Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pagi itu, setelah Dika berangkat ke kantor, rumah kembali sunyi. Tania menyelesaikan pekerjaan desainnya di ruang kerja, lalu melangkah menuju ruang keluarga. Televisi menyala, menyiarkan acara gosip pagi, tapi Farah yang duduk di sofa tidak menonton.
Farah tampak serius, jari-jarinya menari lincah di layar ponselnya. Sesekali ia tersenyum, pipinya merona. Saking asyiknya bertukar pesan, Farah tidak menyadari kehadiran Tania yang sudah sejak tadi berada di belakangnya, mengamati layar ponsel Farah dari balik sofa.
Di layar, nama kontak tertera sebagai "sayangku". Tania membaca isi pesan singkat itu. Tidak ada keraguan, orang itu adalah Dika, suaminya.
Mereka pikir mereka cerdik, pikir Tania. Senyum tipis dan dingin muncul di bibirnya sebelum akhirnya ia berdeham pelan, berpura-pura mengejutkan Farah.
"Astaga, Farah! Serius sekali main ponselnya," goda Tania, dengan nada ramah yang dibuat-buat.
Farah tersentak kaget, dengan cepat menyembunyikan ponselnya di balik punggungnya. Wajahnya panik sesaat. Ia khawatir Tania akan tahu. Namun, ia kemudian teringat bahwa nama Dika ia samarkan menjadi "sayangku", sebuah nama generik yang bisa jadi siapa saja. Ekspresi paniknya pun berubah menjadi senyum malu-malu yang dibuat-buat.
Melihat sikap kikuk Farah, Tania tersenyum menyeringai sekaligus merasa jijik dengan keduanya.
"Siapa sih, Far? Sampai segitunya," lanjut Tania, pura-pura salah paham. "Pasti kekasihnya, ya? Wah, diam-diam kamu sudah punya pacar, Mas Dika dan Ibu pasti senang mendengarnya."
Farah semakin salah tingkah, tapi kini merasa aman karena Tania salah mengira itu kekasihnya. "Eh, iya, kak Tania. Hehehe."
Tania hanya tertawa kecil, melangkah dan duduk di sofa lain. Dia tahu persis siapa "sayangku" itu, dan setiap kepalsuan mereka hanya menambah bahan bakar untuk rencananya. Permainan ini semakin menarik, dan Tania menikmatinya.
Tania melangkah dan duduk di sofa lain, menyilangkan kakinya dengan elegan. Wajahnya ramah, tapi matanya tajam mengawasi Farah.
"Oh iya, Farah," Tania memulai aksinya, nadanya santai seolah hanya obrolan iseng biasa. "Kamu sepupu Mas Dika yang ke berapa, ya? Maksud aku, ayah atau ibu kamu yang bersaudara dengan Ibu Mas Dika?"
Mendengar pertanyaan mendadak itu, Farah langsung membeku. Wajahnya yang tadi merona karena chat Dika kini memucat. Dia bingung harus jawab apa, karena cerita "sepupu" itu hanyalah karangan Dika. Farah terbata-bata.
Tania tersenyum tipis melihat kegugupan Farah. Belum juga Farah menemukan jawaban yang tepat, Tania sudah melontarkan pertanyaan lainnya.
"Kamu tahu Tante Rima? Adik Ibu Mas Dika?" tanya Tania lagi, dengan antusiasme yang dibuat-buat. "Menurut aku, Tante Rima tuh yang paling pendiam di antara bersaudara yang lain. Tapi aku dengar gosip," Tania merendahkan suaranya sedikit, menciptakan kesan konspirasi, "katanya sih Tante Rima itu dulu pernah jadi selingkuhan sepupunya, ya ampun, bisa ya kaya gitu."
Tania benar-benar menikmati raut wajah Farah yang berubah drastis—dari bingung menjadi panik, lalu ketakutan yang kentara. Mata Farah membulat, seolah gosip karangan Tania itu adalah hantu yang muncul di siang hari. Rahangnya mengeras, tapi keringat dingin mulai terlihat di pelipisnya.
Tania ingin tahu apa jawaban Farah. Farah pun dengan terbata-bata menjawab, "I-iya... aku dengar juga Tante Rima begitu."
Tania tersenyum menyeringai mendengar jawaban Farah. Farah tidak tahu cerita yang baru saja Tania sampaikan hanyalah karangan imajinasinya saja, sengaja dibuat untuk memancing reaksi dan menguji seberapa jauh Farah tahu tentang keluarga Dika.
Skakmat, pikir Tania. Farah baru saja mengakui gosip yang tidak pernah ada.
Tania tidak lagi bertanya setelah mendengar jawaban Farah. Dia bersandar di sofa, menghentikan permainan pura-pura nya sejenak. Farah merasa lega karena interogasi itu terhenti, napasnya yang tadi tertahan akhirnya keluar.
Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Farah justru merasa heran, karena melihat raut wajah Tania yang tampak seperti orang yang sedang berpikir keras, dahinya berkerut dalam. Keberaniannya muncul, didorong rasa penasaran dan ingin tahu apa yang Tania pikirkan.
"Kak Tania lagi mikirin apa sih?" tanya Farah, mencoba mencari tahu, nadanya terdengar sok akrab. "Dahi kamu sampai berkerut kayak gitu. Kakak bisa kok berbagi semuanya ke saya, kalau ada masalah sama Mas Dika, mungkin aja saya sebagai sepupunya bisa bantu untuk menasihati Mas Dika."
Sebelum menjawab Farah, Tania menyeringai tipis, seringai yang dingin dan tajam, membuat Farah sedikit bergidik.
"Aku lagi mikirin," jawab Tania, suaranya tenang tapi penuh penekanan, matanya menatap tajam ke arah Farah, "mungkin nggak kalau kamu pun melakukan hal yang sama seperti Tante Rima?"
Mendengar pertanyaan Tania yang menohok ("mungkin nggak kalau kamu pun melakukan hal yang sama seperti Tante Rima?"), Farah terlonjak kaget. Wajahnya langsung pucat pasi. Pertanyaan Tania menembus topeng kepura-puraan mereka dan menghantam tepat sasaran. Tubuh Farah membeku, seolah waktu berhenti berputar, dan matanya memancarkan ketakutan yang kentara.
Tania berdiri, mengakhiri interogasinya dengan senyum ramah yang sempurna.
"Aku ke kamar dulu ya, Far," ujar Tania santai, seolah pertanyaan barusan hanyalah candaan ringan. "Nggak usah dipikirin soal tadi. Lagian mana mungkin kamu seperti Tante Rima, kecuali kamu anaknya?" Tania tertawa ringan, tawa yang terdengar manis tapi penuh arti ganda. "Reaksi kamu lucu sekali."
Tanpa menunggu jawaban Farah yang masih membeku, Tania melangkah pergi, meninggalkan Farah sendirian di ruang keluarga.
Setelah kepergian Tania, keheningan melanda ruangan itu selama beberapa detik. Begitu Tania menghilang dari pandangan, raut wajah Farah langsung berubah drastis. Wajahnya memerah padam karena amarah, dan ia mulai memaki Tania.
"Dasar wanita sialan! Sok suci!" desis Farah. Ia melemparkan bantal sofa ke lantai dengan keras. "Dia sengaja! Dia pasti sengaja!"
Kemarahannya memuncak. Farah yakin Tania sengaja melakukan interogasi tadi, sengaja menggodanya dengan cerita Tante Rima yang tidak ada. Pikirannya melayang kembali ke kejadian di mana Tania menumpahkan teh hangat.
"Aku yakin dia sengaja menumpahkan teh itu juga!" gerutu Farah. "Wanita itu tidak selemah yang Dika kira. Aku harus hati-hati."
Farah meraih ponselnya dengan geram, jarinya mengetik pesan cepat untuk Dika, penuh amarah dan kekhawatiran baru tentang kecerdikan Tania.
Farah terus menatap layar ponselnya dengan cemas, menunggu balasan dari Dika yang tak kunjung datang. Jari-jarinya mengetik pesan baru dengan cepat, tapi kemudian dihapusnya lagi, bingung harus mengeluh seperti apa. Setiap detik yang berlalu membuat rasa kesalnya semakin memuncak. Dika pasti sibuk dengan pekerjaannya, tapi di mata Farah, itu hanya alasan klise.
"Sialan!" umpat Farah. Dia melemparkan ponselnya ke sampingnya dengan kesal.
Ia pun merasa semakin kesal dan memilih kembali ke kamarnya di lantai atas. Langkah kakinya terdengar berat, penuh amarah dan frustrasi. Di dalam hatinya, ia mengutuk Dika habis-habisan karena telah membawanya masuk ke dalam rumah Tania yang terasa seperti sarang singa betina.
Ini semua salah Dika! pikir Farah. Harusnya kami tetap bertemu di luar seperti biasa, bukan malah tinggal satu atap dengan istri sahnya yang licik itu.
Farah memasuki kamar tamu dan membanting pintunya dengan keras, suaranya menggelegak di keheningan rumah. Dia merasa terjebak, dan kecerdikan Tania yang baru saja ia rasakan membuatnya merasa terintimidasi untuk pertama kalinya.
Bersambung...