berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Kau sengaja, Sat?" tanya Shintia setelah Alexa dan Olivia pergi.
"Jika tidak seperti itu, mereka akan terus di sini ," jawab Satya kemudian meraih paper bag yang ibunya letakkan di atas meja melihat isinya. "Ibu punya hubungan dengan laki-laki itu?" tanyanya kemudian, seraya membuka gaun berwarna merah di tangan.
"Apa? Tentu saja tidak, Sat. Ibu sudah sering mengatakan padanya bahwa ibu tidak mungkin bersamanya," jawab Shintia meyakinkan. "Tapi kenapa Olivia bersikap demikian pada ibu? Seakan ibu akan jadi ibu sambungnya?"
Satya memejamkan mata sejenak kala hela nafasnya terdengar. "Karena dia memang menginginkannya," jawabnya kemudian melipat kembali gaun di tangan. Menurutnya gaun itu terlalu terbuka untuk ibunya meski diseteli selendang. Ibunya juga tidak akan nyaman memakai sepatu ber-hak yang berwarna senada dengan gaun itu. " Jangan pernah memakainya. Jika ibu mau, Satya akan membelikan untuk ibu," ucapnya yang kembali memasukan gaun itu ke dalam paper bag.
Shintia hanya bisa mengangguk. la akan menuruti apapun yang Satya katakan karena ia percaya Satya hanya ingin yang terbaik untuknya.
Sementara itu mobil Alexa dan Olivia berhenti di tepi jalan setelah cukup jauh dari rumah Satya. Keduanya keluar dari mobil dan saling berdiri berhadapan.
"Kenapa kau berhenti?" tanya Olivia.
"Justru harusnya aku yang bertanya," balas Alexa. Keduanya seolah memiliki pikiran yang sama.
"Baiklah, bagaimana jika kita bekerja sama? Melihat sepertinya tak mudah mendekati mereka," usul Olivia.
Alexa tampak berpikir dan saat Olivia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, Alexa membalasnya dengan senyuman.
Waktu hampir tengah malam dan Satya masih terjaga. la tengah memikirkan sesuatu. Sampai saat dering ponselnya berbunyi, mengambil ponselnya itu dari dalam saku celana training yang dipakainya, alisnya mengernyit melihat nomor yang tertera pada layar. Merasa penasaran, ia pun mengangkat panggilan.
["Halo. Belum tidur?"]
Dahi Satya tampak berkerut. "Siapa?"
["Kau lupa suaraku?"]
Tanpa mengatakan apapun, Satya segera mematikan panggilan. la paling tidak suka dengan basa-basi seperti ini terlebih ia tahu siapa pemilik suara itu.
Di tempat Jessica, dirinya berdecak melihat Satya telah mengakhiri panggilan. Tak seperti yang ia kira, begitu sulit mendekati Satya. Tapi ia tak akan menyerah, demi harapan terbesar ibunya ia akan melakukan segala cara.
***
Shintia duduk termenung di bangku taman tempat biasa ia menghabiskan waktu. la baru saja dari penjara namun tak dapat menemui Yoga. Tak tahu kenapa, polisi bilang Yoga tak ingin ditemui. Seketika perasaan gusar pun menggelayuti pikiran, berpikir mengenai apa yang Raska katakan. Munginkah Yoga ingin membuatnya menyerah? Karena tak ingin ia terus menunggunya dan menjadi beban untuk Yoga?
Shintia menekan dadanya, tepat di ulu hatnya. Hanya membayangkannya saja dadanya terasa sesak. Namun, senyum getir pun terukir. Apapun jalan yang Yoga pilih nanti, dia berhak menentukan kebahagiaannya. Wajar saja selama ini Yoga telah kehilangan kebebasannya, jika dirinya menjadi beban, kapan Yoga akan bahagia.
"Tidak apa-apa, asal ia bahagia," ucap Shintia pada diri sendiri berusaha meyakinkan hati. Apapun keputusan Yoga nanti ia akan menerimanya.
"Nyonya! Berikan tasmu!"
Shintia terkejut, tersadar dari lamunan saat seorang pria berwaah preman meminta tas dalam pangkuannya. Secara reflek ia memeluk tasnya membuat tarik ulur tercipta.
"To- Tolong!" Shinta berteriak meminta tolong namun secara kebetulan taman begitu sepi.
Duagh!
"Argh!" Preman itu mengerang kesakitan saat tengkuknya mendapat pukulan. la berbalik dan mendapati seorang pria memakai masker dan topi mengarah pukulan ke arahnya. Perkelahian pun tak terhindarkan dimana Shintia hanya bisa melihatnya dengan ketakutan.
Pria yang menolong Shintia melayangkan pukulan dan berhasil mengenai rahang preman tersebut. Kemudian dicengkramnya tangan preman itu dan memelintirnya ke belakang. Erangan kesakitan pun tercipta dari preman berambut gondrong tersebut Namun, tak sampai di situ, pria yang memakai masker hitam itu menendang betis preman itu membuatnya berlutut. Kemudian dijambaknya rambutnya dan membenturkan kepalanya ke tanah, pada batako taman hingga
dahinya berdarah.
Jeritan keras Shintia terdengar dengan tubuh gemetar. Apa yang dilihatnya sekarang mengingatkannya pada kejadian masa lalu saat Yoga dan Indra berhadapan. Terlebih saat melihat darah akibat perkelahian itu membuka kembali traumanya hingga membuatnya jatuh pingsan.
Melihat Shintia jatuh tak sadarkan diri, pria itu kembali membenturkan kepala preman itu ke tanah kemudian menginjak kepalanya, menekannya kuat. Lirihan kata ampun terdengar di mana preman itu menyerah dengan kedua tangan terangkat.
"Ampun... ampun ...."
Dari kejauhan, terlihat Raska yang bersembunyi dibalik pohon. Tangannya terkepal memukul pohon itu dengan geraman tertahan terdengar. "Sialan! Siapa orang itu?!" Padahal, dirinya telah menyusun rencana seapik mungkin, membuat Shintia menjadi korban perampokan dan ia yang akan datang sebagai pahlawan. Tapi, sebelum itu terjadi, seorang pria telah mengambil perannya lebih dulu membuat rencananya hancur.
Raska segera menghampiri Shintia yang masih belum sadarkan diri. la tak tahu kenapa pria yang sebelumnya menolong Shintia pergi begitu saja meninggalkan Shinta dan preman suruhannya.
"Cepat pergi dari sini!" perintah Raska pada prema itu yang masih mengerang menahan sakit.
Prean itu berusaha bangkt berdiri. "Ini semua tak ada dalam perjanjian Kau harus membayar lebih untuk ini," ucapnya menuntut. Sebelumnya mereka telah sepakat hanya akan membuat sandiwara perkelahian, bukan sungguhan seperti ini hingga membuatnya babak belur.
"Ya, kau tenang saja. Aku akan memberimu uang dua kali lipat. Sekarang cepat pergi!"
Mendengar itu preman itu pergi dari sana dengan berjalan pincang. "Awas kau," geramnya entah ditujukan pada siapa. Entah pada pria yang telah menghajarnya atau pada Raska yang telah membuatnya babak belur seperti ini.
Melihat peman itu telah pergi, Raska segera menolong Shintia, Menepuk kecil pipinya berusaha membagunkannya. "hin, bangun, Shintia!"
Sementara itu dari kejauhan, orang yang sebelumnya menolong Shintia berdiri di sana, mengarah pandangannya pada Raska yang tengah menolong Shintia. Sampai saat ia melihat Shintia sadar, dirinya tak berniat beranjak.
"Shin, kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raska berpura-pura tak tahu yang telah terjadi.
Shintia mengedarkan pandangan di mana nafasnya terengahkala teringat kejadian yang baru saja ia alami. "Di- di mana orang itu?" tanyanya yang tampak panik.
"Orang itu? Siapa? Tidak ada siapapun di sini. Sekarang, tenangkan dirimu dulu. Setelah itu, baru kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," bujuk Raska yang sempurna bersandiwara memerankan perannya.
Shintia mengikuti saran Raska, berusaha menenangkan diri terlebih dulu hingga beberapa saat kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi.
"Apa? Bagaimana bisa itu terjadi?!" Raska berpura-pura terkejut dan tak mengira Shintia mengalami nasib buruk. la yang duduk di samping Shintia, menepuk lembut bahunya membuatnya lebih tenang.