Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Gawai Sabrina yang berada dalam tasnya sejak tadi bergetar. Nama yang tertera dilayar itu, sukses membuat jiwa Sabrina remuk kembali. Rangga suaminya, seakan tidak pernah sekalipun membiarkannya hidup tenang. Sehari, pria itu bisa 10 kali lebih menelfonnya.
Tidak hanya itu. Rangga juga megirim pesan maaf, atas kesalahan yang ia buat dulunya.
Namun, semuanya telah mengkarat, sesuai pertahanan Sabrina.
Begitu sampai rumah, ia terhenyak, kala melihat motor Haikal sudah terpakir didalam garasi. Sabrina yang tidak bercerita sebelumnya, kini tampak bingung, apa yang harus ia ucapkan pada sang putra.
"Loh, Mamah? Mamah dari mana kok rapi banget?" Haikal tampak memicingkan mata, setelah ibunya berhasil masuk.
"Sini, coba duduk dulu! Ada yang ingin Mamah bicarakan," ajak Sabrina.
Sabrina menepuk-nepuk tangan putranya. Tatapanya sendu, mengerjab pelan. "Haikal ... Mamah mulai besok akan bekerja kembali! Dengan tabungan yang kita miliki ... Setidaknya ada biaya untuk masa depan kamu! Mamah kerja, untuk biaya hidup kita! Maaf jika terkesan mendadak. Tapi, Mamah juga harus mengurus gugatan perceraian Mamah nantinya. Dan semua itu membutuhkan biaya!" jabar Sabrina dengan lembut.
Haikal tertunduk sendu. Kasian ibunya, kini harus bekerja seorang diri.
"Mah, nanti kalau Haikal lulus ... Haikal langsung kera aja, ya? Biar bisa bantuin Mamah!" kalimat Haikal sukses membuat hati Brina mencoles.
Ia merengkuh pundak Haikal, hingga tak mampu lagi membendung air matanya. "Kamu harus kuliah, Haikal! Belajarlah yang tekun!" tekan Sabrina. Lalu ia mencoba mengalihkan ucapanya.
"Oh ya ... Kok tumben jam 2 sudah pulang?" imbuh Sabrina memicing.
"Iya Mah. Haikal nggak ikut basket, karena mau cari kado buat ulang tahun temen Haikal!" Saat mengatakan itu, seketika wajah Haikal bersemu merah.
Sabrina sudah tahu, jika putranya itu sedang kasmaran. "Boleh kok berteman dengan lawan jenis. Asal, kamu harus tahu batasannya! Ingat cita-cita kamu dulu!"
Haikal terkekeh. Tidak disangka, walaupun tanpa sang Ayah, mereka berdua masih dapat tertawa lepas.
*
*
*
Dan ternyata, kepergian Tuan Pambudi siang tadi, itu semua demi kelancaran pesta ulang tahun putri semata wayangnya. Irene juga tidak menyangka, rupanya sang Ayah sudah menyiapkan semua itu, dan juga mengundang teman satu kelasnya.
Pesta ulang tahun diadakan di halaman rumah Irene, yang terdapat hamparan taman sangat luas.
Irene sudah mengenakan gaun terbaiknya. Tidak lupa rambutnya yang sudah ia pita dibagian belakang, dengan make up tipis yang teraplikasi diwajahnya.
Taman depan itu sudah terhias dengan beberapa lampu indah, lilin-lilin berjejeran rapi diatas meja. Balon-balon juga tak lupa menghiasai tempat itu.
Beberapa anak sudah ada yang datang, memberi kado serta mengucapkan selamat untuk Irene. Meskipun terkenal agak sombong, dan suka menindas, Irene aslinya tidak sejahat itu. Apa yang dilakukannya dulu, itu semata-mata hanya untuk menarik pertahian teman-temannya, terutama sang kekasih-Haikal.
Dua pria tampan yang dikenal dengan sebutan H2 One itu, kini juga masuk kedalam. Haikal tidak membawa mobil, ia ikut satu mobil bersama Haris.
Irene sudah berlagak manis, begitu melihat kekasihnya berjalan menuju tempatnya, sambil menenteng satu paperbag bewarna merah hati.
Smenetara Haris ... Ia yang melihat sikap genit Irene, rasanya pingin muntah, hingga terpaksa memalingkan wjajah, sedikit mendongak.
"Selamat ulang tahun, Irene! Aku sudah menyimpan doa yang indah buat kamu! Ini ada kado, semoga kamu suka." Haikal tersenyum sambil memberikan paperbag tadi.
"Astaga ... Drama macam apa ini?!" Haris masih saja enggan menatap kedua orang didepannya, dengan masih mendongak menatap hamparan langit diatas.
Plak!
Haris memegang lenganya, karena baru saja mendapat tabokan dari tangan Irene. "Sirik! Makanya cari pacar! Mana kado gue!" pekik Irene melirik sinis.
"Nih ... Galak banget! Dah, gue mau gabung sama anak-anak! Gila lama-lama gue disini," Haris menepuk pelan bahu Haikal, lalu segera melenggang dari sana.
"Sana lu pergi jauh! Lagian, ganggu aja!" cibir Irene.
Melihat itu, Haikal hanya dapat menggelengkan kepala lemah, tersenyum tipis. Sahabat dan kekasihnya itu tidak pernah akur. Namun begitu, Irene dan Haris sama-sama menjadi orang terpenting dalam hidupnya.
Sebuah mobil berhenti didepan gerbang yang sudah terbuka. Mika turun dari pintu samping, juga sama menenteng sabuah paperbag berisi kado. "Pah ... Aku masuk dulu ya! Nanti nggak usah jemput, karena Mika mau bareng sama teman Mika!"
"Hati-hati, Sayang! Papah pulang dulu." Rangga kembali melajukan mobilnya.
Haris yang duduk bersama anak-anak di gazebo, sambil memainkan gitar, tidak sengaja menatap kearah gerbang. "Itu kaya mobilnya Om Rangga? Iya nggak sih?" lirihnya. Dengan cepat, ia meletakan gitatnya, dan langsung berjalan cepat kearah gerbang.
Mobil hitam tadi sudah melenggang jauh, hingga hanya sorot lampu belakangnya saja yang terlihat.
Mika yang belum masuk, kini mengernyit kala melihat temannya itu mengedarkan pandang kearah jalan, dengan wajah datar.
"Ris ... Kamu cari siapa?" suara Mika kini, mampu menyadarkan fokus Haris.
"Nggak, nggak papa!" sanggahnya, "Oh ya ... Kamu kesini dianter siapa?" Haris merasa semakin bingung, karena temannya itu sudah berdiri, dan tidak ada motor, atupun mobil yang mengantarkan.
"Tadi aku diantarkan Papah! Oh ya Ris ... ini sapu tangamu. Aku sudah cuci kok!" Mika menyodorkan sapu itu.
Haris belum menerimanya. Ia mematung menatap sapu tanganya kini. "Simpan saja! Aku bukan tipe orang yang mau dengan bekas orang lain, meski sudah kamu cuci sekalipun!"
"Tapi, bukanya aku sudah memakai bekas ingusmu juga?" Mika merasa geram, melayangkan tatapan protes.
Namun karena Haris adalah manusia kutub. Ia hanya mengendikan bahu acuh, dan langsung berbalik langkah.
Brugh!
"Aw ...." pekik Mika, yang saat ini sudah tersungkur diatas lantai paving, tepat berada dibelakang Haris.
"Duh, sory Mika! Tadi aku nggak sengaja," gadis tadi hanya menatap Mika, dan tidak ada niat untuk membantu. Ia langsung berjalan masuk begitu saja bersama teman-temannya.
Haris yang sudah berjalan agak jauh, spontan menoleh belakang. Wajahnya cemas, namun perlahan ia normalkan kembali menjadi datar.
"Ayo bangun!" Haris megulurkan satu tangannya sedikit menunduk.
Mika menerima tangan itu, dan perlahan bangkit. Dibawah lututnya terdapat goresan luka, hingga membuat darah mengalir kebawah.
"Ayo, aku bantu masuk kedalam!"
Mika mengangguk, berjalan agak pincang, karena kakinya memang agak perih.
"Irene ... Selamat ulang tahun ya! Ini kado untukmu," Mika menyodorkan kado yang ia bawa. Sambil meringis menahan sakit.
"Thanks Mika! Bay the way ... Kenapa itu kakimu?!" Irene dan juga Haikal juga tersentak, saat melihat darah dikaki Mika.
"Jatuh! Sudah, ayo duduk sana!" sahut Haris yang langsung menarik lengan Mika dari sana.
Semua anak berbisik, menatap tidak percaya dengan sikap Haris saat ini. Tidak hanya Irene ... Haikal juga sama, menatap kaget dengan sikap peduli Haris terhadap Mika.
"Mika ... Kamu nggak papa?" seorang pria muda datang menghampiri Mika, sambil menaikan kacamatanya. Ia adalah Dio, murid yang terkenal dengan sebutan kutu buku.
Haris yang baru saja tiba dari mengambilkan Mika minum, kini melirik bengis pada Dio. "Pertanyaanmu tidak akan menyembuhkan lukanya!" suara Haris begitu dingin.
"Eca ... Bilang sama Irene, suruh ngambilkan kotak obat!" Haris kini beralih menatap Eca yang sejak tadi menatap kearahnya dengan tatapan protes.
Dengan menghentakan kaki merasa geram, Eca langsung memberitahu Irene. 'Awas saja si Mika kalau merebuat Haris dari gue!' gerutunya.
Begitu obat datang, Haris langsung saja berismpuh dengan melipat satu kakinya diatas lantai. Ia memgelap darah tadi, dan langsung diberikan obat merah serta kapas, dan plester luka.
"Haris ... Kamu apa-apan sih?" suara Eca terdnegar nyaring, hingga membuat Haris menghentikan Aktivitasnya.
Pria tampan itu langsung bangkit, dan kembali merapikan kotak obat tadi. "Sepertinya Tuhan memberikan kamu mulut, namun tidak dengan fungsinya!" Acuh Haris.
"Haris, lihat aku-"
Belum sampai Eca meluapkan emosinya, seketika Tuan Pambudi bersama keluarga besarnya keluar. "Terimakasih anak-anak, sudah membantu saya untuk memeriahkan pesta Sweet Seventeennya Irene!"
Semua anak-anak itu berkumpul, karena Irene akan melakukan potong kue. Begitu selesai membantu Mika, Haris langsung melenggang begitu saja, dan lebih memilih kumpul bersama anak-anak.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼