Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Bagja menelisik wajah Galuh dengan seksama. Tatapan matanya nyaris tak beralih sejak gadis itu duduk di sampingnya, berhias kebaya putih berpayet, bawahan samping batik sogan, serta siger Sunda yang anggun.
Hati Bagja bergetar. Dia tak pernah menyangka calon istrinya ini akan terlihat secantik itu. Bagi dia, Galuh bukan hanya pengantin tercantik di pelaminan, tetapi juga satu-satunya perempuan yang benar-benar mampu membuatnya gugup.
Galuh menyadari sorot mata Bagja. Dia melirik dengan dagu sedikit ditarik ke depan. “Iya, aku, Galuh. Sudah jangan melotot seperti itu. Tuh, Pak Penghulu sudah siap!” katanya, memberi kode agar pria itu tidak terus terpaku padanya.
Suasana ruangan hening. Tamu undangan menahan napas. Kalimat sakral sebentar lagi terucap.
Ucapan ijab qobul berjalan lancar, kurang dari satu menit. Bagja mengucapkannya dengan suara mantap, penuh semangat, seakan ingin menunjukkan pada seluruh dunia bahwa dirinya tidak main-main.
Semua orang yang hadir mengangguk puas, beberapa sampai berdecak kagum. Apalagi mas kawin yang disiapkan keluarga Bagja terbilang fantastis. Jumlahnya membuat banyak tamu saling berbisik. Tidak aneh memang, mengingat baik Bagja maupun Galuh adalah anak tunggal dari keluarga terpandang dan kaya raya di kampung itu.
Setelah doa dan pengesahan, acara berlanjut ke pemasangan cincin. Galuh menunduk, bersiap mencium tangan Bagja sebagai simbol bakti seorang istri. Namun, sebuah kejadian tak terduga memecah khidmat suasana.
“Awww!” teriak Bagja tiba-tiba.
Semua orang menoleh. Rupanya hidung Bagja tertusuk hiasan kembang goyang yang menempel di siger Galuh. Sang pengantin pria meringis, menahan perih.
Galuh terperanjat. Dia mendongak, tetapi malah dagu Bagja tersodok kembang tajung bagian depan hiasan Sunda itu.
“Astagfirullah, Galuuuh!” teriak Bagja, kali ini lebih kencang.
Galuh buru-buru menangkupkan kedua tangannya, wajahnya meringis menahan malu sekaligus kasihan. “Sorry, enggak sengaja.” Dia bisa membayangkan rasa sakit yang dirasakan Bagja.
Sementara itu, Ryan yang duduk di deretan depan langsung menutupi mulut, menahan tawa. “Bisa-bisanya si Galuh melakukan KDRT sama pria yang baru jadi suaminya,” bisiknya.
Dewa di sebelahnya mengangguk-angguk sambil terkekeh. “Dia itu gugup karena sudah sah punya suami. Kalau sampai dengar obrolan kita, bisa ngamuk dia.”
Bagja sendiri dalam hati mendengus. “Awas, Galuh. Nanti akan kubuat kamu menjerit juga,” batinnya. Ia masih memegangi dagunya yang terasa perih dan nyut-nyutan.
Namun, insiden kecil itu segera berganti suasana haru ketika prosesi sungkem dimulai. Galuh berlutut, mencium tangan dan memeluk erat kedua orang tuanya. Air mata tak terbendung.
“Bapak, tetap sayangi Galuh, ya? Walau Galuh sudah jadi istri Bagja,” ucapnya terisak sambil merangkul Pak Dhika.
Pak Dhika yang biasanya tegas kini tak kuasa menahan tangis. “Iya, tentu saja, atuh. Sampai kapanpun bapak akan selalu sayang sama Galuh,” balasnya dengan suara bergetar.
Lalu Galuh berpindah ke pelukan Mama Euis. “Mama, maafkan Galuh yang sering merepotkan. Semoga Mama ridho.”
Mama Euis memeluk anaknya erat-erat, air matanya mengalir deras. “Tentu saja Mama ridho. Galuh itu anak Mama. Sampai kapanpun tetap anak Mama.”
Pemandangan itu membuat banyak tamu turut menyeka air mata. Anak yang dahulu digendong, disuapi oleh Mama Euis, kini resmi menjadi istri orang.
Prosesi adat Sunda lainnya berjalan lancar, mulai dari mapag panganten, nincak endog, hingga huap lingkup dan Pabetot bakakak hayam. Saat giliran saling menyuapi, Galuh mendekat dan berbisik, “Aku lapar. Kamu lapar enggak?”
“Lapar sih, tapi masih bisa nahan,” jawab Bagja dengan suara pelan.
“Kalau begitu, kita suapi yang besar, banyak lauk pauknya.” Galuh dengan iseng mengambil nasi dengan porsi berlebihan.
Bagja melotot, namun tidak mau kalah. Dia pun menyiapkan suapan besar untuk Galuh. Adegan itu membuat para tamu tertawa riuh, sementara Bu Kania dan Mama Euis hanya bisa menggeleng-geleng sambil menahan gemas.
Sekarang Galuh dan Bagja akan melakukan pabetot bakakak hayam. Pasangan pengantin itu saling menarik paha ayam. Keduanya tidak mau kalah, ingin mendapatkan bagian besar, jadi menarik dengan kuat.
Namun, hal tak terduga terjadi. Bagja dan Galuh sama-sama mendapatkan paha dan bagian badan ayam terlempar dan mendarat di kopiah kepala desa yang duduk sambil ngobrol dengan ustaz Hambali.
Mata Galuh dan Bagja terbelalak dan mulut menganga. Orang-orang yang melihat itu spontan tertawa.
Ryan dan Dewa dengan cepat mengambil ayam bakar itu. Kejadian itu tidak akan dilupakan oleh semua orang.
Hari itu, pesta berlangsung meriah. Ada hiburan kecapi suling, juga dangdutan yang membuat warga berdendang. Anak-anak berlarian, para tetua ikut bergoyang. Semua bahagia, bukan hanya karena acara sakral, tapi juga karena hidangan melimpah yang bisa dinikmati sepuasnya.
Malam harinya, hiburan dilanjutkan di lapangan desa. Warga berbondong-bondong menonton. Namun, Galuh merasa tubuhnya lelah makanya mengajak pulang terlebih dahulu.
“Aku capek sekali,” ujar Galuh begitu tiba di rumah, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang pengantin. Ruangan itu penuh dengan hiasan bunga melati dan sedap malam. Wangi ruangan membuat suasana kian syahdu.
Bagja masuk beberapa menit kemudian. “Geser,” katanya sambil mendorong tubuh Galuh ke sisi ranjang.
“Ish, ganggu saja. Orang lagi PW,” protes Galuh. Dia pun mencari posisi enak.
“Kamu tahu enggak ini hari apa?” tanya Bagja, ikut berbaring di sampingnya.
“Hari Minggu,” jawab Galuh dengan mata terpejam.
“Bukan itu maksud aku.” Bagja berusaha sabar.
“Kan, tadi kamu tanya hari apa. Ya sekarang hari Minggu. Aku enggak salah,” balas Galuh, kini melirik dengan tatapan tajam.
Bagja menghela napas panjang. “Hari ini adalah hari pernikahan kita, Galuh.”
“Tentu saja. Semua orang juga tahu,” ucap Galuh sambil menguap.
“Itu berarti malam ini adalah …?” Bagja menatap dalam-dalam ke arah Galuh.
Galuh membuka mata perlahan, menatap balik. “Apa?” tanyanya polos.
Bagja mendekat, tatapan matanya penuh arti.
Galuh yang tadinya setengah mengantuk, kini menahan napas. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, seakan ada sesuatu yang penting akan terjadi.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....