Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Sorotan
Aksa pun pulang dari kontrakan Aira.
Di atas motor, pikirannya kembali pada kejadian barusan—bayangan saat bibirnya tanpa sengaja menyentuh pipi Aira.
Aira, yang kini sudah merebah di ranjang, juga mengingat hal yang sama. Pipinya terasa panas setiap kali kejadian itu muncul lagi dalam benaknya.
Ingin marah, tapi tidak bisa. Justru hal itu membuat keduanya sama-sama gugup dan canggung. Aira bahkan tersenyum-senyum sendiri, malu namun tidak bisa menghilangkan perasaan hangat di dadanya.
Ciuman tak sengaja itu… adalah ciuman kedua di pipinya setelah ayahnya.
Aira adalah tipe yang sulit jatuh cinta dan sulit tertarik pada lawan jenis. Begitu pula dengan Aksa—bahkan lebih tertutup. Mengingat bahwa dirinya bukan manusia sepenuhnya membuat Aksa menjaga jarak dari siapa pun. Ia hanya muncul untuk membantu orang dalam kesulitan. Jika seseorang meminta tolong, Aksa selalu ada. Selain itu, ia memilih tak terlalu dekat dengan siapa pun.
****************
Di rumah, Mason tanpa sengaja mengirimkan foto-foto candid kemesraan Aira dan Aksa kepada Azura. Foto yang diambilnya secara random.
Saat Aksa pulang, ia membuka pintu sambil berkata pelan, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Azura.
“Abang… abang…” panggil Azura sambil menahan senyum nakal.
“Kenapa?” tanya Aksa, heran melihat adiknya.
Azura berdeham-deham kecil, “Ehm… ehm… ciee ciee abang…”
Aksa mengernyit. “Kok kamu bilang gitu kenapa?”
Tanpa banyak bicara, Azura langsung menunjukkan foto-foto yang dikirim Mason—foto Aksa dan Aira.
“Abang cocok tau sama Kak Aira,” ujar Azura sambil nyengir.
Aksa langsung mengalihkan pandangan. “Kamu ngomong apa sih… abang mau mandi dulu.”
Setelah mengirim foto-foto itu ke Aira, Mason tiba-tiba mendapat ide jahil. Ia menatap layar ponselnya sambil tersenyum kecil. “Kayaknya lucu kalo gue upload satu di Facebook… biar pada heboh dikit,” gumamnya.
Tanpa berpikir panjang, Mason mengunggah salah satu foto candid Aira dan Aksa—yang terlihat cukup dekat—ke akun Facebook pribadinya. Ia hanya ingin seru-seruan, tak menyangka apa yang akan terjadi.
Beberapa menit berlalu, salah satu mahasiswa yang berteman dengannya—bukan teman dekat, hanya kenalan dunia maya—tak sengaja melihat unggahan itu saat sedang scroll beranda. Ia menatap layar lama, kedua alisnya terangkat tinggi.
“Lah… ini Aksa? Yang cool parah itu? Kok bisa mesra gini…” gumamnya.
Tanpa ragu, foto itu langsung ia simpan. Dan dalam hitungan detik, ia mempostingnya ulang di Instagram Story dan feed miliknya yang cukup banyak diikuti mahasiswa kampus.
Caption-nya benar-benar memancing perhatian:
“Ga nyangka cowo cool, dingin, bisa bucin juga.”
Unggahan itu cepat sekali menyebar. Repost demi repost bermunculan. Grup-grup mahasiswa mulai ramai, obrolan mulai panas. Nama Aksa dan Aira tiba-tiba jadi topik besar.
Dan tentu saja, kabar itu sampai juga pada Gina.
Gadis yang pernah mengancam Aira agar menjauh dari Aksa itu langsung membelalakkan mata melihat foto-foto tersebut. Nafasnya terhenti sejenak, wajahnya memanas oleh rasa marah dan cemburu yang ia sendiri tak mau akui.
“Berani-beraninya dia…” gumam Gina sambil mengepalkan tangan.
Ia merasa seperti ditampar di depan publik. Semua orang sudah melihat kedekatan Aksa dengan Aira. Sementara dirinya—yang dulu hingga sekarang berusaha untuk dekat dengan Aksa— tak pernah punya foto sedekat itu.
Kepalanya penuh rencana.
Dan jelas, Aira akan merasakan akibatnya.
Aira tidak membuka handphone sama sekali malam itu. Ia benar-benar tidak tahu bahwa foto dirinya dengan Aksa sudah viral di kampus. Ia bahkan tidak sadar Mason sempat memotret mereka. Baginya, malam itu hanya tentang kegugupan dan senyum kecil yang muncul setiap kali mengingat bibir Aksa yang tanpa sengaja menyentuh pipinya.
Keesokan paginya, Azura meminta Aksa mengantarnya ke rumah Mason. Katanya, ia dan Mason ingin berangkat sekolah bersama dengan sepeda. Aksa menurut, tanpa tahu ada sesuatu yang direncanakan dua remaja itu.
Begitu tiba di rumah Mason, ia sudah menunggu di luar sambil memegang sepedanya. Ketika Azura turun, Mason mengedipkan mata ke arahnya—jelas ada udang di balik batu.
“Abang, Azura berangkat sama Mason ya, pakai sepeda,” ucap Azura manis.
Aksa hanya mengangguk. Namun sebelum ia benar-benar pergi, pintu rumah Aira terbuka. Aira keluar dengan sepeda, siap berangkat kuliah. Tapi langkahnya terhenti.
“Ko kayaknya kempes ya ban-nya…” gumamnya.
Ia turun mengecek dan benar—ban depan sepeda itu kempes.
Azura langsung menghampiri. “Morning, Kak.”
“Morning cantik,” jawab Aira sambil tersenyum.
“Sepeda kakak kempes ya?”
“Iya, tapi nggak apa. Kakak naik taksi aja.”
“Jangan, Kak!” seru Azura cepat.
Aira mengerutkan kening. “Kenapa jangan?”
Azura tersenyum lebar. “Abang… abang boncengin Kak Aira ya.”
Aira langsung menggeleng. “Nggak usah, Azura.”
“Gapapa, Kak. Kalian kan satu kampus. Bang Aksa mau kan bareng Kak Aira?”
Aksa hanya mengangguk kecil—tak ingin mengecewakan dua remaja itu.
Namun Aira tiba-tiba teringat kata-kata Aksa malam itu:
“Kebaikan dan perhatian gue itu rasa kemanusiaan, bukan berarti kita berteman.”
Ia terdiam, bingung harus berkata apa. Tepat saat itu, suara klakson terdengar. Mereka semua menoleh.
Rayhan datang, menjemput Aira.
“Mm… Kakak bareng Kak Rayhan ya. Daa!” ujar Aira buru-buru, memilih menghindar.
Azura dan Mason langsung cemberut.
“Yah, gagal deh… padahal udah kempesin ban sepeda Kak Aira,” celetuk Mason lirih—sayangnya terdengar jelas oleh Aksa.
“Iya… jadi gagal,” sahut Azura.
Aksa menghela napas. “Jadi ini semua rencana kalian?”
Mendengar itu, Azura langsung lompat naik ke sepeda Mason.
“Kaburrr!” teriak Mason dan Azura bersamaan sambil mendayuh sekuat tenaga, meninggalkan Aksa yang hanya bisa mengusap wajah, pasrah.
Aksa berdiri mematung, menatap punggung Aira yang menjauh bersama Rayhan. Ada rasa tidak enak yang menusuk dadanya—sesuatu yang ia sendiri enggan akui. Bukan marah, bukan pula cemburu… tapi semacam ketidaknyamanan yang membuat napasnya terasa berat sesaat.
Matanya mengikuti hingga motor Rayhan menghilang di tikungan.
Wajah Aksa tetap datar, seperti biasa. Tidak ada gerakan, tidak ada komentar. Tapi jemarinya mengepal perlahan di sisi tubuhnya.
Ia menghela napas pendek, mencoba menetralkan perasaannya.
“Yaudah… terserah dia…” gumamnya pelan.
Namun hatinya berkata sebaliknya.
Sesampainya di kampus, Aira turun dari motor Rayhan sambil mengucap terima kasih. Ia tidak menyadari bahwa hampir seluruh mahasiswa yang lewat berhenti sejenak, menatap keduanya dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Bisik-bisik mulai terdengar.
“Loh… kok sama Rayhan? Bukannya fotonya sama Aksa?”
“Yang bener yang mana sih?”
“Di foto mesra sama Aksa, ke kampus dianter Rayhan… gila sih.”
“Apa jangan-jangan… dua-duanya diembat?” ucap seseorang dengan nada sinis.
Sejumlah mahasiswa menatap Aira dari ujung kepala sampai kaki, beberapa dengan wajah tak percaya, beberapa lagi dengan mata tajam seperti menghakimi. Aira yang masih belum tahu perihal foto viral itu hanya bisa bingung melihat tatapan aneh dari sekelilingnya.
Rayhan yang menyadari suasana mulai tidak nyaman berdiri sedikit lebih dekat, seolah ingin melindungi Aira dari sorotan itu. Namun hal itu justru makin memperkuat gosip.
“Udah jelas-jelas kemarin sama Aksa, sekarang nempel sama Rayhan. Cepet bener pindahnya,” bisik seorang mahasiswi sambil melirik tajam.
Aira menelan ludah, langkahnya melambat. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Setiap sudut terasa seperti memandang dirinya.
Dan setiap tatapan seperti menyimpan satu pertanyaan yang sama:
“Siapa yang sebenarnya Aira dekatin?”
Tanpa ia sadari, dunia kampus sudah lebih dulu memutuskan sesuatu tentang dirinya—yang bahkan ia tidak tahu penyebabnya.