Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05. Dia Adalah Ayahmu
Keesokan paginya, saat Rosalina pulang dari pasar membawa kantong belanja, matanya langsung terpaku pada sebuah mobil hitam mengilap yang terparkir di depan bangunan tua tempat ia tinggal. Sebuah Mercedes-Benz Mewah.
Disisi lain, setelah berjalan di sepanjang tangga sempit dan pendek ke lantai empat, ia melihat poster iklan kecil menempel di dinding. Pintu besi tua yang berkarat itu sepertinya telah ter korosi oleh waktu.
Seorang pria dengan setelan mewah berdiri di depan pintu besi. Setelah melihat Rosalina, ia membuka mulutnya sedikit dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Rosalina menatapnya untuk waktu yang lama. Setelah itu, ia berdehem dan berkata, "Masuk aja, duduk dulu."
Rosalina mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Suara pintu yang berbunyi memekakkan telinga. Setelah memasuki ruangan, ia melihat sebuah ruangan yang sangat sederhana.
Rosalina tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia menuangkan secangkir air dan meletak kan di depannya. Kemudian ia segera memanggil putrinya untuk segera keluar dari kamar.
Kemudian, dengan suara tenang, ia memanggil dari depan pintu kamar, “Vilya, keluar sebentar. Seseorang mau ketemu.”
Begitu gadis itu melangkah keluar, Rosalina berkata, “Dia ayahmu.”
Hubungan mereka memang nggak pernah dekat, tapi Marvin selalu memastikan putrinya tidak kekurangan apapun. Ia tak pernah lalai. Bahkan, sebelum pria itu mengakhiri hidupnya, dialah orang terakhir yang menghubunginya—hanya untuk membicarakan ibunya.
Bahkan sebelum ayahnya meninggal, Marvin adalah orang yang berbicara terakhir dengannya.
Itu pun adalah pertama kalinya ayahnya memanggilnya, dan hal itu juga ayahnya berbicara tentang masa lalu antara ia dan ibunya. Selama percakapan itu, ayahnya tidak menyembunyikan sedikitpun cintanya pada ibunya.
Setelah kematian ayahnya, ibunya pun menyusul. Ia dulu tak pernah mengerti kenapa mereka bisa sejauh itu. Apakah karena kesalahpahaman? Atau… konspirasi?
Ia tidak akan pernah melepaskan masalah ini. Di kehidupan sebelumnya, sebelum ia meninggal, ia bersumpah bahwa jika semuanya bisa terulang, ia pasti akan membuat mereka mati dengan cara yang mengerikan. Ia akan membalas mereka atas apa yang telah mereka lakukan di kehidupan sebelumnya.
Di sisi lain Marvin menatap putrinya. Ia menyadari bahwa tatapannya di penuhi dengan kebencian. Dia tidak tahu apakah masih ada harapan baginya untuk keluar dari kebenciannya.
Ibunya menatap putrinya dan kemudian bertanya, "Apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak ada." ia kembali sadar dan menatap Marvin. Lalu berkata, "Ayah."
Marvin mengangguk dan berkata, "Alasan aku kemari kali ini adalah untuk membawa dia pulang."
"Aku tahu." Ibunya duduk di kursi di sebelah Marvin dan berkata, "Kamu bisa bertanya padanya sendiri tentang ini."
"Vilya, bagaimana kamu memutuskan?" Marvin menatapnya dan berkata, "Jika kamu kembali bersamaku, hidupmu akan lebih baik. Aku mendengar dari ibumu bahwa kamu merindukan sekolahmu. Kembalilah bersamaku dan aku akan membayar biaya sekolahmu." Memikirkan hal ini, tatapannya berubah secara halus.
Marvin berpikir bahwa putrinya akan tergerak dan ia kembali melanjutkan ucapannya, "Dan aku akan membayar sejumlah uang kepada ibumu sebagai imbalan untuk membesarkan mu sampai sekarang."
"Aku tidak menginginkan uangmu." Ucap Rosalina menolak.
"Mengapa kamu begitu keras kepala?" Marvin merasa bahwa Rosalina tidak berubah setelah bertahun-tahun. Rosalina tidak memberikan jawaban apa pun.
Diamnya sudah cukup jadi jawaban. Marvin hanya bisa memandangi wanita itu dengan rasa frustasi… seperti tujuh belas tahun lalu. Ia tahu, ia tak pernah bisa mengalahkan tekad Rosalina.
Sementara itu, Vilya hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Kenapa tidak?” katanya pelan.
Ia sudah membuat keputusan. Ia akan ikut ayahnya. Tapi bukan karena rindu, atau karena ingin kehidupan yang lebih baik.
Ia hanya ingin tau dengan kebenaran yang sebenarnya.
Dan suatu saat nanti, ia akan membawa ibunya kembali. Dengan caranya sendiri.