NovelToon NovelToon
Deonall Argadewantara

Deonall Argadewantara

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mycake

Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.

Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.

Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Deonall Story

Di dalam rumah kontrakan yang sederhana namun hangat, Gwen duduk di ujung sofa, sibuk membersihkan luka di lengan Deon dengan kapas alkohol.

Deon mengerang pelan, bukan hanya karena perihnya luka, tapi juga karena rasa curiga yang semakin besar menggerogoti pikirannya.

Tatapan matanya tajam, penuh selidik, menatap Gwen yang begitu tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

"Lo misterius banget sih, Gwen," gumam Deon sambil menyipitkan mata.

Gwen melirik dengan alis terangkat. "Apaan sih?"

"Ya aneh aja. Pas gue cari-cari lo kayak hantu ilang tapi pas gue udah gak nyari, eh lo tiba-tiba muncul kayak jenglot di malam Jumat."

Gwen nyengir. "Lo ngatain gue jenglot?"

"Enggak, maksud gue... ya gitu deh. Lo muncul pas gak dicari. Gue jadi curiga."

Gwen mengangkat kapas yang penuh darah. "Ngapain lo nyariin gue?"

"Aduh aduh, pelan-pelan napa! Sakit woy!" Deon meringis dramatis.

"Iya iya, sorry, drama banget sih lo," kata Gwen sambil menahan senyum.

Deon menarik napas, serius. "Gue cariin lo karena gue rasa lo tahu banyak soal perusahaan bokap gue."

Gwen langsung pasang wajah polos. "Maksudnya?"

"Yaaaa, lo udah magang paling lama di sana, udah kayak tanaman hias di lobi. Masa gak tau apa-apa?"

Gwen diam. Tatapannya berubah kaku.

"Diam bae lo gimana nih, kasih tau gue gak?"

"Gue gak tau apa-apa," jawab Gwen cepat, terlalu cepat.

Deon menyipitkan mata. "Bohong. Nadanya kayak abis nyontek terus ditanya guru, ‘udah ngerjain?’”

Gwen pura-pura fokus sama perban. “Lo banyak bacot, Deon.”

“Gue lebih suka banyak jawaban. Jadi, ayo jujur, lo nyembunyiin apa?”

Gwen berhenti sejenak, menatap Deon balik. Suasana tiba-tiba hening, tapi tegang.

Dan dalam keheningan itu...

“Gue nyembunyiin... cemilan lo di dapur.”

“GWEN!!!”

Gwen ngakak lepas, sementara Deon cuma bisa menggeleng pelan antara kesel, bingung, tapi juga makin penasaran. Dia tahu, Gwen bukan cuma sekadar anak magang biasa. Dan malam ini, tebakan itu terasa makin benar.

Tatapan Gwen yang awalnya jenaka tiba-tiba berubah. Ia menunduk sedikit, menatap perban yang barusan ia lilitkan di lengan Deon dengan ekspresi penuh pikir.

"Deon lo tau gak, kadang informasi itu lebih bahaya dari luka," ucap Gwen pelan. Suaranya serius, matanya gelap menatap ke luar jendela. "Kadang yang lo anggap kebenaran, justru bisa jadi senjata makan tuan."

Deon langsung duduk tegak. "Lo tau sesuatu, kan? Gwen lo tau apa? Lo harus cerita ke gue."

Gwen diam, mengangguk kecil. Suasana mendadak berat, sunyi, dan intens. Jantung Deon berdetak cepat menunggu jawaban.

Gwen menarik napas dalam, lalu menatap Deon lurus-lurus.

“Ada sesuatu yang bokap lo sembunyiin sesuatu yang udah lama.” katanya pelan.

Deon makin tegang. “Apa? Cepet bilang!”

Gwen mendekat, berbisik sangat serius.

“Bokap lo… dulu pernah—”

Deon menelan ludah.

“—ngebatalin pesenan ayam geprek yang gue pengenin. Dan itu gak bisa gue maafin.”

Hening. Deon terdiam sejenak, butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Gwen.

“KAMU NIH ORANG KENAPA SIH?!!!” bentak Deon sambil bangkit dari duduknya, frustasi. “GUE UDAH DEG-DEGAN KIRA ADA SKANDAL HITAM ATAU APA KEK!”

Gwen ngakak sampai terbatuk, nyaris jatuh dari sofa.

“Lo liat muka lo tadi! Gue bisa nempelin di toples buat usir kecoa!”

“YA AMPUUUN GWEEEN!!” Deon mengacak-ngacak rambut sendiri, antara kesal dan pasrah. “Gue bisa stroke kalo tiap hari diginiin!”

Gwen cuma nyengir lebar, masih menahan tawa. Dan di balik kekesalannya, Deon tahu satu hal pasti. Gwen mungkin nyebelin, tapi dia menyimpan rahasia besar yang belum siap dia bagi dan itu bikin Deon makin gak bisa berhenti penasaran.

Gwen menyender santai di sandaran kursi sambil memainkan perban sisa di tangannya, senyum tengilnya kembali muncul seperti biasa.

"Lo tuh lucu, Deon. Serius banget kayak sinetron jam tujuh pagi. Padahal ya belum tentu juga gue minat kasih tau semua yang gue tau."

Deon menatapnya tajam. "Lo main-main sama gue, Gwen?"

"Main? Gak kok. Gue bantuin lo tadi luka, itu bentuk kepedulian. Tapi kalo lo berharap gue jadi pahlawan pembocor rahasia perusahaan bokap lo, hmm... itu lo salah target, bro."

"Gwen ini serius."

Gwen mendekat, wajahnya cuma beberapa senti dari Deon. Matanya nyala penuh keisengan. "Justru karena ini serius, makanya gue gak sembarangan ngomong. Lo belum siap."

Deon nyaris membalas, tapi Gwen sudah berdiri, melangkah ringan menuju dapur sambil bersenandung lagu random.

"Lo mau kopi? Atau lo mau gue kasih surat rahasia perusahaan dalam bentuk cappuccino art?"

Deon mendesah panjang, duduk kembali sambil menatap langit-langit. "Gue bakal gila sih kalo terus bareng lo."

Gwen tertawa, kali ini dari dapur. "Tenang aja, Deon. Gila itu proses dan lo baru pemanasan."

Gwen kembali ke ruang tamu dengan dua cangkir kopi di tangan, ekspresinya santai kayak nggak ada beban hidup. Dia duduk di sebelah Deon, menyodorkan salah satu cangkir sambil berkata, “Nih, kopi. Biar lo nggak terlalu tegang mikirin dunia yang katanya lo baru sadar itu jahat.”

Deon menatapnya curiga. “Gue gak ngerti lo sebenernya pengen bantu atau cuma mau liat gue stress.”

Gwen nyengir, menyeruput kopinya, lalu nyahut, “Kalo lo stress aja udah segini serunya, apalagi kalo lo sampe tau siapa yang selama ini mainin angka di balik laporan keuangan divisi utara, eh.” Dia pura-pura batuk. “Maksud gue, siapa yang suka ngilangin donat di pantry tiap Jumat.”

Deon mengerutkan alis. “Apa tadi lo bilang? Laporan keuangan divisi utara?”

Gwen cepat-cepat berdiri, menghindari tatapan menyelidik Deon. “Gue cuci tangan dulu, kopinya agak pahit, kayak nasib lo sebagai pewaris perusahaan penuh misteri.”

Deon menatap kosong ke cangkir kopinya, otaknya mulai muter.

Sementara itu Gwen dari dapur cuma bersiul-siul kecil, lalu bergumam, “Kadang, yang lo cari udah ada di depan mata cuma lo nya yang terlalu sibuk jadi drama king buat nyadar.”

Deon memijit pelipisnya. “Ini cewek gila atau jenius terselubung.”

Deon menaruh cangkir kopinya ke meja dengan suara duk yang cukup keras, matanya masih tertuju ke arah dapur tempat Gwen menghilang barusan.

"Divisi utara? Gue bahkan gak tau ada masalah di divisi itu." gumamnya pelan, otaknya langsung menghubungkan petunjuk itu dengan data-data keuangan yang sempat dia curi pandang saat masih magang.

Tiba-tiba Gwen muncul lagi dari balik dinding dapur, sambil mengunyah kue kering. “Lo jangan mikir keras deh, nanti otak lo overheat. Kasian tuh rambut lo yang udah kayak singa keabisan hairspray.”

Deon mendengus. “Gue serius, Gwen! Lo barusan nyebut divisi utara, itu bukan info sembarangan.”

Gwen melenggang santai, lalu duduk lagi, kali ini nyelonjorin kaki di atas meja. “Yaaa mungkin mulut gue keceplosan atau mungkin juga itu caraku ngetes, siapa yang beneran nyimak.”

Deon berdiri, menatapnya tajam. “Lo tau lebih dari yang lo bilang. Dan gue bakal gali semua sampe akar-akarnya.”

Gwen mengangkat alis. “Ih serem! Tapi boleh aja, asal jangan gali hati gue. Itu wilayah terlarang.”

Deon mendongak, frustasi. “Gwen, tolonglah serius dikit!”

Gwen mengangkat cangkirnya kayak bersulang. “Gue serius banget malahan ini tapi dengan gaya yang nyantai. Santuy is a lifestyle, Deon.”

Deon memutar bola matanya. “Gue bener-bener gak tau mau tampar atau ajak lo kerja bareng.”

“Kenapa gak dua-duanya aja?” balas Gwen dengan wink tengil.

Deon mendekat, berdiri tepat di depan Gwen yang masih santai nyeruput kopi. Tatapannya tajam, seperti detektif yang udah dapet satu potongan puzzle penting. “Lo nyebut divisi utara, terus lo diem pas gue tanya. Lo sebenernya siapa, Gwen?”

Gwen melirik sekilas, lalu pura-pura sibuk meniup kopi di cangkirnya. “Gue? Anak magang, pembuat kopi andalan lantai tiga, pemegang rekor tidur siang di toilet.”

“Gwen,” Deon mempertegas nadanya, “Gue udah cukup diputer-puterin sama bokap gue, sama semua orang di perusahaan itu. Jangan lo juga sekarang.”

Gwen terdiam sejenak. Tapi bukan karena takut lebih ke mikir, atau mungkin nahan ketawa.

“Nih ya,” katanya akhirnya, naruh cangkir ke meja, “Kalau lo tau semua jawaban sekarang, cerita kita cepet kelar dong. Bosan ah.”

“Gwen!” bentak Deon, mulai frustrasi.

“Astaga, sensitif amat,” Gwen berdiri, nyodorin jari ke dahi Deon, “Lo mikir tuh, jangan cuma ngandelin otot dan warisan. Gue kasih clue gratis barusan, tapi lo malah sibuk ngamuk.”

Deon terdiam. Matanya menyipit. “Jadi... clue-nya itu beneran?”

Gwen angkat bahu dengan senyum nakal. “Mungkin iya, mungkin enggak. Tapi kalau gue jadi lo, gue mulai dari arsip lama tahun 2018. Coba deh tanya siapa yang tiba-tiba dipindah ke luar negeri waktu itu.”

Deon mengerutkan dahi. “Siapa?”

“Lah, kan lo yang nyari,” Gwen nyengir, ambil kue satu lagi, lalu melenggang ke luar kamar sambil bersenandung. “Good luck, pewaris muda.”

Deon menatap pintu yang tertutup di belakang Gwen. “Sumpah anjrit tuh cewek bisa bikin gue gila.”

Deon berdiri terpaku di tengah ruangan, napasnya memburu pelan. Otaknya mulai memutar ulang kalimat Gwen barusan, arsip lama tahun 2018 dan seseorang yang dipindah ke luar negeri?

"Siapa anjir?!" gumamnya, setengah frustasi, setengah penasaran.

Tak butuh waktu lama, dia langsung meraih laptop di meja, duduk di kursi dengan gerakan kasar. Jari-jarinya mulai mengetik cepat, menelusuri database internal perusahaan yang masih bisa dia akses diam-diam. Sisa-sisa hak istimewanya sebagai putra direktur.

Matanya menyapu layar, mencari laporan mutasi karyawan tahun itu. Dan di sana tepat di baris ketujuh namanya muncul.

"Bastian Ramelan - Kepala Divisi Keuangan - Ditransfer ke cabang Tokyo, tanpa surat pengantar resmi."

Deon menyipitkan mata. “Siapa lo, Bastian? Dan kenapa lo dikirim jauh tanpa jejak?”

Belum sempat dia gali lebih dalam, ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim, hanya nomor asing.

"Berhenti cari tahu, Deon. Ini bukan urusan lo."

Jantung Deon mencelos. Tangannya mencengkeram ponsel itu erat, lalu menoleh ke arah pintu seakan ada yang mengawasinya.

"Gwen, lo ngajak gue main api, ya?" bisiknya pelan, tapi tatapan matanya mulai berubah. Kali ini bukan marah, tapi haus. Haus akan kebenaran dan pembalasan.

“Kalau ini bukan urusan gue, kenapa lo semua panik?”

Deon berdiri dari kursinya, membanting laptop dengan napas panas. Rasa penasaran dan kemarahan bergolak dalam dirinya. Dia melangkah mondar-mandir di dalam kamar kontrakan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap.

“Berani-beraninya mereka ngirim pesan ancaman kayak gitu.” geramnya sambil menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. “Mereka pikir gue bakal mundur? Salah besar.”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka sedikit. Gwen mengintip sambil menggigit biskuit, ekspresinya datar.

“Lo ngapain ngelantur sendiri kek orang kesurupan?” tanyanya sambil masuk santai.

Deon melirik tajam. “Lo nyelipin clue tadi kan? Tentang 2018, tentang orang yang ‘dipindah’?”

Gwen mengangkat alis. “Gue? Clue? Lah gue cuma ngomong random, bro. Mungkin lo kebanyakan nonton thriller sampe jadi halu.”

“Gwen, jangan main-main!” bentak Deon, matanya menyala.

Gwen langsung pura-pura merinding sambil memegang dadanya. “Ih serem banget. Ya ampun Deon, lo tuh kalo serius kayak detektif di sinetron jam 10 malem. Habis ini lo mau nyuruh gue jadi saksi yang pura-pura lupa ingetan gitu?”

“Gue serius, Gwen! Ini bukan mainan!”

Gwen menatapnya sebentar, lalu mendekat. Wajah tengilnya berubah, suaranya merendah. “Justru karena ini bukan mainan, makanya lo harus siap. Karena kalo lo terus gali, lo gak cuma nemu rahasia tapi juga musuh.”

Kemudian dia mundur dua langkah dan...

“Anyway, biskuit lo gue abisin ya. Enak banget, sumpah.”

Deon hanya bisa menatap Gwen yang berjalan keluar dengan santainya, ingin melempar bantal tapi sadar, yang lebih penting sekarang bukan biskuit tapi sebuah nama, Bastian Ramelan.

1
🌻🍪"Galletita"🍪🌻
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
Isabel Hernandez
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Mycake
Mampir yukkk ke dalam cerita Deonall yang super duper plot twist 🤗🤗🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!