Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Bab 16. Kedatangan seseorang yang tak terduga
Sementara itu, di tempat lain, Nadine yang masih kesal dengan sikap Dirga akhirnya memutuskan untuk curhat pada seseorang yang ia tahu bisa bereaksi besar– ibunda Dirga.
“Aunty, aku nggak tahu apakah aku harus cerita atau nggak. Tapi … belakangan ini Mas Dirga terlalu dekat dengan salah satu karyawannya di Lumiere. Dia perempuan, dan … dia hamil,” ujar Nadine dengan nada lirih namun penuh tekanan emosional.
Ibu Dirga terbelalak. “Hamil? Siapa perempuan itu? Jangan-jangan—”
“Bukan anak Mas Dirga. Tapi … semua orang lihat Mas Dirga seperti—seperti pria yang bertanggung jawab pada kandungan itu. Padahal anak itu bukan anaknya," papar Nadine dengan ekspresi dramatis.
“Gila,” gumam wanita itu. “Dia benar-benar mempermalukan keluarga kita seperti ini? Membuat dirinya terlihat seperti … seperti ayah dari anak tak jelas asal-usulnya itu?”
Nafasnya memburu. Matanya berkilat dengan amarah yang tak lagi bisa disembunyikan.
“Bawa aku ke tempat itu. Aku ingin melihat sendiri siapa perempuan itu," ujar ibu Dirga–Delena.
Nadine sedikit ragu, tapi akhirnya mengangguk. Namun, dalam hati Nadine justru tersenyum puas sebab ini memang yang dia inginkan.
“Baik, Aunty. Aku akan antar.”
Dan badai baru pun bersiap menghantam kehidupan Sharon sekali lagi.
---
Sore itu, restoran Lumiere tidak terlalu ramai. Sharon sedang berdiri di balik konter, mencatat stok bahan yang akan dipesan untuk esok hari. Perutnya kini mulai terlihat jelas di balik apron yang selalu ia pakai saat bekerja. Sesekali, ia menunduk dan mengusap lembut perutnya, tersenyum kecil meski wajahnya terlihat lelah.
Pintu kaca terbuka dengan suara denting halus.
Sharon menoleh, mengira pelanggan baru datang. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan, anggun namun wajahnya memancarkan ketegasan. Di belakangnya, Nadine menyusul masuk, kepalanya terangkat sambil menatap Sharon dengan ekspresi yang sulit Sharon jabarkan.
Sharon mengerutkan kening, bingung.
“Selamat sore. Bisa saya bantu?” tanyanya sopan.
Wanita itu melangkah masuk dengan kepala terangkat tinggi. Matanya mengamati Sharon dari ujung kepala hingga kaki, lalu berhenti di bagian perut yang menonjol.
“Jadi ini perempuan itu,” katanya dingin.
Sharon mengerjap. “Maaf?”
“Aku ibunya Dirga,” jawabnya cepat. “Dan kamu, saya dengar, sedang menikmati perhatian berlebihan dari anak saya.”
Sharon tercekat, pandangannya berpindah dari wanita itu ke Nadine yang tak juga bersuara.
“Saya tidak mengerti maksud Anda, Bu,” jawab Sharon pelan.
“Oh, kamu pasti mengerti. Jangan pura-pura bodoh. Kamu pikir hanya karena kamu hamil, kamu bisa memancing simpati dari Dirga? Membuat dia terlihat seperti laki-laki ‘bertanggung jawab’ di mata semua orang?”
“Bu, saya tidak pernah meminta Pak Dirga untuk—”
“Kau pikir aku akan membiarkan anakku dekat dengan perempuan yang membawa anak dari laki-laki tak jelas seperti ini?” sergah wanita itu cepat, suaranya kini mulai meninggi. Beberapa pelanggan menoleh ke arah mereka.
Sharon menarik napas dalam, berusaha tetap tenang. “Saya tidak pernah memaksa Mas Dirga untuk bertanggung jawab atas apa pun. Dia melakukan semuanya atas kemauan sendiri.”
“Dan kamu membiarkannya!” tuding wanita itu. “Kamu tidak punya harga diri? Memanfaatkan kebaikan anak orang untuk kepentinganmu sendiri? Hamil tanpa suami, dan tetap bekerja seolah dunia ini tak menilaimu!”
Kata-kata itu menghantam Sharon seperti palu godam. Dadanya berdenyut nyeri. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya dengan gigih.
“Saya memang hamil tanpa suami,” jawab Sharon, nadanya sedikit bergetar. “Tapi itu tidak menjadikan saya manusia yang lebih rendah dari siapa pun. Dan saya tidak pernah meminta siapa pun untuk menanggung kesalahan saya.”
Seketika suasana menjadi sunyi. Beberapa pelayan berdiri canggung di sudut ruangan, menahan diri untuk tidak ikut campur. Tapi suasana begitu tegang hingga udara seolah berhenti beredar.
Saat itu juga, Dirga muncul dari pintu dapur. Wajahnya berubah seketika melihat ibunya berdiri di tengah restoran, berhadapan langsung dengan Sharon.
“Mama?” ucapnya cepat, melangkah mendekat.
Wanita itu berbalik cepat. “Dirga! Ini perempuan yang selama ini kamu lindungi? Yang kamu dekati? Apa kamu sudah kehilangan akal sehat?”
“Mama, tolong jangan bicara seperti itu di depan umum,” ucap Dirga pelan namun tegas.
“Kamu mempermalukan keluarga kita! Membuat orang berpikir kamu ayah dari anak itu!”
Dirga menatap Sharon yang berdiri terpaku, lalu kembali menatap ibunya.
“Kalau memang orang-orang mengira aku ayahnya, biarkan saja, Ma. Karena setidaknya aku lebih memilih jadi pria yang melindungi perempuan dan anak yang tidak bersalah … daripada jadi pengecut yang membiarkan mereka disakiti tanpa alasan.”
Suara Dirga menggema, penuh tekanan. Ibunya membeku. Sharon menunduk, tak kuat menahan air mata yang akhirnya tumpah juga.
“Pak Dirga …,” bisiknya. Ia benar-benar tidak menyangka ibu dari Dirga akan mendatanginya dan lebih tidak menyangka lagi kalau Dirga akan membela dan melindunginya.
“Sudah cukup, Ma. Sharon tidak bersalah. Dia hanya berusaha hidup dan membesarkan anaknya dengan benar. Dan aku … aku memilih untuk tetap di sisinya.”
Mata sang ibu membelalak. “Jadi kamu memilih perempuan ini daripada kehormatan keluarga kita?”
“Aku memilih menjadi manusia, Ma,” jawab Dirga, mantap.
Wanita itu menatap anaknya lama, sebelum akhirnya memalingkan wajah dan melangkah cepat keluar dari restoran, diikuti oleh Nadine yang masih diam terpaku.
Keheningan menyelimuti ruangan.
Sharon berdiri kaku. Dirga melangkah mendekat, memegang pundaknya lembut.
“Maafkan aku. Aku datang terlambat,” katanya pelan.
Sharon menggeleng pelan, mencoba tersenyum walau air matanya belum juga berhenti.
“Kau datang tepat saat aku butuh.”
Dan untuk pertama kalinya, di tengah rasa perih dan malu, Sharon merasa sedikit lebih kuat.
...***...
Langit sore tampak suram, namun suasana di lantai 15 kantor pusat LXR Holdings tetap sibuk seperti biasa. Deretan komputer menyala, suara derik keyboard terdengar berpadu dengan deru mesin printer yang tak pernah berhenti. Aroma kopi hangat dari pantry menyatu dengan aroma khas dokumen dan furnitur kayu mewah yang menjadi ciri khas ruangan CEO LXR Holdings.
Di balik meja besar berbahan marmer hitam, Leon duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, menatap layar laptop. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju pada presentasi strategi ekspansi yang baru saja dikirimkan oleh tim pemasaran. Matanya gelisah, gerakan tangannya tidak fokus.
Beberapa saat kemudian, Eric masuk ke ruangan sambil membawa setumpuk dokumen untuk ditandatangani. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya.
Leon mendongak. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia bersuara.
"Eric," panggilnya, nada suaranya datar tapi penuh muatan.
Eric berhenti di depan meja, meletakkan dokumen, lalu mengangkat kepala. “Ya, Leon?”
Leon menatap pria itu lama, lalu mengembuskan napas. “Ada kabar dari Sharon?”
Pertanyaan itu muncul begitu saja, menusuk keheningan seperti pisau tajam. Eric terdiam sejenak, terlihat terkejut, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Belum ada. Aku dan tim masih pantau kediaman ibunya … tapi, sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda Sharon pernah kembali ke sana,” jawabnya pelan, namun serius.
Leon menyandarkan tubuh ke kursi, matanya memejam sejenak. “Sudah berbulan-bulan, Eric. Sudah berbulan-bulan Sharon menghilang tanpa jejak. Apa kita benar-benar tidak melewatkan apa pun?”
Eric menarik napas dalam. “Kami sudah cek CCTV lingkungan, pantau aktivitas pengiriman barang, bahkan cross-check dengan data medis dan apotek terdekat. Tapi Sharon seperti menghilang di udara. Satu-satunya yang masih muncul adalah aktivitas wanita yang merawat ibunya. Tidak ada yang bisa menghubungkannya dengan Sharon secara langsung.”
Leon mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jarinya. Ada letupan emosi yang tak bisa dia sembunyikan. “Aku hanya ingin tahu dia baik-baik saja. Bukan untukku, melainkan untuk dirinya, dan anak itu.”
Eric hendak menanggapi, namun ponselnya berdering mendadak. Ia melihat layar, lalu langsung menegang.
“Rumah sakit,” gumamnya sambil mengangkat panggilan.
“Halo… ya, ada apa? Apa? … Kau yakin? Baik, kami segera ke sana.”
Leon berdiri dari kursinya, naluri kewaspadaannya langsung aktif. “Ada apa?”
Eric menatap Leon dengan ekspresi campuran antara panik dan serius. “Maya. Ibunya Sharon. Kondisinya kritis. Penyakitnya kambuh dan sekarang dia di rumah sakit. Beliau harus menjalani operasi segera, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Biaya. Dia terkendala biaya."
Leon mematung sejenak. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras. “Kamu bilang … kritis?”
“Iya. Waktunya sempit. Terlambat sedikit saja bisa berakibat fatal."
Tanpa berpikir panjang, Leon langsung meraih jasnya yang tergantung di sandaran kursi dan melangkah cepat ke luar ruangan.
“Ayo, Eric. Kita harus ke sana sekarang. Kalau ibunya kritis … mungkin Sharon akan segera muncul.”
Eric mengikuti di belakangnya, sementara alarm emosional di kepala Leon berdentang keras. Di tengah semua ketidakpastian, akhirnya ada satu titik terang meski datang dalam bentuk darurat dan Leon tahu, waktu mereka tidaklah banyak.
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho