NovelToon NovelToon
AKU PUN BERHAK BAHAGIA

AKU PUN BERHAK BAHAGIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: sicuit

Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pekerjaan.

Malam itu, semua berjalan dengan cara masing - masing.

Ibu, yang tak bisa memejamkan mata. Turun dari tempat tidur, berjalan ke luar dan duduk di kursi. Jaka sudah tak ada di situ.

Tadi setelah menghabiskan air matanya, dia masuk ke kamar. Entah untuk tidur, atau melanjutkan rasanya.

Malam semakin larut. Tak ada tanda - tanda Yunis akan pulang.

Ibu memandang jauh ke luar jendela. Kendaraan masih ada saja yang lalu lalang. Lampu - lampu jalan terang menerangi malam. Tapi tak bisa menerangi hati Ibu yang suram.

Terdengar suara sandal dari kamar Jaka. Ibu menengok ke samping. Jaka dan kruknya sudah ada di depan pintu kamar.

Mereka diam, tak tahu apa yang harus dibicarakan dengan situasi hati yang seperti ini.

Jaka melangkah mendekat, dan duduk di sebelah Ibu. Ibu membelai punggung anaknya. Terasa tulang - tulang bertonjolan di sana.

"Kowe kudu kuat ya, Le. Gimana pun " hidup " membanting atau memporak porandakan awakmu. Kowe kudu kuat. Di luar sana, dunia masih luas, banyak hal yang masih harus kamu tau, dan kamu rasa, jangan berhenti pada putus asa di sini," nasehat Ibu, berusaha menguatkan hati anaknya.

Jaka mengangguk. Menghapus air matanya sekali lagi, dan menggenggam erat tangan Ibu.

"Kemana Yunis, Bu?" tanya Jaka, suaranya parau.

"Ibu juga ndak tau, dia keluar begitu saja,"

"Maafkan Jaka ya, Bu. Seandainya Jaka dengar kata Ibu, ndak mungkin jadi begini,"

Ibu mengangguk sambil terus membelai anaknya.

"Semua itu ono jalane dewe to Le, mungkin memang kamu harus lewat jalan ini, untuk kamu bisa ke tempat yang lebih baik," ibu membesarkan hati Jaka.

"Iya, Bu,"

Tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara deru halus di depan rumah. Suara pintu mobil yang terbuka dan tertutup lagi.

Jaka berdiri untuk melihat, tapi Ibu yang tahu hal itu memegang tangan Jaka untuk tidak melanjutkan langkahnya. Tak tega melihat luka yang akan semakin melebar di hati anaknya.

Brmmmm ... brrrmmm ....

Terdengar suara mobil itu menjauh, setelah itu ...

Jeklek ... jeklek ...

Tapi pintu belum juga terbuka. Jaka meraih handle pintu, Yunis tersenyum.

"Oohh ... ternyata kau sudah sadar ya, baguslah," katanya sambil melewati Jaka begitu saja.

Tak ada kata salam, Yunis langsung menuju kamar dan merebahkan diri. 

Bau alkohol membuat Ibu dan Jaka tahu dari mana Yunis pergi.

Jaka menyusul ke kamar. Dilihatnya Yunis di tempat tidur, tanpa berganti pakaian, tanpa melepas sepatu.

Perlahan Jaka mendekat. Duduk di sisi tempat tidur, dan membetulkan posisi tidur, dan melepas sepatunya.

Menyentuh Yunis selalu membuat palu gada miliknya memberontak untuk beraksi. Tapi tidak kali ini.

Jaka hanya mencium kening Yunis, dengan segenap cinta, matanya basah.

Ketika hendak menyelimuti tubuh molek itu, Jaka melihat guratan merah di leher Yunis. Dia terpaku, lidahnya keluh. Tatapan matanya nanar, bibirnya bergetar.

Tangannya memukul dada kerempeng itu beberapa kali. Dan melangkah keluar.

"Laki - laki siapa juga yang tak akan tergoda untuk mencicipnya, dengan dua bukit besar yang menantang, dengan tubuh molek dan bibir yang menggemaskan itu. Seharusnya itu milikku," keluh Jaka.

Jaka memukul dadanya yang tiba - tiba menjadi sesak.

Langkahnya terhuyung, tapi dengan cepat, Ibu memegang Jaka. Sehingga tak sampai terjatuh.

"Sing sabar yo, Le ... kowe kudu kuat ... kudu bisa sehat lagi. Ndak boleh patah di sini, jalanmu masih panjang," kata Ibu lagi.

Alam bawah sadar sudah mulai beraksi. Perutnya menjadi mual, kepalanya terasa berdenyut.

Jaka menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dia tak mau menyerah pada saraf yang terganggu. Seperti melihat film di layar lebar, semuanya bergerak tapi tanpa suara.

Ibu tetap memegang Jaka dengan kuat, mengajaknya untuk duduk kembali. 

Napasnya memburu, naik turun tak beraturan.

" Aaaaaagghh ... huaaaa ....!"

Jaka menangis keras - keras, melampiaskan semuanya, lagi, lagi, dan lagi.

Ibu memeluk tubuh kurus itu dengan kasih sayang. Tak urung, air matanya pun deras mengalir. 

Bulan mengintip dari sela - sela kelambu yang terbuka. Diam. Menyimpan luka mereka dalam gelap malam.

      #########

Matahari belum juga menampakkan diri, tapi Jaka sudah ada di teras. Duduk menghadap langit, memandang jauh ke atas.

Tekadnya sudah bulat, apa pun itu, bagaimana pun itu, dia harus bisa menghadapinya. Meskipun tak munafik untuk merasa hancur. Tapi hidup harus tetap berlanjut. Demi Ibu, demi dirinya sendiri.

Untuk itu Jaka merasa tidak boleh diam saja, tak boleh untuk cengeng. Memulai hari ini dengan hidup baru.

Jaka mulai latihan untuk berdiri. Meskipun berkali - kali jatuh, tapi Jaka berusaha untuk terus bisa berdiri lagi. Keringatnya membasahi badan di hari yang masih dingin.

Mendengar suara benda jatuh, Ibu keluar dari kamar. Dia berjalan ke depan, membuka pintu, yang ternyata sudah tak terkunci.

Dilihatnya Jaka duduk di lantai dengan keringat membasahi wajahnya. Ibu bergegas mendekat.

"Aadduuhh ... kenapa kau, Le? tanya Ibu cemas.

Ibu hendak menolong Jaka, tapi Jaka menepis pelan tangan Ibu.

"Jaka harus bisa jalan lagi, Bu. Jaka harus banyak latihan, ndak apa Bu, Jaka akan berusaha sendiri. Ibu jangan kuatir," kata Jaka dengan nafas ngos - ngosan.

"Iya tapi ...."

Belum selesa Ibu bicara, Jaka sudah memotongnya,

"Ndak apa Bu, Jaka bisa, harus bisa, dan pasti bisa."

Ibu diam, dia mengangguk.

"Iya wes, tapi jangan terlalu dipaksa ya, ndak baik juga. Berlatihlah sesuai kemampuan. Kalo cape istirahat dulu, setelah itu bisa dilanjut lagi," kata Ibu.

Jaka mengangguk. Dan Ibu meninggalkan Jaka sendirian lagi.

Melangkah ke dapur, untuk membuatkan teh hangat dan sarapan.

Pagi itu mereka hanya sarapan berdua, Yunis masih belum bangun. Dan tak ada yang ingin membangunkannya.

"Bu, Jaka mau keluar sebentar ya, Jaka mau cari kerja lagi," kata Jaka.

"Tapi Le, apakah kamu sudah benar - benar bisa?"tanya Ibu khawatir.

"Iya harus bisa Bu, Jaka akan tetap berusaha," kata Jaka menguatkan hati Ibu, supaya tak khawatir lagi.

"Iya wes, ati - ati di jalan, kali ini mau kemana, apa perlu Ibu temani ta?"

"Ndak usah Bu, Jaka mau ke tempat Pak Yusup, "

"Iya wes, ati - ati ya Le, kalo badan rasa ndak enak cepat pulang ya, jangan seperti waktu itu," pesan Ibu.

"Iya, Bu. Jaka pamit ya,"

Ibu mengangguk.

Berjalan di pagi yang masih sejuk, dengan sinar matahari yang masih ramah, membuat semangat Jaka berseri juga.

Dengan kruk, langkah Jaka masih tertatih, tapi niatnya semakin mantap. Mengantar Jaka sampai di rumah Pak Yusup. Dia seorang pengusaha krupuk.

Halaman berumput hijau itu tertata rapi. Dengan pot  - pot bunga di sekelilingnya.

Jaka melangkah melewati jalan setapak yang ada di sana.

Tok ... tok ... tok..

"Permisi ... permisi ...."

"Iya, sapa ya?" tanya seseorang dari dalam.

"Jaka, Pak."

Pintu di buka, seorang laki - laki tengah baya, dengan kumis tipis dan memakai songkok, menyambut Jaka.

"Oh, Nak Jaka, mari masuk, Nak,"

ajaknya masuk, sambil mempersilahkan Jaka untuk duduk.

"Ada perlu apa ya, Nak Jaka datang kemari?"

"Maaf sebelumnya Pak, saya mau nanya kerjaan, kalau mungkin ada yang bisa saya kerjakan."

"Oohh gitu ya ... kerjaan ... kerjaan ... sebentar,  kalau misalnya Nak Jaka nata - nata kerupuk untuk dijemur gitu bisa ta, soalnya karyawan saya berhenti, pulang kampung,"

tanya Pak Yusup sedikit ragu melihat kondisi Jaka.

"Biss ... a ... bisa, Pak" saking senangnya, Jaka sampai tergagap menjawab pertanyaan Pak Yusup.

"Nak Jaka, ndak usah jalan kesana kemari, karena setelah dikukus akan ada karyawan yang memotong, nah ... potongan - potongan itu nanti yang akan diantar ke tempat Nak Jaka, jadi Nak Jaka tinggal tata saja di atas tempat penjemuran," jelas Pak Yusup panjang lebar.

"Iya saya siap, Pak!" jawab Jaka mantap. Matanya berbinar - binar menatap Pak Yusup.

"Tapi ... kerja di sini, saya ndak bisa beri banyak untuk bayarannya, gimana?" tanyanya sedikit murung.

"Ndak apa Pak, yang penting saya diijinkan kerja," jawab Jaka.

"Baik, kapan Nak Jaka siap kerja?"

" Kalo diijinkan, hari ini saya juga sudah siap, Pak," jawab Jaka sambil tersenyum mantap.

"Baiklah, mari saya antar, haa.. kebetulan sekali, padahal saya sudah khawatir, kalo ndak ada yang ganti, pasti orang belakang akan keteter kerjaannya," kata Pak Yusup sambil berdiri.

Jaka dan Pak Yusup, berjalan beriringan menuju tempat produksi.

Pak Yusup mengenalkan pada beberapa karyawan di sana, Jaka mengangguk memberi salam.

"Haha .. untung ya Pak, ono sing ngganti, coba kalo ndak ... pedot boyok, Pak," kata salah seorang karyawan di sana sambil tertawa.

Jaka tersenyum, matanya basah. Benar - benar Allah tak tidur, Allah membuka jalan untuk orang yang berusaha.

Dengan menyebut asma Allah, Jaka memulai pekerjaannya.

      #########

"Bu ... Bu .... permisi ... Bu !"

Terdengar suara orang memanggil di depan rumah.

Tergopoh - gopoh Ibu keluar dari dapur,

Matanya membesar, dan mulut Ibu terkatup tiba - tiba, ketika melihat siapa tamunya.

1
nightdream19
Bagus Thor. kisahnya buat aku juga jadi kebayang sama kejadian tadi. lanjut Thor.. /Smile/
nightdream19: ok. siap lanjutkan baca
sicuit: terima kasih kakak .. ikuti kelanjutan kisahnya ya.. 😊
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!