"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesal
"Rada, Dira?"
Suara itu terdengar dari arah belakang. Begitu familiar sehingga membuat tubuh Indira menegang dalam pelukan suaminya.
Rada menoleh cepat.
Sial! Ternyata Adnan.
Pria itu berjalan santai dengan pakaian olahraga. Handuk kecil menggantung di leher, sementara kedua alisnya bertaut melihat pemandangan tak mengenakan di matanya.
Rada segera melepas pelukan. Begitu pula Indira yang buru-buru menyeka air matanya dengan telapak tangan. Namun sayang, bekas basah di wajahnya tak bisa disembunyikan begitu saja.
Adnan berdiri beberapa langkah dari mereka. Pandangannya langsung jatuh ke wajah Indira yang basah.
"Kamu kenapa, Dir?" tanyanya tanpa basa-basi.
Rada melempar tatapan tajam pada Adnan. Sebelum merespon pria itu, ia lebih dulu menghapus sisa air mata di pipi sang istri dengan lembut.
Adnan menyipit curiga, lalu maju satu langkah lebih dekat pada Rada. "Kamu apain dia?"
Pertanyaan itu serupa bensin yang dilempar api. Langsung membuat emosi di dada Rada meledak seketika.
Tanpa berpikir dua kali, ia langsung berdiri penuh dan menatap Adnan dari jarak hanya beberapa jengkal. Wajahnya mendekat, napasnya terdengar berat.
"Dia istriku, jadi bukan urusanmu!" Suara Rada meninggi. Telunjuknya menekan dada Adnan keras hingga pria itu mundur setengah langkah.
Akan tetapi, Adnan tak tinggal diam. Dengan gerakan cepat, ia menepis telunjuk Rada kasar.
"Sekarang Dira emang istrimu. Tapi aku gak akan tinggal diam kalau kamu berani buat dia nangis!" bentaknya tajam.
Indira terbelalak mendengar itu. Sementara Rada hanya tertawa miring.
"Rupanya kamu udah hilang ingatan, Nan. Gak inget gimana kejinya kamu sama Dita? Gak inget gimana kamu buat Dira terluka, hah?!"
Suara Rada menggema keras, menarik perhatian hampir seluruh pengunjung taman. Mereka mulai menoleh. Ada yang bisik-bisik, bahkan ada anak kecil yang berhenti bermain karena merasa suasana berubah tegang.
Adnan mematung sesaat. Kedua tangannya terkepal kuat. Hingga tiba-tiba ....
BUK!
Tinjuan Adnan mendarat tepat di rahang Rada.
"Rada!" pekik Indira yang sontak berdiri.
Rada terhuyung ke belakang, tapi segera menahan hingga kembali berdiri dengan benar. Mata pria itu kian menajam. Sambil melangkah maju ia layangkan satu pukulan keras di pipi kanan Adnan.
"Sialan!" teriak Adnan geram.
Dua pria itu tak bisa menahan emosi hingga berkelahi hebat di tengah taman kota. Saling meninju dan mendorong satu sama lain tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitar.
"Rada! Adnan! Stop!"
Jeritan Indira tak dihiraukan. Ia mencoba mendekat, tapi tubuh dua pria yang saling dorong itu membuatnya terlempar mundur.
Beberapa pengunjung mulai berkerumun. Ada yang berusaha memisahkan, tapi tenaga keduanya terlalu kuat. Apalagi Adnan yang sudah tak bisa mengendalikan amarahnya. Emosi, cemburu, dan ego beradu dalam diri pria itu.
Sama seperti Adnan, Rada pun tak kalah emosi. Seluruh amarah yang diimpan, ia tumpahkan sekarang. Sudah sejak lama ia ingin menghabisi Adnan karena telah membuat Indira-nya terluka. Dan inilah saatnya.
Sementara itu, Indira hanya bisa menangis dan berusaha memeluk tubuh Rada dari belakang.
"Rada, stop! Stop!"
Ia mengguncang tubuh sang suami dari belakang, memaksa pria itu untuk berhenti mengayunkan pukulan. Namun, Rada tetap tak menghiraukan. Pria itu benar-benar seperti kehilangan akal.
'Gak boleh! Rada gak boleh jadi penjahat!' batin wanita itu. Ia tak ingin sang suami menodai tangannya dengan cara seperti itu.
Dengan tenaga yang tersisa, sekali lagi Indira berteriak kuat, "STOP!"
Teriakan itu berhasil membuat Rada terhenti. Pukulan yang nyaris dilayangkan kembali pada Adnan pun seketika membeku di udara.
Napas pria itu terengah. Matanya masih tajam menatap Adnan. Pelan-pelan, ia menurunkan tangan, lalu berbalik dan mendapati Indira tengah menatapnya tajam.
Wajah wanita itu kembali basah. Napasnya terdengar tak beraturan. Tubuhnya gemetar seperti sedang ketakutan.
Seketika perasaan bersalah menyusup di hati Rada. Segera ia melangkah dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan.
"Maaf udah buat kamu takut, Sayang ...."
***
Setelah Rada dan Indira pergi, Adnan gegas duduk dan menyandarkan punggung ke sandaran bangku taman. Kepalanya sedikit menengadah, menatap langit kosong seolah bisa menemukan jawaban dari semua kekacauan hidupnya di sana.
Wajahnya lebam dengan sudut bibir pecah. Pelipisnya pun ikut memar. Namun, bukan semua luka itu yang menyakitkan bagi Adnan.
"Kenapa begini, Tuhan?" gumamnya pelan.
Adnan sangat menyesal, sungguh. Jika saja bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pernah sekali pun menduakan Indira. Ia tidak akan percaya pada ucapan Dita. Namun, semua sudah terlambat. Bahkan orang yang sempat ia duakan, kini telah bahagia bersama Rada. Sementara ia malah terjebak dengan Dita.
Ya, mungkin kalimat itu lebih tepat menggambarkan perasaan Adnan yang sebetulnya tak ingin terjerat lebih dalam dengan Dita. Akan tetapi, apa yang mereka perbuat selama ini justru malah membuat ia tak bisa lari.
Dita tengah mengandung anaknya, darah dagingnya. Mau tak mau, Adnan harus menerimanya, kan?
Pria itu menunduk, memandangi telapak tangannya sendiri. Masih ada noda darah di sana. Entah darahnya sendiri atau darah Rada, ia pun tak tahu. Yang ia tahu, emosinya seketika meledak saat melihat Indira berderai air mata.
Adnan mendesah berat. Tangannya meraih ponsel dari saku celana training yang dikenakan. Ia ingin mengalihkan pikiran dengan membuka sosial media atau apa saja yang bisa menjauhkan Indira dari benaknya.
Akan tetapi, yang muncul justru notifikasi panggilan tak terjawab dari satu nama yang tak kalah membuat pusing kepala.
Dita.
"Ck. Lagi-lagi dia," gumam Adnan kesal.
Adnan menghela napas panjang. Ia belum siap berbicara karena tahu pernikahanlah yang akan dibahas Dita.
Jujur saja, sedikit pun tak ada niat Adnan untuk menikahi Dita. Wanita itu hanya ia jadikan pelarian semata selama Indira tak ada. Itu saja.
Layar ponsel Adnan berkedip menampilkan nama Dita. Tak ingin memperpanjang masalah, kali ini ia menerima panggilan dari wanita itu.
"Ada apa?"
"Kamu di mana, Nan?" Dita malah balik bertanya dengan suara serak, khas orang habis menangis.
"Aku lagi olahraga."
"Tolong ke rumah sekarang, Nan ...."
Ck! Sudah Adnan duga akan seperti ini akhirnya.
"Mau apa lagi, sih?"
"Orang tuaku minta kamu ke rumah sekarang juga, Nan. Please ...."
Pria itu menggeleng pelan sekalipun Dita tak bisa melihatnya. "Maaf, Dit. Kali ini gak bisa. Aku lagi—"
"Egois ya, kamu, Nan!" teriak Dita yang terdengar menggelegar di telinga Adnan.
"Kamu sama sekali gak mikirin perasaanku sama keluargaku! Aku malu hamil tanpa suami, Nan! Kamu ngerti gak, sih?!"
Adnan hanya diam sembari memijat pelipisnya. Ia biarkan Dita terus berteriak hingga bosan.
"Pokoknya aku mau kita nikah hari ini juga!"
"Apa?"
"Kita nikah hari ini juga, Adnan! Kalau kamu gak mau, aku bakal gugurin kandungan ini sekarang juga!"
Deg!
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'