"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dapa Ngana yang Seirama
Musik di lantai bawah kini menggema lebih meriah. Lagu yang diputar adalah lagu pop Manado yang sedang viral di kalangan muda-mudi Sulawesi Utara diaspora di Jakarta. Judulnya "Pe Ulang Tahun di Jakarta, Pe Hati Masih di Bitung." Ritmenya ceria, liriknya penuh nostalgia. Suara penyanyinya melengking ringan, diiringi beat yang memaksa kaki bergoyang sendiri.
Rio, yang sudah sejak tadi lincah bergerak di tengah kerumunan, melambai-lambai dengan gaya teatrikal saat melihat Martin dan Vanessa turun dari tangga.
“Eh, akhirnya Romeo turun dari balkon!” teriaknya bercanda.
Martin hanya tertawa dan menarik tangan Vanessa ke tengah lantai dansa. Vanessa sempat ragu, tapi akhirnya ikut juga. Sepasang sepatu hak rendahnya mengetuk lantai mengikuti irama, dan senyumnya mengembang saat melihat Martin menggerakkan bahunya ala TikTok dance yang gagal lucu.
Lagu berganti. Kali ini, lagu lama yang sempat populer di tahun 2010-an di Manado: “Ngana Pigi, Kita Tahan Air Mata.” Versi remix. Lantunan bahasa Manado terdengar jelas:
“Ngana pigi, tinggalkang torang…
Kita jaga diam, tapi jantung rasa mo meledak…”
Martin tiba-tiba ikut menyanyi. Suaranya keluar begitu saja. Lantang. Bersih. Tak banyak improvisasi, tapi cukup membius. Vanessa, yang baru hendak tertawa karena gerakan joget mereka aneh, justru terdiam.
“Ngana bisa nyanyi?” tanyanya di sela dentuman beat.
Martin mengangkat bahu sambil tetap menyanyi, “Sedikit-sedikit…”
Bagi Vanessa, suara itu jauh dari sedikit. Suara Martin jernih. Ada warna yang khas. Seperti penyanyi profesional yang tak terlalu sadar betapa bagusnya dirinya.
Rio, yang tadinya asyik berputar-putar sendiri, kini mendekat dengan gaya dramatis. Ia memegang pundak Martin lalu berteriak, “Kalian baru tau dia bisa nyanyi?”
Vanessa mengangguk, matanya tetap menatap Martin yang tampak menikmati lirik lagunya sendiri.
Rio terkekeh, “Dulu, waktu masih di Manado, Martin pernah juara kompetisi nyanyi yang diadakan di Matos!”
“Matos?” tanya Vanessa cepat.
“Manado Town Square,” jelas Martin pelan, sambil berhenti sebentar dari menyanyi.
“Iye!” sahut Rio. “Waktu festival Natal. Torang semua masih SMA. Dia nyanyi lagu rohani, tapi yang bikin semua menangis. Bahkan pendeta, ketua panitia, sampe suruh dia ikut lomba di gereja sinode pusat.”
Martin terlihat malu. “Itu sudah lama. Sekarang suara sudah beda, Rio. Ngana pe hobi suka melebih-lebihkan.”
“Masih bagus begitu," ujar Vanessa cepat. Ia melangkah lebih dekat, hingga suara-suara lain seperti memudar. “Serius, Martin. Ngana punya suara itu… bikin dada bergetar.”
Martin menunduk sedikit, merendah. “Suara jo bisa lagu Menado. Kalo disuruh nyanyi K-Pop atau Jazz, pasti kacau.”
“Tidak perlu jazz. Cukup lagu yang bisa jujur,” kata Vanessa pelan. “Dan ngana barusan jujur sekali.”
Mereka berdansa lagi, lebih lambat. Lagu sudah berganti menjadi lagu akustik campuran Tagalog dan Melayu Ambon. Vanessa mengikuti irama pelan-pelan. Martin juga. Tangannya tak lagi terlalu canggung. Gerakan mereka mulai menyatu.
Malam makin larut. Atmosfer di kafe belum menunjukkan tanda-tanda lelah. Lampu sorot berganti warna. Hijau ke jingga. Jingga ke biru laut. Musik tetap hidup, meski sebagian orang sudah duduk kelelahan.
Rio kembali ke sofa, mengambil minuman sambil mengusap keringat. Dari kejauhan ia melihat Martin dan Vanessa. Mereka terlihat seolah berada di dunia sendiri.
“Ngoni cocok,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Beberapa teman Menado lainnya juga melihat pemandangan itu. Saling bisik-bisik. Sebagian bilang mereka "so cocok dari awal." Yang lain tertawa, “Bisa-bisa nanti Martin tinggal di rumah mertua di Sangihe!”
Di tengah dansa, Vanessa menatap wajah Martin lebih lama.
“Martin, boleh tanya sesuatu?” katanya pelan.
“Iye.”
“Kenapa ngana tidak kejar musik lebih serius?”
Martin terdiam sejenak. Pertanyaan itu seperti menusuk masa lalu yang lama dikubur.
“Karena takut mimpi sendiri,” jawabnya jujur. “Sering pikir, mimpi itu mahal, Vanessa. Sementara jo penumpang di rumah orang. Cuma bantu-bantu hidup. Siapa mo percaya?”
Vanessa menggeleng. “Percaya, kok, deng ngana.”
Martin menatapnya.
“Kalau ngana pe suara macam itu, dan hati yang mau jujur, aku rasa mimpi itu bukan jo mimpi. Itu bisa jadi rencana Tuhan,” lanjut Vanessa dengan mata yang bersinar dalam cahaya lampu.
Martin tak tahu harus jawab apa. Malam itu, di lantai dansa yang sempit, dengan musik bahasa ibu berdentum dan aroma cocktail bercampur parfum tropis, dia merasa seperti anak kecil yang menemukan kembali nyalinya.
"E Tuhan, rasa hati ini mo nyanyi terus-terus. Bukan jo di pesta, tapi buat hidup ini sampe selamanya. Dan, ngana, Vanessa, jatuh hati sekali deng ngana."
Vanessa sekonyong-konyong tersipu dan bergegas izin ke toilet.