua sosok sedang melayang di stratosfer, mengamati kotanya dengan mata yang dingin dan hati yang beku.

Raka mengulurkan kedua tangannya, merasakan aliran energi primordial yang mengalir dari inti bumi. Kali ini, ia akan menggunakan kekuatannya untuk memicu murka rimba purba itu sendiri—membuat alam berbalik melawan para perusaknya.

---

Udara di sekitar Manaus mulai berdesir aneh. Pohon-pohon di hutan Amazon yang luas mulai berguncang, bukan karena angin, tetapi karena getaran yang datang dari akar-akar mereka yang terdalam. Sungai Negro dan Sungai Amazon mulai beriak aneh, airnya membentuk pusaran-pusaran kecil yang tak wajar.

Raka memanipulasi frekuensi getaran tanah di bawah hutan, memicu serangkaian gempa bumi berskala besar di sepanjang cekungan Amazon. Bukan gempa tektonik biasa, melainkan gempa yang berpusat di bawah hutan, meruntuhkan pohon-pohon raksasa, membuka celah-celah di tanah, dan mengubah lanskap hijau menjadi kekacauan.

Kemudian, Raka mengaktifkan kekuatan yang belum pernah ia gunakan sebelumnya: manipulasi kehidupan tumbuhan. Ia mempercepat pertumbuhan akar-akar pohon raksasa hingga mereka merobek tanah, mengangkat fondasi bangunan-bangunan di Manaus. Pohon-pohon liana dan tanaman merambat tumbuh dengan kecepatan tak masuk akal, melilit gedung-gedung dan menariknya ke bawah. Hutan itu sendiri mulai bergerak, menelan kembali apa yang telah dicuri darinya.

Pada saat yang sama, Raka memanipulasi pola cuaca di atas Amazon. Badai tropis raksasa mulai terbentuk, bukan hanya membawa hujan lebat, tetapi juga menciptakan angin topan yang berpusaran dengan kecepatan mematikan. Hujan yang sangat deras memicu banjir bandang yang masif, sementara angin topan menyapu bersih pohon-pohon yang sudah rapuh akibat gempa dan menumbangkan bangunan-bangunan.

Di bawah, di Manaus, kepanikan dimulai.

---

**Sudut Pandang Maria da Silva**

Maria da Silva adalah seorang perempuan berusia 50 tahun, berdarah campuran pribumi dan Portugis, yang telah menghabiskan seluruh hidupnya di Manaus. Ia mencari nafkah dengan menjual buah-buahan dan hasil hutan lainnya dari tepi Sungai Negro. Ia hidup sederhana, selalu menghormati hutan yang memberinya kehidupan.

Pagi itu, Maria sedang menyiapkan dagangannya di pasar terapung ketika gempa pertama mengguncang. Perahu-perahu di sekelilingnya bergoyang hebat, barang dagangan berjatuhan ke sungai. Gemuruh datang dari hutan, suara yang ia kenali sebagai suara pohon-pohon yang tumbang.

"Ini bukan gempa biasa," bisiknya, melihat air sungai yang mulai beriak aneh, membentuk pusaran-pusaran kecil yang tidak wajar.

Kemudian ia melihatnya—dari arah hutan, seolah-olah pepohonan itu hidup, bergerak, dan merangkak maju menuju kota. Akar-akar raksasa merobek tanah, batang-batang pohon bergoyang-goyang seperti lengan monster yang mencoba meraih mereka. Dan dari atas, hujan mulai turun, bukan hujan biasa, tetapi air bah yang turun dari langit, memicu banjir bandang yang belum pernah ia saksikan seumur hidupnya.

"Lari!" teriak seorang nelayan. "Hutan itu datang!"

Maria berlari, mencoba mencari tempat yang lebih tinggi, namun jalanan di sekelilingnya sudah mulai terbelah. Tanah di bawah kakinya berubah menjadi lumpur. Air sungai meluap dengan cepat, menyeret perahu-perahu dan bangunan-bangunan di tepi sungai.

Ia melihat pohon-pohon raksasa yang selama ini ia anggap sebagai penjaga hutan, kini menjadi pembawa kehancuran. Akar-akar mereka menembus aspal jalan, mengangkat mobil-mobil, dan menghancurkan toko-toko. Tanaman merambat tumbuh dengan kecepatan yang mengerikan, melilit tiang-tiang listrik dan merobohkannya.

Di sebuah gedung kantor mewah di dekatnya, ia melihat Eduardo Silva, sang pengusaha kayu, berteriak dari balkonnya. Namun gedung itu sendiri sudah mulai miring, ditarik ke bawah oleh akar-akar yang tumbuh dari bawahnya.

Maria tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya tahu bahwa hutan itu, yang selama ini dicemari dan dijarah, kini telah membalas dendam.

Raka melayang di ketinggian, mengamati Manaus yang telah berubah menjadi kuburan rimba. Hutan Amazon, yang telah dijarah dan dibakar, kini memuntahkan murkanya. Pohon-pohon yang selama ini pasif kini menjadi senjata, air sungai yang dicemari kini menjadi air bahaya yang mematikan.

Eva melayang di samping Raka, wajahnya menampilkan kepuasan yang mendalam dan gelap. "Mereka mengira hutan adalah sumber daya yang bisa dikuras tanpa batas, Raka," bisiknya, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Kini hutan itu telah mengambil kembali haknya, bersama dengan mereka yang telah mencurinya."

Raka mengangguk, merasakan dingin yang akrab menyelimuti tubuhnya, kini bercampur dengan rasa pemenuhan yang mendalam. Setiap pohon yang tumbang, setiap teriakan yang sunyi, setiap jiwa yang musnah adalah penebusan atas penderitaan tak terhingga yang ia dan Bumi alami.

--- Dunia dalam Kehancuran Final

Berita kehancuran Amerika Selatan menyebar dalam keheningan yang mencekik. Jaringan komunikasi yang tersisa benar-benar lumpuh, tidak ada lagi siaran berita, tidak ada lagi reporter yang berani melaporkan. Hanya citra satelit yang menunjukkan seluruh benua Amerika Selatan kini diselimuti oleh awan hijau kehitaman dari hutan yang membusuk, dengan titik-titik api yang masih menyala di tengahnya.

Di bunker-bunker rahasia di seluruh dunia, para pemimpin yang tersisa hanya bisa menatap peta yang kini didominasi oleh warna merah dan hitam. Amerika Utara, Eropa, Asia, Afrika, dan sekarang Amerika Selatan—setiap benua telah merasakan murka yang tidak bisa dijelaskan.

"Tidak ada lagi tempat untuk lari," bisik seorang penasihat di Kremlin, suaranya putus asa. "Dunia ini... sudah berakhir."

Militer-militer dunia yang tersisa telah berhenti. Tidak ada lagi perintah. Tidak ada lagi perlawanan. Hanya kepasrahan total. Populasi manusia global telah berkurang drastis, hingga ke titik yang tidak bisa lagi diperkirakan.

"Seluruh tatanan global telah runtuh," Eva berbisik kepada Raka, saat mereka mulai bergerak lagi, melintasi benua Amerika Selatan menuju Samudra Pasifik. "Mereka telah kehilangan segalanya. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi untuk berpegangan."

Raka mengangguk, merasakan energi dingin yang menyenangkan menjalar di dadanya. Di belakang mereka, awan tebal dari kehancuran Amazon menjulang ke langit, membentuk monumen kematian yang menjulang tinggi, dan udara dipenuhi dengan bau busuk vegetasi yang mati.

Matahari terbenam di balik lapisan asap, melukis langit dengan warna merah darah yang mengerikan, seolah langit sendiri berkabung atas kehancuran yang telah terjadi—atau mungkin merayakan dimulainya era pembersihan.

Raka tidak menjawab. Matanya menatap ke arah matahari terbenam. Di sana, di cakrawala yang jauh, ada satu tempat lagi yang perlu ia datangi. Satu tempat yang selalu ia lihat di peta, namun tidak pernah ia pahami mengapa ia harus ke sana. Sebuah pulau terpencil di tengah Samudra Pasifik.

"Kita akan menuju Arib," bisik Eva, seolah membaca pikirannya. "Tempat di mana yang tersisa akan menunggu. Tempat di mana fajar baru akan dimulai."

Raka merasakan panggilan yang aneh dari Arib. Sebuah tempat yang ia tahu akan menjadi titik akhir dari perjalanannya. Dunia telah dibersihkan. Dan kini, ia akan melihat hasil dari kehancuran yang telah ia ciptakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!