Kembar, Cinta Dan Pilihan

Makan malam yang hangat telah usai. Anna duduk di depan jendela kecil di dalam kamar tidurnya. Gadis cantik itu termenung. Terasa ada yang kurang. Ah, ia baru sehari kenal laki-laki yang bernama Raksa itu, dan baru malam ini juga Raksa tidak ikut makan malam, tapi ia seperti kehilangan sesuatu.

“Nak, apa ibu bisa masuk sebentar?”

Ketukan di pintu kamar, menyadarkan Ananta dari lamunan.

“Masuk, Ibu.” Jawabnya sambil terus menatap keluar jendela yang masih dibiarkan terbuka.

“Ibu mau ngomong, boleh?” Tanya wanita paruh baya itu sambil membawa tubuhnya duduk di atas ranjang kecil putrinya.

Ananta tersenyum, lalu mengangguk.

“Ibu tau, Raksa anak yang baik. Keluarganya pun orang-orang yang baik. Yang jahat itu keadaan. Kita tidak setara dengan mereka. Maafkan Ibu karena tidak memberikan hidup yang jauh lebih baik buat kamu, dan membuat kamu harus memaksakan diri menjauh dari laki-laki yang kamu cintai.”

Ananta tertegun. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Harus nya, sejak memasuki kamar usai makan malam tadi, ia langsung menghubungi Anastasya untuk menanyakan tentang Raksa. Bagaimana hubungan mereka dan semua yang telah terjadi di antara mereka. Benar-benar sial.

“Tidak apa-apa, Ibu. Aku tidak ingin mereka menjadikan ayah dan ibu bahan hinaan mereka hanya karena perasaanku terhadap Raksa.” Ananta berusaha untuk tenang seperti yang ia lihat bagaimana Anna bersikap saat mereka bertemu di hotel beberapa hari yang lalu. Ia meraih tangan tua ibu dari Anna itu, lalu menggenggamnya dengan erat. Ia sudah berjanji untuk menjaga wanita sederhana namun cantik ini, untuk itu ia tidak akan penasaran lagi dengan laki-laki bernama Raksa itu. Akan lebih baik seperti ini. Mengikuti apa yang dikatakan Anna untuk mengabaikan apa pun yang dilakukan laki-laki itu.

“Tapi bagaimana dengan rasa cinta kamu untuk Raksa?” Terlihat jelas raut penuh rasa bersalah di wajah tua itu, membuat Ananta terenyuh. Seandainya ibunya pun seperti ini, mungkin saja ia tidak terlalu menggantungkan hidupnya pada Rendra.

“Perasaan ku terhadap Raksa, tidak bisa mengalahkan rasa sayang ku untuk ibu dan ayah. Aku hanya ingin bekerja dengan baik, dan membuat hari tua ibu dan ayah bahagia. Jangan terlalu banyak berpikir, Bu. Aku baik-baik saja. Aku yakin, Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik untuk ku.” Jawab Ananta.

Wanita paruh baya itu pun mengangguk penuh kelegaan. Ia tahu, anak gadisnya selalu berpikir logis dalam hal apa pun. Seharusnya ia tidak perlu khawatir dengan absennya Raksa malam ini di dapur sederhana miliknya.

##

Di kota yang sama, namun, di rumah berbeda Raksa duduk di sofa di dalam ruang kerja sang Ayah. Laki-laki itu pun baru selesai menikmati makan malam bersama keluarga besarnya. Ya, walaupun tidak senikmat saat makan malam di rumah Anna, tapi kali ini ia bisa melewati makan malam dengan tenang. Tidak ada drama mengesalkan dengan mengundang berbagai anak gadis yang kata ibunya setara dengan keluarga mereka. Ia sangat bersyukur, malam ini wanita yang telah melahirkannya itu tidak pulang, karena sibuk menghadiri pesta teman sesama sosialita nya.

“Kamu yakin hanya menginginkan satu hotel itu?” Tanya laki-laki paruh baya dari balik meja kerjanya. Tangannya memegang satu dokumen, sedangkan tatapannya tertuju pada putra semata wayangnya yang duduk tidak jauh darinya itu.

“Aku hanya membutuhkan pemasukan agar bisa menghidupi Anna. Anna tidak membutuhkan kehidupan megah seperti gadis-gadis yang sering Mama bawa pulang ke rumah ini.” Jawab Raksa yakin.

“Kamu itu anak satu-satunya kami, Raksa. Pada siapa lagi Papa percayakan perusahaan keluarga jika bukan padamu.” Laki-laki paruh baya itu sudah menatap putranya dengan tajam.

Namun, Raksa sama sekali tidak peduli. Pembahasan ini sudah sering ia bahas dengan keluarga nya. Sumpah demi apapun, ia tidak akan menukar rasa cintanya yang berharga, demi harta yang masih bisa ia cari. Lagi pula, Anna sama sekali tidak menginginkan kehidupan mewah seperti itu. Jadi untuk apa semua itu.

“Kamu pikir hidup kamu nanti hanya akan ada Anna. Terus anak kamu bagaimana?” Laki-laki paruh baya itu kembali bersuara, saat melihat putranya memilih diam.

“Aku akan menikah dan hidup bahagia. Aku dan Anna akan menjalani kehidupan sebagaimana ayah dan ibunya menjalani hidup. Mereka tidak kaya, tapi mereka bahagia dan berkecukupan. Setiap malam aku makan malam di sana. Makanan yang disajikan ibu dari Anna, bahkan jauh lebih nikmat dari pada makanan yang disajikan pelayan di rumah ini, Pa. Aku ingin menikmati kehidupan seperti itu. Aku ingin setiap hari menikmati makanan yang dimasak oleh istri ku. Aku ingin setiap hari menikmati apapun yang disediakan istri ku dengan penuh cinta, bukan dilayani oleh pelayan seperti apa yang Papa rasakan di rumah ini.” Kesal Raksa. Biar saja laki-laki paruh baya ini tersindir dengan kalimatnya. Toh, semua yang ia ucapkan sesuai dengan kenyataan yang ia lihat di rumah ini. "Tentang pekerjaan nya yang hanya sebagai Cleaning service di hotel, itu juga kan karena campur tangan kalian. Gadis yang aku cintai itu pintar, Pa. Jika saja kalian bisa berlapang dada memberikan kesempatan untuknya membuktikan diri, mungkin saja saat ini dia sudah menduduki posisi manager atau bahkan wakil direktur." Sambungnya lagi. Terlihat jelas kekesalan di wajahnya. Bukan tidak mampu membela Anna, tapi gadis itu yang memilih untuk tetap menjadi Cleaning service, karena tidak ingin mencari masalah dengan keluarga besarnya.

Melihat ayah nya terdiam, Raksa berniat keluar dari ruangan itu. Namun, langkah kakinya kembali tertahan.

“Papa harus peringatkan Mama, jangan pernah melakukan hal-hal yang membuat Anna dan kedua orang tuanya sakit hati. Aku tidak akan menyentuh warisan dari kalian, bahkan hotel kecil itu jika Papa memintanya kembali, aku bersedia mengembalikannya. Asalkan Anna akan selalu baik-baik saja, aku akan melakukan apa saja. Dan jika aku tidak bisa menikahi Anna, maka aku tidak akan menikahi siapapun.” Ucapnya lagi, sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu.

Raksa melangkah menuju kamar tidur yang sejak kecil ia tempati. Tubuh dan pikirannya butuh istirahat. Sikap Anna yang tiba-tiba berubah dua hari ini, cukup membuat hati dan pikirannya khawatir. Entah apa yang membuat gadis yang ia cintai bertahun-tahun itu, berubah hingga menjadi seperti orang lain.

Anna tidak pernah tertarik dengan kehidupan Raksa. Gadis itu selalu mengabaikannya. Tapi dua hari ini, Anna terlihat berbeda. Senyum menggoda, juga mata penuh binar nampak terlihat jelas. Dan ini sama sekali bukan seperti Anna yang ia kenal.

Raksa merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Meraih ponsel miliknya, lalu menatap gambar yang sekian lama menjadi gambar pembuka di layar ponselnya. Anna, gadis sederhana, pintar dan cantik. Gadis yang selalu bersikap tenang tanpa beban, meskipun ia tahu seberat apa kehidupan gadis itu sejak ia menyatakan rasa. Ia tahu, bagaimana selama ini Anna berusaha kuat menahan segala hinaan dari ibu nya.

“Maaf....” Ucap Raksa lirih dan memeluk ponsel miliknya. Seakan-akan itu adalah Anna.