NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:732
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16 BUKIT HIJAU

Pagi itu, matahari menggantung malas di langit yang jernih. Cahaya lembut menyelinap masuk melalui jendela tinggi Calligo, menari di dinding putih dan menyentuh pipi Zia yang tengah sibuk dengan ponselnya. Jemarinya menari cepat di atas layar, suara Ami terdengar kecil di ujung sana.

“Sepertinya aku tak bisa hari ini… mungkin besok,” ucap Zia pelan, suaranya hampir seperti gumam.

Ia melangkah ke dapur, membuka kulkas dengan gerakan santai. Suhu dingin menyambut wajahnya. Di antara barisan makanan yang tertata rapi, ia mengambil sebuah apel—satu yang tampak paling matang. Tangan satunya menutup pintu kulkas, dan dengan langkah ringan ia berjalan menuju perpustakaan—satu-satunya tempat di rumah ini yang terasa seperti miliknya sendiri.

Namun langkahnya terhenti.

“Siap?”

Suara itu dalam, datang dari arah tangga. Zia mendongak. Di sana, berdiri Viren—dengan sweater gelap dan celana kasual, tanpa setelan jas, tanpa kacamata yang selalu menjadi dinding antara dirinya dan dunia. Pria itu tampak... biasa. Nyaris manusiawi.

Zia buru-buru menutup panggilan teleponnya.

“Siapa itu, Ka Zia?” suara Ami masih menggema dari telepon yang belum sempat ditutup sempurna.

Zia menekannya cepat, lalu berbalik. “Siap? Kemana?” tanyanya, alisnya terangkat ringan.

“Keluar,” jawab Viren singkat, tak menambahkan satu pun penjelasan.

Zia memperhatikan postur pria itu. Tenang, seperti tak ada yang darurat. Namun dari matanya—seperti biasa—tak bisa ditebak. Ia menghela napas pendek. “Baiklah… tunggu sebentar.”

Ia tahu, ajakan Viren bukanlah ajakan biasa. Itu perintah yang dibungkus datar oleh nada santai.

Zia masuk ke kamarnya, berganti pakaian. Ia memilih celana hitam berbahan tebal dengan saku di kanan-kiri, kaos lengan pendek yang membalut tubuhnya, serta jaket tipis dan ransel di punggungnya. Kali ini ia tak ingin kecolongan lagi—ia belajar dari kejadian sebelumnya, saat pakaiannya menjadi hambatan saat berburu di luar.

Ketika ia muncul kembali, Jake—yang berdiri di dekat pintu utama—menatapnya sambil menahan senyum.

“Sepertinya sudah tahu kemana tujuan kita,” ucapnya setengah bercanda.

“Aku tak mau seperti kemarin. Kali ini, aku siap.” sahut Zia, menyerahkan ranselnya pada Jake sebelum melangkah ke dalam mobil.

Viren yang sudah duduk di samping jok penumpang menatap ransel itu dengan satu alis terangkat.

“Kau bawa isi rumah?”

Zia duduk, lalu menoleh dengan wajah polos. “Kenapa memangnya?”

“Kau membuat Jake kesulitan membawanya,” gumamnya dingin.

Zia melirik ke belakang, tempat Jake sedang menutup pintu bagasi. “Kau melebih-lebihkan.”

Jake duduk di balik kemudi. Mesin menyala, dan perlahan, mobil itu melaju meninggalkan halaman Calligo, membelah jalanan yang mulai padat oleh pagi.

Selama perjalanan, Zia memandangi jendela. Dunia di luar bergerak cepat—bangunan asing, pepohonan yang berbaris kaku, langit yang menggurat cerita. Ia merapatkan jaketnya, bukan karena dingin, tapi karena ada getaran aneh yang tak bisa ia uraikan.

Viren, di sampingnya, diam. Namun dari ekor matanya, ia sesekali mencuri pandang ke arah Zia. Rambut pria itu jatuh ke dahi, menyembunyikan sedikit ekspresi wajahnya yang biasanya bersih dan tertata. Tanpa kacamata, ia terlihat... lebih muda. Lebih nyata.

Zia menoleh padanya, matanya menelusuri lekuk wajah yang tak sering ia pandangi dari jarak sedekat ini.

“Sudah puas menatapku?” suara Viren mengiris diam, terdengar tajam namun tak mengusir.

Zia tersentak. “H-hm. Kau… terlihat lebih manusiawi,” gumamnya, setengah pada diri sendiri.

“Apa?”

Zia menggeleng cepat. “Tidak, tidak… aku tak bilang apa-apa.” Ia berpaling, menatap jendela untuk menyembunyikan rona hangat yang naik ke pipinya.

Viren menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Sebuah senyuman kecil, nyaris tak terlihat, melintas di wajahnya. Jake di depan hanya melirik lewat kaca spion, lalu kembali fokus.

Perjalanan berlangsung lima jam. Bukit hijau menyambut mereka di ujung jalan, tinggi menjulang dengan padang ilalang dan udara yang sejuk. Saat Jake memarkirkan mobil, Zia langsung menempelkan telapak tangannya ke kaca, matanya membelalak kagum.

Jake membuka pintu mobil.

Zia keluar, menghirup udara dalam-dalam, merentangkan tangan seperti anak kecil yang bebas dari kelas. Angin mengusap pipinya, meniup pelan helai-helai rambut yang dibiarkan jatuh di sisi wajahnya.

Viren menyodorkan ranselnya.Cukup berat untuk di bawa oleh badan Zia yang kecil. “Kau benar-benar membawa isi Calligo?”

Zia menerimanya dan langsung membenahi posisi tali di pundaknya. “Ini semua perlu saat berada di luar,” ucapnya, yakin.

“Jangan repotkan aku kalau kau kelelahan,” sahut Viren sambil melangkah.

“Aku tak akan,” Zia menyusulnya. “Tapi… mungkin aku akan berikan pada Jake.”

Jake terkekeh pelan. Di antara mereka bertiga, tak ada yang benar-benar saling terbuka. Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih ringan. Langkah mereka seirama. Dan untuk pertama kalinya—tanpa disadari—mereka tampak seperti keluarga kecil yang sedang berlibur dari dunia yang kejam.

Dan di antara langit yang biru dan tanah yang hijau, hati Zia perlahan bergetar. Bukan karena dingin, bukan pula karena letih, tapi karena pria di sampingnya... perlahan-lahan, mulai meruntuhkan tembok yang selama ini ia bangun sendiri.

Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak, membelah hijaunya semak dan ilalang yang melambai tertiup angin. Bukit itu tidak terjal—hanya undakan lembut yang seolah mengajak, bukan menantang. Tanahnya kering dan padat, dihiasi akar-akar kecil yang menjulur dari pinggir jalan, seolah tangan alam yang ingin bersentuhan.

Zia berjalan di belakang Viren, membiarkan matanya menikmati pemandangan yang jarang ia temui. Langit terbentang luas tanpa gangguan kabel atau gedung. Burung-burung kecil terbang rendah, dan suara air sungai kecil mengalir entah dari mana. Ia merasa seperti berada di negeri yang bukan bagian dari dunia yang pernah melukainya.

"Tempat ini… seperti di luar negeri," gumam Zia, setengah pada dirinya sendiri.

Viren menoleh sebentar, hanya untuk memastikan ia mendengar benar.

"Kita masih di dalam negeri. Hanya tempat yang tak semua orang tahu," jawabnya.

Mereka terus berjalan. Kadang-kadang Zia menendang batu kecil, kadang ia berhenti sejenak hanya untuk mengelus batang pohon atau memungut dedaunan kering yang bentuknya unik. Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang berkenalan lagi dengan dunia yang pernah ia lupakan.

"Kenapa memilih tempat ini?" tanya Zia sambil menyeka peluh di pelipisnya.

Viren tak langsung menjawab. Ia menatap ke depan, pada langit biru yang seakan lebih dalam dari biasanya.

"Aku ingin tahu… apakah seseorang sepertimu bisa tersenyum di tempat seperti ini."

Zia terdiam. Jantungnya berdebar pelan. Ada kehangatan samar yang ia rasakan, meski suara itu masih datar dan tenang seperti biasanya.

"Senyum?" ulang Zia sambil tersenyum kecil, “aku bukan seseorang yang mudah tersenyum di sembarang tempat.”

"Tapi kau tersenyum tadi."

Zia menatap punggung Viren, yang terus melangkah tanpa menoleh. Ada halus dalam kata-katanya. Bukan rayuan. Bukan basa-basi. Hanya kejujuran yang disampaikan dengan ketenangan khasnya.

Langkah awal Zia penuh semangat. Tapi seiring waktu, napasnya mulai berat, keringat menetes dari pelipis, dan langkahnya melambat.

“Huh...” Ia berhenti lalu meneguk air dari botol.

“Sepertinya kita akan sampai lewat dari perkiraan,” ucap Jake pelan pada Viren sambil melirik Zia yang mulai tertinggal.

“Jake, ambil ranselnya.”

“Siap, Tuan.”

Jake mendekat. “Nona, saya bawa ya?”

Zia menyerahkan ransel itu dengan lega. Separuh beban hilang seketika. Ia berjalan lebih cepat, dan akhirnya..

Mereka sampai di undakan kecil, seperti panggung alam yang menghadap ke hamparan perbukitan jauh di sana. Angin berembus lebih kuat di sini. Udara lebih tipis, namun justru menyegarkan paru-paru. Di kejauhan, hamparan rumput Hijau berundak terlihat seperti lukisan hidup, dan langit tampak menggandeng bumi dengan lembut di cakrawala.

Zia mendekat ke bibir puncak, berdiri tegak di ujung dataran tinggi itu, membuka kedua tangannya, membiarkan angin merengkuh tubuhnya. Jaketnya berkibar pelan, rambutnya menari dalam kilau matahari.

“Rasanya seperti terbang...” ucapnya lirih.

Viren berdiri beberapa langkah di belakangnya, memperhatikan perempuan itu dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Di matanya, Zia tampak seperti sosok asing yang perlahan menjadi nyata. Bukan gadis yang selalu ragu, bukan wanita yang ia nikahi tanpa cinta. Tapi seseorang yang mulai hidup kembali, meski perlahan.

Viren dan Jake menyusul, duduk di sisinya. Jake melepaskan ransel lalu pergi entah kemana.

“Aku tidak bawa makanan mewah. Hanya sedikit camilan,” ucap Zia sambil membuka ransel. Ada apel, roti, dan... semangka sedang.

Jake mengerutkan kening. “Semangka... Pantas berat.”

“Kau benar-benar merepotkan,” keluh Viren.

Zia tertawa kecil. “Aku lihat Emi membawa semangka dari luar tadi.”

“Kalau dia membawa labu, kau bawa juga?”

“Itu.. tidak perlu,” jawab Zia polos.

Zia memberikan apel dan roti pada Viren. Lalu matanya menyusuri ransel, mencari pisau.

“Mungkin... aku akan menggigitnya begini saja.” Ia mencoba menggigit permukaan semangka.

Viren mendesah pelan. Lalu tanpa kata, ia mengambil semangka itu dan... membelahnya dengan tangannya.

Zia terbelalak. “Kau... Kau serius?”

Viren menyerahkan separuhnya. “Ini aku sita sebagai bayaran tenaga.”

Zia memanyunkan bibir. “Bilang saja kalau mau.”

“Apa?”

“Tidak—tidak ada,” ucap Zia cepat sambil menggigit semangka.

Langit mulai berubah warna. Jingga menggantikan biru, seolah matahari perlahan mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Di puncak bukit yang sepi dan jauh dari hiruk pikuk kota, angin menyusup lembut di antara dedaunan dan helai rambut yang dibiarkan tergerai.

Zia duduk bersila di atas rerumputan, sedikit lebih tinggi dari batu tempat Viren duduk menyandarkan punggungnya. Pria itu masih tenang, menatap langit seolah ada sesuatu di balik awan yang ingin ia pahami lebih dalam. Angin sesekali meniup bagian rambutnya ke belakang, menciptakan siluet wajah yang lebih jelas di bawah cahaya tembaga senja.

Zia menatapnya diam-diam.

Ada sesuatu dari sosok Viren di tempat ini yang tak pernah ia lihat sebelumnya—lebih hidup, lebih manusiawi, dan lebih... dapat dijangkau.

Tangannya bergerak perlahan, meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Ia membuka kamera, mengatur sudut dengan pelan, hati-hati agar tak menimbulkan suara.

Klik.

Suara shutter nyaris tak terdengar, namun dadanya berdegup kencang seperti baru saja mencuri sesuatu yang bukan miliknya.

Ia menatap hasil foto itu.

Viren tampak duduk menyendiri, dikelilingi langit luas dan rerumputan, siluet tubuhnya berpadu dengan latar cahaya senja. Wajahnya tenang, namun menyimpan sesuatu yang tak mudah dijelaskan. Zia menatap hasil tangkapan itu lama—bukan karena hasilnya sempurna, tapi karena ia sadar, ia baru saja menyimpan potongan waktu yang tak bisa diulang.

Namun ia tidak tahu—ada lensa lain yang menangkapnya di saat yang sama.

Dari kejauhan, di balik rerimbunan kecil, Jake berdiri tenang sambil memegang kameranya sendiri. Ia bukan hanya tangan kanan, bukan hanya pengawal. Tapi seorang pengamat diam yang paham kapan harus bertindak tanpa perintah.

Ia menatap layar kameranya.

Dalam bingkai itu, tampak Zia tengah menunduk menatap ponselnya, dengan latar belakang Viren yang duduk di bawah sinar senja. Keduanya tak saling menatap, namun seolah terhubung oleh garis tak kasat mata yang menjembatani kesunyian mereka.

Klik. Ia mengambil satu lagi. Kali ini lebih lebar—dua sosok yang terdiam dalam harmoni, di puncak dunia yang sepi, seperti dua titik yang akhirnya berada di garis yang sama.

Jake menurunkan kameranya perlahan. Sebuah senyum tipis muncul, cepat, lalu lenyap seperti embusan angin.

.

.

.

Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!