Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 16
Chapter 16
Masa Kini
POV – Islana
Seperti inikah perasaan berada di langit ke tujuh?
Aku mengumpulkan keberanian untuk melihat Kai. Melihat wajahnya yang bukan seperti Kai yang aku selama ini lihat. Dia melihatku seolah-olah orang paling berharga di dunia ini.
Mata kami bertemu. Dia berhenti melakukan apapun yang baru saja dia lakukan. Tapi tangannya tetap ‘bekerja’ dengan cara yang membuat siapapun wanita yang ada di posisiku sekarang mabuk kepayang.
“Kamu sudah siap?” tanyanya dengan suara paling seksi yang pernah aku dengar dari seorang pria.
Aku tidak bisa menjawab apapun. Apa yang bisa aku katakan? Aku tidak ada pengalaman sama sekali!
“Shhh…” Kai merangkak di atasku. Membelai dahiku, pelipisku, dan juga bibirku. Menghapus semua keringat yang ada di sana.
Aku tidak sadar kalau aku sudah berkeringat sebanyak itu. Aku merasa malu dengan bagaimana respon tubuhku karena sentuhannya. Aku menarik selimut untuk menutup tubuhku secara refleks.
Tapi Kai langsung menariknya dengan cepat dan menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya ragu-ragu untuk mengatakan kalimat berikutnya. “Kamu masih takut sama aku?”
Aku mengigit bibirku dengan cemas. “Badan kamu besar, Kai. Aku takut…aku takut…”
“Takut kalau kamu bakal ngerasain sakit?” Kai mengatakannya dengan lemah lembut.
Aku hanya bisa mengangguk dan melihat ke arah lain. Melihat rembulan di luar jendela di sela-sela tirai. Bulan itu menjadi saksi bagaimana kami berdua berada di sebuah malam yang begitu panjang ini.
Kai menangkup wajahku dan memintaku untuk menatapnya lagi. Dia memegang rahangku dengan begitu hangat. Membawa wajahnya bersentuhan dengan wajahku. “Kamu tenang aja, sakitnya hanya sebentar. Aku nggak akan biarin kamu dalam rasa sakit, sayang.”
Aku merasa sedikit lega mendengar kalimat itu. Kai dengan versi yang begitu lembut ini lambat laun bisa membuat aku jatuh cinta. Aku sekarang merasa berada di pinggir jurang dan sebentar lagi benar-benar masuk dalam lubang penjara cinta Kai.
Salah, ini bukan penjara. Karena penjara mana yang memberikan kenikmatan, kebahagiaan dan rasa bergelora seperti ini?
Kai tidak menunggu jawabanku karena dia merasa jika aku tidak menolaknya melakukan hal berikutnya. Senyumannya merekah dengan begitu lebarnya. Merayakan dengan matanya yang berbinar.
Kai mendekatkan tubuh kami berdua. Dalam hitungan detik aku merasa sesuatu yang kuat masuk dalam tubuhku. Aku bersuara keras tapi Kai ada di sana untuk menenangkanku. Dia mencium leherku dan berbisik kata-kata yang membuat aku terbuai di surga itu.
“Kita sudah menjadi satu, sayang.” Kai berbisik dengan rasa bahagia yang begitu mendalam.
“Kai…,” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Tidak ada lagi.
Karena hal berikutnya adalah rasa kebahagiaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Lalu tiba-tiba Kai menjauh dariku dan aku merasa kehilangan dia. Aku menariknya lagi.
“Jangan, jangan lepas aku, Kai.”
“Shhh…” Kai kali ini dia kembali dengan lebih cepat dari sebelumnya.
Dia melakukannya lagi dan lagi dan aku hanya bisa memeluknya dan menancapkan kuku tanganku di punggungnya. Aku ingin memeluknya agar tidak tetap sadar bahwa semua ini bukan hanya sebuah mimpi.
“Aku mencintaimu Islana, hanya kamu, nggak ada yang lain di dunia ini.” Kai mengatakannya dengan penuh hasrat yang berkobar dan menatap mataku lekat-lekat.
Sebelum aku bisa membalas apapun pertanyaannya, energi tubuhku yang terkuras membuat mataku menutup perlahan-lahan.
Rasa kantuk begitu hebatnya datang dengan tiba-tiba…
Dan sebelum mataku tertutup dan aku masuk dalam tidurku, aku melihat wajah Kai yang berada di titik yang sama denganku. Berada di surga dunia dan tidak ingin pergi dari kebahagiaan ini…
***
Tanganku bergerak dan menyentuh sesuatu. Mataku tersentak dan mencari-cari benda apa yang sedang ada di sebelahku.
Tapi yang aku temukan ternyata bukan benda.
Melainkan seseorang.
Kai.
Kai sedang melihatku sambil berbaring. Kali ini kami berbaring di tempat tidur yang sama tanpa mengenakan apapun. Namun perasaan kali ini jauh berbeda dari hari waktu itu. Kai yang aku lihat detik ini adalah Kai yang bahkan tidak ingin beranjak dari tempat tidur ini.
“Selamat pagi, sayang.” Kai mengalungkan rambutku di belakang daun telingaku. Senyumnya yang merekah selebar ‘lima belas’ sentimeter itu memperjelas bagaimana kami melewati hari kami semalam.
Aku membalikkan badanku dan menarik selimutku. Oh Tuhan. Apa semua wanita yang mengalami malam pertama selalu merasakan apa yang aku rasakan? Ingin bersembunyi dari semua orang??
Kai memelukku dari belakang. Suaranya terkekeh melihat reaksiku. “Apa kamu malu? Kenapa harus malu? Cepat lambat ini kan memang akan terjadi diantara kita.”
Aku memejamkan mataku dan masih melindungi diri dengan selimut. Bagaimana dia bisa setenang itu? Aku tidak bisa melihat matanya setelah ini. Dan menatap semua pengawal di luar sana akan sangat tidak menyenangkan! Mereka pasti mendengar semua itu semalam!
“Kamu mau sarapan apa?” Kai dengan santainya bertanya topik lain.
“Nggak mau makan apa-apa.” Aku berdoa semoga dia keluar dari kamar sekarang juga.
Kai mengecup kepalaku. “Kamu harus makan, kita nggak makan apa-apa semalam, plus kita kehilangan banyak tenaga kan?” suaranya menggodaku.
Aku tahu dia pasti tidak akan meninggalkan aku tanpa menjawab masalah sarapan ini. “Kamu punya spageti?”
Tolong, semoga ada.
“Ehm, sepertinya ada. Aku bakal buat kamu.” Kai mencium kepalaku sekali lagi. Dan untungnya kali ini dia beranjak dari tempat tidur.
Tapi setelah aku menghela napas lega, bunyi handphone miliknya menghentikan Kai. Aku membalikkan tubuhku dan hanya menyisakan mataku untuk melihat dari balik selimut.
Aku melihat punggung Kai yang ternyata memiliki tato bergambar wajah singa hutan yang membuatnya terlihat sangat menakutkan. Aku merasa tato itu seperti lukisan yang begitu mahal.
“Halo?” Kai mengangkatnya sambil masih membelakangiku. “Apa?”
Aku menunggu berita apapun yang sepertinya membuat Kai murka dalam sekejap.
Karena kamar yang begitu senyap, aku bisa mendengar siapapun yang berbicara dengan suara lantang dari telepon itu. Suaranya tidak hanya membuat Kai menjadi tegang. Tapi aku juga merasakan hal yang sama.
“Kai, kamu harus pulang sekarang. Pulang ke kota, karena Oza menculik walikota dan kampus Isla sedang dikepung. Ini genting, Kai.”
Itu suara Omar.
Dan suara itu tidak main-main.