Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan Belas
Begitu mobil berhenti di depan rumah, Tissa turun tanpa menunggu Irfan. Ia berjalan cepat menuju pintu, masih membawa sisa-sisa emosi yang berputar dari butik pertama, butik kedua, sampai percakapan di mobil tadi. Semua terasa menumpuk seperti beban yang menekan dadanya.
Rumah itu sepi, hanya terdengar kipas angin di ruang tengah yang berputar lambat. Tissa melepas sepatunya dengan sentakan kecil, lalu langsung menuju kamar Kirana yang berada di ujung lorong. Pintu itu tidak terkunci.
Tissa berhenti sejenak. Aneh. Kirana hampir selalu mengunci pintunya. Entah untuk menjaga privasi, atau sekadar malas diganggu. Tapi kali ini, pintu itu sedikit terbuka. Dari celahnya, terlihat sedikit cahaya putih ponsel.
Tanpa mengetuk, Tissa mendorong pintunya.
Kirana sedang duduk di lantai, punggung bersandar pada sisi ranjang. Kakinya ditekuk, rambutnya digerai, wajahnya tanpa makeup, wajah yang selama ini selalu terlihat tenang dan dewasa. Tapi sekarang, Kirana tampak seperti seseorang yang sedang menunggu sesuatu. Atau seseorang.
Ia memainkan ponsel, entah chat dengan siapa. Saat mendengar pintu bergerak, Kirana menoleh.
Tatapan itu datar. Sedingin AC butik mewah yang tadi hampir membuat Tissa lupa realita.
“Kok masuk tanpa ketuk?” tanya Kirana lemah, tapi jelas tidak benar-benar peduli.
Tissa berdiri dengan tegak pinggang. “Aku mau tanya.”
“Banyak orang mau tanya sesuatu padaku akhir-akhir ini,” sahut Kirana santai, kembali melihat ponselnya. “Tapi lanjut.”
“Kak .…” Tissa menahan napas, lalu bertanya langsung, “Kakak mau tetap nikah?”
Kirana mengangkat alis sedikit. “Kalau iya, kenapa?”
Suara yang begitu tenang membuat Tissa semakin kesal. “Sama siapa?”
Baru kali ini Kirana meletakkan ponsel di sampingnya dan menatap Tissa. Mata Kirana biasanya tampak teduh, tapi hari itu tampak seperti kaca bening, tapi bisa memantulkan apa saja.
“Sama pria yang menghargai aku,” jawab Kirana tenang. “Dan jelas tidak selingkuh.”
Tissa mengepalkan tangan. Nafasnya memburu. “Kakak … apa kakak yang pesan kebaya di butik ternama itu?”
Sejenak Kirana hanya menatap. Hening. Lalu sebuah senyum pelan muncul, tapi bukan senyum manis. Lebih seperti senyum seseorang yang tahu rahasia besar dan tidak ingin membaginya.
“Kalau iya … kenapa?” Kirana balik bertanya, suaranya lembut tapi menyengat.
Detik itu juga, sesuatu seperti klik terdengar dalam pikiran Tissa. Amarahnya naik cepat. “Kakak jangan mimpi terlalu tinggi. Kalau jatuh nanti sakit.”
Kirana tidak tersinggung. Sama sekali tidak. Ia hanya memiringkan kepala sedikit, seperti sedang menilai seberapa bodoh lawan bicaranya.
“Siapa pria yang mau secepat ini menikah dengan kakak?” lanjut Tissa. “Apalagi pria kaya. Pasti pilihannya banyak. Dia enggak akan pilih kakak.”
Ada jeda. Sunyi. Hanya suara kipas angin yang terdengar.
Kirana perlahan bangkit berdiri. Ia merapikan rambutnya sebentar lalu menatap Tissa dari atas ke bawah, tatapan yang membuat Tissa merasa kecil.
“Susah ya,” ujar Tissa. “Bicara dengan orang stres.”
Kirana mendelik. “Apa? Aku atau kamu yang stres?"
“Ingat ya,” lanjut Tissa sambil berjalan ke arah pintu keluar. “Pernikahanku tinggal tiga hari lagi. Jangan bikin masalah.”
“Kalau kamu enggak kuat lihat Irfan bersanding denganku, ya di rumah saja," ucap Tissa selanjutnya.
“Aku enggak bakal buat masalah,” jawab Kirana dengan suara bergetar menahan marah. “Justru aku bersyukur lepas dari Irfan. Sang pecundang itu cuma cocok sama pengkhianat.”
Tissa berbalik cepat. “Siapa pecundang? Dan siapa pengkhianat?”
“Tanya diri sendiri,” jawab Kirana dengan santainya.
Itu saja cukup membuat Tissa mengerutkan alis, lalu matanya menyipit. Dalam hitungan detik, suasana kamar menjadi sangat tegang.
Tissa yang tersulut amarah lebih dulu, mengambil bantal di ranjang lalu melemparkannya kuat-kuat ke arah Kirana.
Namun Kirana lebih cepat. Ia menepis bantal itu hanya dengan satu gerakan lengan, seolah melempar bantal adalah hal paling kekanak-kanakan yang pernah dilihatnya.
“Hentikan,” kata Kirana dengan nada ancaman yang sangat jelas. “Keluar. Sekarang. Sebelum aku membalasmu.”
“Oh iya, aku memang mau keluar,” balas Tissa, mengangkat dagu. “Ngapain juga lama-lama di kamar jelek sempit kayak gini?”
Itu memancing reaksi. Kirana menegang. Matanya menyiratkan sesuatu, bukan sedih. Lebih seperti luka lama yang disentuh tanpa permisi.
Namun Kirana menahan diri. Ia menarik napas panjang, lalu menunjuk pintu.
“Keluar.”
Tissa membalas dengan tatapan menantang, lalu menutup pintu keras. Hampir sekeras debar jantungnya.
Hari berganti seperti tidak peduli betapa kacaunya hubungan dua kakak-beradik itu.
Tiga hari berlalu tanpa percakapan berarti antara Tissa dan Kirana. Mereka tinggal satu rumah, tapi rasanya seperti dua kutub yang saling menolak, bahkan udara pun seolah memilih jalurnya masing-masing agar tidak bersinggungan. Begitu juga kedua orang tuanya, tak ada yang peduli dengan Kirana.
Diam-diam Kirana menyusun surat berharga dan bajunya. Dia sudah bertekad akan keluar dari rumah setelah menikah.
Dan sekarang, hari itu tiba. Besok adalah pernikahan Tissa.
Pagi rumah terasa riuh. Orang-orang dari keluarga besar Mama Tissa, yang juga keluarga tiri Kirana sudah berdatangan sejak subuh. Ada yang dari luar kota, ada yang dari desa, ada yang baru pertama kali bertemu Tissa sejak ia kecil.
Semua datang dengan suara keras, tawa besar, dan pertanyaan-pertanyaan panjang yang membuat kepala langsung pusing.
“Mana calon pengantinnya?”
“Tissa! Sini, tante mau lihat bajunya!”
Tissa tersenyum kaku setiap kali seseorang memanggilnya. Ia sedang ingin sendiri, tapi situasinya terlalu ramai. Ia harus menjawab, harus senyum, harus meladeni.
Irfan juga sempat datang untuk menurunkan beberapa hantaran yang perlu disimpan di rumah sebelum dibawa ke gedung besok. Ia bertemu beberapa keluarga, menyalami mereka dengan sopan, memasang senyum yang terlatih.
Semua tampak sibuk, kecuali Kirana. Gadis itu benar-benar tidak muncul di ruang tamu. Tidak ikut menyapa keluarga. Tidak ikut membantu persiapan. Tidak ikut membungkus seserahan. Tidak melakukan apa pun yang biasanya dilakukan seorang kakak tiri pada adiknya yang mau menikah.
Ia hanya mengurung diri di kamar. Beberapa tante sempat bertanya, “Kirana mana? Kok enggak kelihatan?”
Ada juga yang berbisik-bisik, “Dia sakit hati kali ya, bukan dia yang nikah duluan. Mungkin marah karena Irfan lebih memilih Tissa."
Gosip kecil itu terbang dengan cepat seperti nyamuk di malam hari: mengganggu, tapi tidak ada yang benar-benar mencoba menghentikannya.
Tissa mendengarnya. Ia pura-pura sibuk mengatur baki seserahan agar tidak perlu menjawab.
Di sudut ruangan, ia melirik ke arah lorong kamar. Pintu kamar Kirana tetap tertutup rapat. Tidak ada suara, tidak ada tanda kehidupan. Seolah seseorang sedang memutus hubungan dengan dunia luar.
"Apa dia benar mau nikah juga? Apa dia benar pesan kebaya itu? Siapa pria yang mau menikahi dia?” tanya Tissa dalam hatinya.
Pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul dan mengganggu Tissa seperti bayangan yang terus mengikuti tanpa bisa diusir.
Di luar rumah, dekorasi sudah datang dan mulai dipasang. Mobil keluarga sudah berjejer, sebagian membawa barang. Mama Tissa sibuk memeriksa daftar tamu. Sepupu-sepupu sibuk selfie sambil teriak-teriak, memanggil nama Tissa untuk ikut foto. Rumah itu berubah seperti pasar malam.
Tissa menghela napas panjang sambil memegang pinggir meja. Ia merasa dadanya sesak, bukan karena pernikahannya besok, tetapi karena satu hal yang terus mengganjal, Kirana.
"Apa yang Kirana lakukan? Kemarin sepertinya dia keluar rumah, papa dan mama juga tak tau kemana dia pergi? Apa memang dia juga akan menikah?"
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭