KISAH PERJUANGAN SEORANG LAKI-LAKI MENGEJAR CINTA GADIS BERCADAR YANG BELUM MOVEON SAMA PRIA MASA LALUNYA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Bella menjeda ucapannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, meremas jari jemari. mengumpulkan keberaniannya. "Mas maukah menikah dengan saya?" Ucapnya sungguh-sungguh, membuang rasa gengsinya demi mengungkapkan perasaannya.
Tama tercengang sesaat. Ia dilamar? Sama wanita?
"Mas? Maukah kamu menjadi suami saya?" Ucap Bella sekali lagi, penuh harap.
"Saya akui keberanian anda. Membutuhkan hati yang kuat untuk berani mengungkapkan perasaan, Apalagi anda seorang wanita. Biasanya wanita lebih memilih diam, memendam perasaannya sendiri, takut ditolak dan dianggap lemah. Saya menghargai itu, tapi...... " Tama menjeda ucapannya, matanya menatap lurus, menembus gerbang didepan, memandang jalanan kosong.
Bella menunggu jawaban selanjutnya dengan jantung berdegup kencang, penuh harapan. Dalam hati ia berdoa 'semoga keterima'. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kalau diterima, ia siap membawa laki-laki ini kerumah orang tuanya, meminta restu sekaligus meminta dinikahkan hari ini juga.
"Saya tidak mau menikah dengan anda!"
"Ke-kenapa?" Tanya Bella terbata-bata, terkejut dengan jawaban Tama.
"Saya sudah memiliki istri sebelumnya."
"Yah! Ya sudah, tidak apa-apa mas." Bella menunduk, meremas dadanya yang terasa nyeri. "Pasti istri kamu cantik ya?" Tanyanya lirih, dengan nada cemburu.
"Sangat cantik. Nggak ada yang bisa ngalahin kecantikan dia. Dimata saya wanita paling cantik hanya istri saya. Selebihnya biasa saja, tidak ada."
"Oh." Bella mengganguk pelan, mencoba memahami. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang nyaris pecah. Penolakan itu membuat hatinya perih luar biasa.
"Saya permisi dulu, mbak." Ucap Tama bangkit dari duduknya.
"Iya, mas!" Ucapnya pelan, berusaha tegar.
Tanpa mengucapkan salam, Tama melangkah pergi, tak menoleh kearahnya.
Bella mengepalkan kedua tangannya. "Kamu nggak mau memberi salam?"
"Sunnah. Dan Saya tidak mau memberi salam kepada wanita yang bukan mahram. Cukup saling tahu, tanpa harus saling sapa. Karena pada dasarnya, Kita hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu. Bahkan tidak pantas untuk diingat. Dan buat anda. Jangan pernah berharap lebih dengan saya. Tolong, Jangan menghadirkan saya didalam hidup anda. Karena, Kehadiran anda dihidup saya hanyalah kebetulan yang sia-sia, tidak akan pernah berarti apa-apa. Tidak berharga, hanya sekedar bayangan, yang bahkan bentuknya tidak ingin saya lihat " Jawab pria itu dengan nada dingin.
"Asing? Tidak berharga? Sekedar bayangan?" Gumam Bella nyaris menangis. Kata-kata itu bagai belati tajam, menusuk dan menguncang hatinya hingga goyah.
Setelah Tama menghilang. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan, akhirnya tumpah juga, mengalir deras jatuh kepangkuan.
Bella menangis dalam diam. Bahunya gemetar menahan perih yang menggerogoti hatinya.
"Sakit banget....hiks...." Bella sesenggukan, ia meremas dadanya seolah berusaha menahan luka yang ditoreskan.
Kata-kata 'asing' dan kalimat penolakan itu terus berputar-putar dibenaknya, menghancurkan hatinya.
*
*
Jam menunjukkan pukul 10:00.
Dikantor, lucky menatap layar komputer dengan wajah serius, mencoba tetap fokus. Namun pikirannya terus melayang jauh, teringat Bella. Sudah dua hari dia belum bertemu dengan gadis itu, setiap detik ia merindukannya, ingin bertemu seperti biasanya. Namun selama dua hari kebelakang, Bella justru sering menghindar dan membencinya setelah kejadian dikampung. Dimana lucky dengan lancangnya menyentuh dan menciumnya secara kurang ajar.
Lucky bukan tak sadar atas kesalahannya. Ia sadar betul dirinya salah, sudah berulang kali ia meminta maaf—baik lewat pesan pribadi maupun secara langsung. Tapi Bella hanya diam saja, bahkan pesan darinya tak kunjung dibalas, seolah menolak permintaan maaf darinya, menutup pintu maaf.
Drttt!
Dering ponsel memecah keheningan. Lucky mengambil benda pipih tersebut, alisnya mengerut saat nama 'lorian (adek paling baik, sering berbagi link)'—nama kontak Revan yang diberikan lucky, kini terpampang di layar.
Khawatir penting, segera lucky menggeser tombol ijo. Panggilan terhubung.
"Ada apa lor?" Tanya lucky dingin.
"Bang, anu bang" gugup Revan.
"Apanya yang anu-anu. Bicaralah yang jelas! Abang lagi sibuk, kamu nelpon jangan menggangu kerjaan Abang! Katakan ada apa? Ada hal penting? Kalau tidak ada yang penting. Abang matikan!" Cerocos lucky panjang lebar, suaranya meninggi. Gara-gara Revan Kerjaannya tertunda sejenak.
Dipojok, Nero menelan ludahnya susah payah mendengar kemarahan bosnya. Ia mengalihkan pandangannya, fokus mengerjakan pekerjaan sesempurna mungkin, menghindari kemarahan lucky yang sangat mengerikan jika sedang mode kantor.
Salah sedikit bisa langsung diamuk, bahkan dipecat tanpa hormat.
"Bang bisa kesini gak?" Tanya Revan diseberang sana.
"Kemana?" Tanya lucky mengerutkan keningnya.
"Kekantornya almarhum Arhan!"
"Mohon maaf lor. Gue gak bisa. Lagi sibuk sama pekerjaan." Tolak lucky tegas.
"Yailah bang, bentar doang ini mah. Gue pengen ngomong sesuatu."
"Bicarakan disini aja, apa susahnya sih!" Bentak lucky, menggebrak meja. Nero terperanjat, nyaris mati terduduk karenanya.
"Slow bang! Sabar! Kalem! Jangan ngamuk-ngamuk dulu, kasihan tuh meja Lo gebrak-gebrak."
"Kesini dulu bang!" Lanjut Revan.
"Gak bisa! Gue lagi sibuk, lorian!" Geram lucky.
"Yakin gak mau?"
"Jelas!" Lucky menaikkan sebelah alisnya, menunggu ucapan selanjutnya.
"Bang! Disini ada mbak Bella loh, yakin gak mau Dateng nih?"
Wajah lucky mendadak sumringah. Bella ada disana?
Tanpa sadar, ia menyunggingkan senyum bahagia. Dari kursi, Nero mengedikkan bahunya, bingung dengan sikap bosnya yang tak jelas. Kadang baik, kadang kejam gak berperasaan.
"Sini, bang! Mumpung mbak Bellanya ada nih! Gc bang! Nanti digaet cowok Laen loh! Soalnya banyak orang-orang elite mau kesini, ada pengusaha nomor 6 terutama pengusaha nomor 3 didunia, belum lagi pejabat penting, 3 Presiden dari luar negeri, bahkan pemerintah global bang, tokoh-tokoh penting! Level dunia. Dan yang Dateng kebanyakan cowok-cowok bang. Gawat ini mah!" Cerocos Revan diseberang sana.
Tanpa pikir panjang, lucky berdiri. "Otw Van!" Katanya, berlari kencang menuju pintu, melewati Nero begitu saja.
Disepanjang berlari, hati lucky terus membara. Sementara, pikirannya menerawang jauh tentang Bella yang dikelilingi oleh orang-orang elite disana, didekati, ditawari, diajak ngobrol, dilamar, bahkan tiba-tiba menikah ditempat. Langkah kakinya makin cepat, seolah ingin mengalahkan waktu.
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan paling tinggi, menyalip beberapa kendaraan didepannya, nyaris terjadi kecelakaan akibatnya. Namun, lucky tak peduli. Yang penting ia sampai ke kantor dalam waktu cepat, mencegah kejadian itu.
Menempuh 10 menit untuk tiba dikantor Arhan. Tak lama, ia memarkirkan mobilnya dikantor pusat milik arhan yang sedang dikembangkan—dari yang semula 60 lantai menjadi 170 lantai.
Ternyata ucapan Revan tentang kedatangan tamu bukan kebohongan semata. Benar saja, parkiran dipenuhi deretan mobil mewah. bahkan pesawat, jet dan helikopter pribadi juga ikut berderet—jumlahnya banyak, memenuhi hingga ke pelataran kantor.
'luas banget kantor dia, setara 2-3x lipat dari kantor gue.' batin lucky.
Semua orang didampingi Aspri (asisten pribadi) masing-masing.
Lucky berjalan tegak dengan langkah tergesa-gesa namun tetap harus berwibawa dihadapan orang-orang elite dari berbagai kalangan—mulai dari, pejabat, tokoh penting, diplomat, pengusaha papan atas, dan banyak lagi. Mereka semua sangatlah terpandang.
Melihat kedatangan lucky, beberapa pegawai langsung menunduk, memberi hormat. Sekumpulan tokoh-tokoh penting dari berbagai negara melemparkan senyum ramah, sebagian mengganguk pelan, menyapanya. Lucky hanya mengganguk dingin dan terus meneruskan langkahnya tanpa peduli tatapan dan bisikan mereka semua.
terutama kaum hawa dari semua kalangan yang turut hadir disana, tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Sesampainya dilantai 60, lucky mengambil napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.
"Siapa?" Teriak seseorang dari dalam.
"Lucky!" Sahutnya kencang.
"Masuk!"
Ceklek!
Pintu terbuka. Lucky melangkah dengan sangat gagah, menenteng laptopnya. Pandangannya langsung menyapu seisi ruangan, mencari-cari Bella.
Ia berjalan menuju meja adiknya. Lucky menaik turunkan alis. Matanya mengerling, seolah bertanya 'mana dia'
"Noh bang Bellanya yang putih!" Celetuk Revan menunjuk Bella yang mengenakan pakaian berwarna putih. Disampingnya, Sabrina mengenakan pakaian berwarna biru muda, tampak anggun.
"Kagak usah gitu bego! jadi keciri kan nyariinya!" Dengus lucky menabok pelan pipi adiknya, lalu beralih menatap Bella, mengulas senyum canggung. "Bella maaf ya. Adek saya emang gitu. Sering ceplas-ceplos, bikin malu."
Bella tak menjawab, ia membuang pandangannya ke segala arah. Disebelahnya, Sabrina terus menggoda sang kakak. Bella memelototinya, kesal terus digoda-godain dan dicocok-cocokin sama laki-laki kurang ajar itu. Tentunya Bella masih dendam.
"Apa yang ingin kau sampaikan Leon?" Tanya lucky formal, satu tangannya menyangga permukaan meja, jari telunjuknya mengetuk pelan meja Revan, menantikan penjelasan.
"Jadi gini Luk....." Leon menyampaikan tujuannya secara ringkas.
"Tama? Tama siapa? Gue gak kenal dia, dan gue harus cari informasi tentang dia gitu? Buat apa?" Tanya lucky setelahnya.
"Ini penting bang. Lu bisa kan?" Tanya Revan dengan wajah memohon.
"Gak bisa!" Kata lucky cepat.
Bella menghela nafas panjang, "mas lucky, tolong bantu adik saya kali ini saja mas. Soalnya akses pencarian informasi diputusin entah sama siapa. Jadi kita tidak bisa mencari informasi tentangnya." Ucapnya lembut, berharap lucky luluh. Dalam hati ia bergidik jijik memanggil lucky dengan sebutan 'mas'. Terlebih melembutkan nada suaranya pada sosok laki-laki brengsek itu.
Lucky mengulas senyum. Hatinya sejuk dan luluh. Tanpa keberatan, ia menyetujui permintaan Bella.
"Giliran Ama Bella aja langsung mau! Giliran Ama gue cekcok dulu!" Gerutu Revan sengit.
Mendengar gerutuannya, Leon dan Sabrina terkekeh kecil. sementara itu, wajah lucky memerah tampak canggung, berbeda dengan Bella yang terlihat cuek bebek tak peduli.
"Gimana Luk? Bisa gak?" Tanya Leon beralih.
"Gue gak bisa nyari informasinya. Maklum masih baru-baru." Jawab lucky jujur, melirik Bella sekilas, curi-curi pandang. Meski Bella tak menatapnya sedikitpun.
Mungkin masih marah. Pikir lucky dihantui rasa bersalah.
"Sini Luk! Biar gue yang ituin aja!" Kata Leon menyentak kesadaran lucky.
Tanpa merespon, segera lucky berjalan. Ia mengambil kursi dan duduk disamping Leon. Laptopnya diberikan. Leon mengambil dan mulai bekerja. Merasakan ada seseorang dibelakangnya.
Reflek lucky menengok. Bella, dia sedang berdiri bersama Sabrina disebelahnya, dan juga Revan yang memegang kursi yang didudukinya. Mata mereka fokus memerhatikan layar laptop yang tengah diotak-atik oleh Leon.
'dia cuek! Gak mau lirik! Dasar cewek sombong!' batin lucky kesal. Mengalihkan pandangannya ke depan.
Lucky menyimak dengan seksama apa yang dilakukan Leon. Pria itu meminta foto Tama, Sabrina memberikan. Leon melakukan pencaharian menggunakan akses khusus dari perusahaan lucky.
"Ini wajah dia? Hah? Sangar amat tampang gangster gitu! Keren, keren. Perawakannya impian gue banget!" Ujar lucky disela-sela memperhatikan.
"Kalau tampang lu kek gitu, yang ada, Bella gak bakalan tertarik lagi sama lu bang! Mungkin dijauhi seumur hidup" Celetuk Revan.
"Apa sih lu! Bahasannya itu Mulu!" Kesal Lucky, malu sendiri. Emang benar, perawakannya yang setampan ini saja tak cukup menarik perhatian Bella. Gimana kalau berubah? Pasti Bella akan menjauh, bahkan semakin membencinya.
"Sttt! Jangan berisik!" Tegur Leon. Mereka terdiam.
Mengamati kembali.
Namun hasilnya nihil—tak ada data tentang Tama. Bahkan database yang biasa membuat detail paling kecil pun... Hampa, kosong.
"Sekelas perusahaan gue nggak bisa cari informasi tentang dia? Ini Gak masuk akal, bener-bener nggak masuk akal!" Ucap lucky menggeleng dengan bibir terbuka, tak percaya.