Aluna seorang gadis manis yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan pria pilihan keluarganya.Umurnya yang sudah memasuki 25 tahun dan masih lajang membuat keluarganya menjodohkannya.
Bukan harta bukan rupa yang membuat keluarganya menjodohkannya dengan Firman. Karena nyatanya Firman B aja dari segala sisi.
Menikah dengan pria tak dikenal dan HARUS tinggal seatap dengan ipar yang kelewat bar-bar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ismi Sasmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Deru mesin mobil yang memasuki halaman, menyentakku dari lamunan tentang nasib rumah tangga Firman yang berakhir tragis. Gegas berdiri menyambut pembeli yang datang.
"Hai, Luna !" sapa Kak Lisa dengan tersenyum lebar.
"Kak Lisa ? Lho...kok gak bilang dulu kalau mau kesini ?" tanyaku sembari menuntun tangan Kaila untuk masuk.
"Emang gak boleh ya kami kesini ?" tanya Kak Lisa dengan ekspresi sedih.
"Astaghfirullah...bukan itu maksud aku, Kak. Takutnya pas Kak Lisa kesini, aku lagi keluar." jelasku tak enak hati.
"Ohh...kirain gak ngebolehin kamu kesini." ucap Kak Lisa yang kembali tersenyum.
"Kakak kok bisa tau toko aku ?" tanyaku penasaran. Pasalnya aku tak memberi tahu secara detail letak tokoku.
"Kaila tiba-tiba aja mau donat. Terus jadi keinget kamu deh. Aku tanya aja sama Billy alamat toko kamu." Jawab Kak Lisa.
"Kaila mau donat ya, sayang ?" tanyaku pada si cantik Kaila.
"Iya, Tante. Kata Om Billy, donat Tante paling enak sedunia." ucapnya dengan wajah polos.
Kami berdua pun tergelak mendengar penuturannya. Aku pun mengajak Kaila menuju etalase untuk memilih donat yang dia mau dan memasukkan ke kotak.
Kaila terlihat sangat antusias memilih donat yang dia suka.
Tak lama kemudian Fika keluar dari dapur untuk meletakkan bolu yang baru matang ke etalase. Bolu yang baru keluar oven itu rupanya menarik perhatian Kak Lisa.
"Wahhh...baunya enak banget. Tolong bungkusin 2 kotak dong bolunya, Luna ! Sekalian tambah donatnya 1 kotak lagi. Kakak mau ngasih sekalian buat Mama."
Fika pun membantuku menyiapkan pesanan Kak Lisa dan menyerahkannya.
"Kenalin ini Fika, Kak. Adik aku. Dia yang bantu aku disini." ucapku memperkenalkan Fika pada Kak Lisa.
Mereka pun berjabat tangan tanda perkenalan. Setelahnya Fika pamit kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya.
"Kalian cuma berdua aja, Luna ?" tanya Kak Lisa.
"Ada 1 orang lagi, Kak. Namanya Ika. Kayaknya dia masih sibuk di dapur deh." jelasku.
"Hebat kamu, Luna. Masih muda udah punya usaha sendiri. Punya 2 orang karyawan lagi. Salut Kakak sama kamu. Gak kayak kakak pengangguran. Bisanya cuma minta uang sama Mas Rama aja." Puji Kak Lisa.
"Kak Lisa terlalu berlebihan muji aku. Ini masih merintis. Do'ain semoga makin berkembang ya, Kak !"
"Aamiinn. Pasti Kakak do'ain. Siapa tahu nanti Kakak bisa kerja di toko kamu. Jadi gak perlu LDR lagi sama Mas Rama. Biar Mas Rama yang urus anak." seloroh Kak Lisa sambil tergelak.
"Gak sanggup kalau gaji Kak Lisa. Mahal soalnya." candaku yang di sambut oleh gelak tawa Kak Lisa.
"Emm...Kakak gak bisa lama-lama, Luna. Sebenarnya sih pengen ngobrol lama sama kamu, biar kita makin akrab. Tapi Mas Rama besok pagi udah berangkat ke Kaltim. Jadi mau quality time dulu mumpung masih ada kesempatan. Lagi pula kamu pasti sibuk". Ucapnya sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Yah kok cuma sebentar sih, Kak ?" protesku.
"Insyaallah lain kali aku kesini lagi. Tapi kakak lupa ngasih tau Mama kalau mau kesini. Seandainya Mama tau pasti pengen ikut. Atau nanti kita agendakan jalan-jalan bertiga sama Mama. Biar makin seru." usul Kak Lisa.
"Iya. Aku tunggu, Kak." ucapku antusias.
Meskipun baru mengenal Kak Lisa, tapi aku merasa nyaman ngobrol sama dia. Pembawaannya yang ramah mengingatkanku pada Mbak Zizah.
"Jadi ini berapa total semuanya, Luna ?" tanya Kak Lisa sembari mengeluarkan dompet dari tas jinjingnya.
"Gak usah, Kak. Aku ngasih gratis buat Kaila sama Mama." tolakku.
"Ya gak bisa gitu dong, Luna. Rugi dong kamu." tegasnya sambil meletakan beberapa lembar uang merah di tanganku.
"Gak rugi kok, Kak." tolakku sembari menyerahkan kembali uang yang dia berikan.
"Terima, Luna ! Kalau gak mau nerima, Kakak gak mau kesini lagi." ancamnya.
"Kok Kakak gitu ?"
"Makanya kamu terima uangnya. Kakak hargai banget niat kamu yang mau ngasih gratis. Tapi Kakak juga mau support usaha kamu." ucap Kak Lisa mengulas senyum.
Dengan berat hati aku pun menerima uang yang di sodorkan.
"Makasih ya, Kak. Tapi ini kebanyakan uangnya. Harganya gak sesuai dengan nominal yang diberikan." ucapku sambil menyerahkan kembali beberapa lembaran merah.
"Gak usah, Luna. Ambil aja semuanya. Anggap aja itu salam persaudaraan kita." kekehnya.
"Kalau gitu makasih banyak ya, Kak." ucapku sungkan.
"Sama-sama, Luna."
"Berarti bakal LDR dong Kak, kalau Mas Rama kembali ke Kaltim ?" tanyaku.
Kak Lisa terlihat menghela nafas panjang.
"Ya mau gimana lagi, Luna. Terpaksa LDR dulu. Kalau sekarang Kakak ikut Mas Rama, kasihan Mama harus berpisah sama Kaila. Mereka itu dekat banget, Luna. Kan Mama yang bantu rawat Kaila waktu masih bayi merah. Mungkin kalau nanti kamu udah nikah dan punya anak sama Billy, kayaknya Kakak ikut Mas Rama ke Kaltim. Kan ada cucu lain yang bisa menemani biar Mama gak kesepian." Ucap Kak Lisa.
Setelah menikah, Kak Lisa dan Mas Rama memutuskan tinggal di Kaltim karena Mas Rama kerja di pertambangan yang ada disana. Ketika hamil pun Kak Lisa masih tinggal di sana. Tapi setelah mendekati HPL, Kak Lisa memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Katanya biar ada yang membantunya mengurus bayi.
Setelah Kaila berumur 1 tahun, Kak Lisa memutuskan untuk kembali ke Kaltim. Tapi Mama tak mengizinkan, karena sangat menyayangi Kaila. Beliau tak bisa jauh dari Kaila.
Karena merasa kasihan dengan mama mertua yang sudah seperti ibu kandung. Mas Rama akhirnya mengizinkan Kak Lisa tetap tinggal dan mencari rumah untuk di tempati. Mereka pun membeli rumah yang masih 1 komplek dengan Mama Ratna. Sehingga Mama Ratna bisa setiap hari menengok cucunya. Begitu cerita yang ku dengar ketika berkunjung ke rumah Billy malam itu.
"Kalau gitu titip salam sama Mama dan Mas Rama ya, Kak." ucapku sambil mengantar Kak Lisa menuju mobilnya.
"Iya nanti Kakak sampaikan. Kakak pamit dulu ya, Luna. Maaf kalau ganggu waktu kamu." ucapnya sambil memelukku.
"Sama sekali gak ganggu kok, Kak. Aku malah senang Kak Lisa mau mampir."
"Sayang, salim sama Tante Luna dulu." titah Kak Lisa.
Kaila pun meraih tanganku dan menciumnya. Aku pun mencium kedua pipinya. Aku membantu Kaila masuk mobil dan menutup pintunya.
"Hati-hati di jalan ya, Kak." ucapku sambil melambaikan tangan yang di balas Kak Lisa dengan membunyikan klakson. Ketika mobil Kak Lisa sudah tidak terlihat, aku pun melangkah masuk.
"Kaila udah pulang, Mbak ?" tanya Fika ketika aku baru saja memasuki toko.
"Iya, baru aja." jawabku sambil mendaratkan bokong di kursi.
"Kayaknya Kak Lisa itu orangnya baik ya, Mbak."
"Kak Lisa memang ramah. Sama kayak Mama Ratna." ucapku apa adanya.
"Semoga aja nanti gak kayak mantan ipar Mbak yang kayak Mak Lampir itu."
"Hussst...gak boleh ngomong gitu." ucapku menasehati.
"Emang kenyataannya kok, Mbak." ucap Fika membela diri.
"Pertama ketemu sama Kak Lisa, Mbak langsung di sambut ramah. Gak ada tuh dia masang wajah jutek. Dan Mbak bisa merasakan ketulusan dari sikapnya. Kaila pun diajarin Mamanya untuk menghormati Mbak. Dari sini aja udah keliatan kalau Kak Lisa menghargai Mbak. Padahal Mbak dan adiknya belum menikah. Sementara sama Siska dulu, dari awal ketemu dia udah menampakkan wajah tak suka dan tak pernah mengajarkan anaknya untuk bersikap sopan sama yang lebih tua."
"Semoga ini yang terbaik buat Mbak. Semoga Mbak mendapatkan kebahagiaan setelah melalui berbagai cobaan selama ini. Aku berharap, Mas Billy adalah pelabuhan terakhir Mbak."