Amezza adalah seorang pelukis muda yang terkenal. Karakternya yang pendiam, membuatnya ia menjadi sosok gadis yang sangat sulit ditaklukan oleh pria manapun. Sampai datanglah seorang pria tampan, yang Dnegan caranya membuat Amezza jatuh cinta padanya. Amezza tak tahu, kalau pria itu penuh misteri, yang menyimpan dendam dan luka dari masa lalu yang tak selesai. Akankah Amezza terluka ataukah justru dia yang akan melukai pria itu? Inilah misteri cinta Amezza. Yang penuh intrik, air mata tapi juga sarat akan makna arti cinta dan pengampunan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jujur
Acara terus berlanjut namun Amezza sudah tak tahan berada di ruangan ini. Evradt juga seakan tak menyadari keberadaan Amezza di sana karena ia terlihat begitu sibuk dengan gadis yang dikatakan Erland sebagai tunangannya.
"Kita dansa yuk!" ajak Erland.
"Eh...., aku mau kembali saja ke kamarku."
"Kita dansa sebentar saja." Erland Thomson langsung menarik tangan Amezza membuat gadis itu tak bisa menolak lagi. Keduanya langsung bergabung dengan pasangan lain yang sedang berdansa, termasuk juga kedua orang tua Erland.
"Sayang, aku lihat mata Erland berbinar saat menatap Amezza. Aku tak pernah melihatnya menatap gadis lain seperti itu." ujar Faith saat berdansa bersama suaminya.
"Masa sih? Erland itu kan banyak pacarnya. Pasti semua gadis ditatapnya seperti itu." kata Ezekiel sambil ikut melirik ke arah putranya yang sedang berdansa.
"Sayang, coba kamu ingat, mana pernah Erland berdansa dengan orang lain dalam suatu acara? Dia itu hanya mau berdansa dengan aku, mamanya." Faith berusaha menyakinkan suaminya bahwa apa yang dikatakannya adalah suatu kebenaran.
"Bagus dong kalau Erland akhirnya menemukan cinta sejati."
"Aku takut kalau gadis itu justru tak mencintainya."
"Kita kan sudah sepakat, sayang. Tak akan mencampuri urusan percintaan anak-anak kita." Ezekiel membawa istrinya menjauh dari pasangan Erland dan Amezza.
Sementara itu Amezza melihat ke arah Evradt. Pada saat yang sama Evradt juga melihat ke arahnya. Lelaki itu nampak terkejut, berusaha untuk mengenali wanita yang sedang berdansa dengan salah satu lelaki yang banyak diincar para gadis di kota ini.
Amezza membuang mukanya karena gadis yang bersama Evradt itu nampak sering mengalihkan perhatian Evradt yang sedang menatapnya.
"Erland, bolehkah aku kembali ke kamarku? Aku merasa capek dan ingin istirahat."
Erland tersenyum. "Tentu saja, cantik."
"Aku pamit ke orang tuamu, ya." Amezza segera mendekati tuan dan nyonya Thomson. Gadis itu pamit untuk kembali ke kamarnya.
"Nak, kamu adalah tamu istimewa di hotel kami." ujar Faith sebelum Amezza pergi. Erland nampak mengikuti Amezza dari belakang dan Evradt juga terus mengawasi Amezza.
"Pakaian dan tas yang kamu pakai tadi, sudah diantar pelayan hotel ke kamarmu." kata Erland.
"Terima kasih. Bagaimana dengan gaun, sepatu dan tas ini?"
"Semuanya aku berikan padamu."
"Apa?" Amezza terkejut. "Aku akan mengembalikannya setelah dicuci."
Erland menggeleng. "Tidak perlu. Anggaplah sebagai tanda terima kasih ku karena kamu mau datang ke acara orang tuaku. Mamaku itu sangat senang kalau bertemu dengan orang-orang yang punya darah Indonesia. Makanya kami sekeluarga tahu bahasa Indonesia."
Lift tiba di lantai 7, tempat kamar Amezza berada. Di depan kamar 7012, Amezza berhenti.
"Terima kasih untuk semuanya." ujar Amezza lalu menjabat tangan Erland.
"Terima kasih juga. Sampai jumpa besok ya?"
Amezza menempelkan kartu ke sensor pintu, lalu pintu itu terbuka. Ia pun segera masuk dan menutupnya kembali begitu Erland segera masuk ke dalam lift.
Saat Amezza memasuki kamarnya, pikirannya langsung tertuju pada Evradt. Hati Amezza menjadi sedih dan dia mau mati rasanya.
Gadis itu membuka ponselnya dan ia menemukan panggilan tak terjawab dari Evradt dengan sebuah pesan.
Kamu menginap di mana, sayang? Kalau di hotel ini nomor berapa kamarnya?
Amezza melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia tak mau membalas pesan itu. Amezza merasa kalau Evradt sudah membohonginya selamanya ini. Gadis itu dengan cepat membuka sepatu dan gaun yang dipakainya. Ia kemudian ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya dari sisa make up yang ada. Selesai itu, Amezza menggunakan piyamanya lalu langsung naik ke atas tempat tidur.
Amezza kembali mengambil ponselnya. Nampak ada dua panggilan dari Evradt dan sebuah pesan lagi.
Sayang, teleponnya tak diangkat? Kamu marah padaku ya? Jangan salah mengerti dengan apa yang kamu lihat tadi.
Amezza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia rasanya ingin berteriak. Selama kurang lebih 1 jam Amezza merenung. Ada rasa penyesalan dalam hatinya karena terlalu cepat menikah dengan Evradt.
Ada ketukan di pintu kamarnya. Amezza pun membukanya. Ternyata ada Evradt yang berdiri di sana. Lelaki itu sudah membuka jas dan dasinya, ia hanya menggunakan kemeja putih dan celana hitam.
Amezza akan menutup pintunya kembali namun Evradtr menahannya. Lelaki itu dengan cepat mendorong pintu sampai terbuka. Ia kemudian membantingnya dengan keras.
"Mengapa kamu bisa ada di pesta keluarga Thomson?" tanya Evradt lalu menahan tangan Amezza. Namun Amezza justru dengan cepat menarik tangannya. Ia melangkah lalu duduk di atas sofa panjang yang ada di kamar itu.
"Amezza, jawab pertanyaan ku." Evradt terlihat kesal.
"Aku baru saja mengenal tuan Erland. Dan perempuan yang bersamamu itu adalah tunangan mu kan?"
"Mantan." ralat Evradt.
Amezza tersenyum kecut. "Mantan? Mantan saja sudah sedekat itu. Semesra itu. Apalagi jika memang sebagai pacar. Aku tak percaya." Amezza menatap Evradt dengan tajam.
"Ame sayang ...!" Evradt ikut duduk. "Lihat aku, sayang."
Amezza justru menjauh. "Aku tak suka dibohongi. Bagiku, kejujuran itu sangat penting. Pantas saja ponselmu selama beberapa hari ini tak bisa dihubungi."
"Sayang, ponsel aku hilang waktu tiba di London. Untungnya ditemukan kembali di salah satu got dekat bandara setelah aku melacak siganlanya. Sepertinya si pencuri membuangnya karena tak bisa membuka kata sandinya. Butuh waktu beberapa lama untuk mengembalikan semua data yang aku simpan di dalamnya ke ponsel baru. Nanti tadi sore baru datanya berhasil di pulihkan." Evradt kembali menyentuh tangan Amezza. Kali ini Amezza diam saja.
"Sayang, jangan seperti ini dong. Kalau kamu tak percaya, aku akan telepon Gaby dan memintanya ke sini."
"Apa urusan ku dengannya? Aku tak mau bertemu dengannya." kata Amezza. Ia kemudian berdiri. "Pergilah! Aku mau tidur." katanya lalu segera melangkah ke arah ranjang.
"Aku suamimu, Ame."
Langkah Amezza terhenti. "Dan kamu juga tunangan orang lain."
"Aku telepon Gaby sekarang." Evradt nampak kesal lalu segera menghubungi Gaby.
"Gaby, kamu boleh tidak datang ke kamar 7012. Kamu masih di hotel ini kan? Please, istriku salah mengerti." ujar Evradt membuat Amezza menatapnya dengan kesal.
"Kenapa kamu mengundang orang lain untuk datang ke kamarku?"
"Karena kamu tak mau percaya dengan ku." ujar Evradt. Nampak lelaki itu berusaha menahan emosinya.
Amezza dengan wajah cemberut langsung naik ke atas ranjang. Ia menarik selimut untuk menutupi badannya sebelum membaringkan tubuhnya. Amezza membelakangi Evradt.
Lelaki itu nampak menggelengkan kepalanya. "Kamu sungguh kekanak-kanakan."
Amezza tak menjawab. Ia memang tak percaya dengan apa yang Evradt katakan.
Pintu kembali diketuk dan Evradt segera membukanya. Gadis yang tadi bersamanya segera masuk.
"Sayang, ini Gaby sudah tiba." kata Evradt. Amezza justru menutupi kepalanya dengan selimut.
Gaby menatap Evradt dan lelaki itu justru mengangguk.
"Nyonya Floquet, perkenalkan aku Gaby. Aku memang dulu adalah tunangannya Evradt namun kami sudah berpisah 7 bulan yang lalu. Aku meminta datang bersama di acara Wedding anniversary kelurga Thomson. Memang belum banyak orang yang tahu kalau kami sudah putus. Maaf kalau sudah membuatmu cemburu." Gaby menatap Evradt. "Aku pergi dulu ya?"
Evradt mengantarkan Gaby sampai di depan pintu kamar. Setelah itu ia kembali menemui istrinya. Nampak Amezza sudah duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
"Sayang ...." Evradt duduk di tepi ranjang. "Sudah ku katakan kalau kami tak punya hubungan apa-apa."
Amezza menggeleng. "Sulit bagiku untuk percaya."
"Lalu aku harus bagaimana?" Evradt dengan kesal menghentikan kakinya.
"Tinggalkan kamar ini."
"Apa?" Evradt terkejut.
"Aku mengantuk."
Evradt mengepalkan tangannya. Ia kemudian menatap Amezza. "Aku kan sudah bilang, yang penting itu adalah kejujuran. Tapi kalau kamu memang tak percaya aku, ok. Aku pergi!" pamit Evradt dan langsung meninggalkan kamar Amezza. Tangis Amezza langsung pecah.
Apakah salah jika ia mengusir Evrath?
Menurut kalian ?