Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Tamparan Uang & Logika
"Gonggong?"
Mata Bu Siska melotot sampai nyaris keluar dari rongganya. Wajahnya yang tebal oleh bedak mahal kini retak oleh ekspresi tidak percaya. "Kamu... kamu barusan menyamakan saya sama anjing?!"
"Saya tidak sebut merk hewan, Bu. Tapi kalau Ibu merasa terpanggil, itu di luar kendali saya," jawab Kiana santai.
Dia tidak membuang waktu untuk berdebat kusir. Kiana berjalan tenang menuju meja operator di samping panggung, tempat seorang staf IT sekolah yang gemetaran sedang menjaga laptop presentasi.
"Permisi, Mas. Boleh pinjam kabel HDMI-nya sebentar? Saya ada sedikit materi tambahan untuk rapat ini. Materi edukasi," kata Kiana sopan, tapi tangannya langsung mencabut kabel dari laptop sekolah dan mencolokkannya ke iPad Pro miliknya.
"Eh? Bu? Jangan sembarangan!" teriak Bu Siska panik. "Matikan! Siapa yang izinkan kamu presentasi?!"
Terlambat.
Layar proyektor raksasa di belakang panggung berkedip dua kali, lalu menampilkan sebuah slide presentasi yang sangat tajam dan jelas. Bukan gambar bunga-bunga atau animasi norak seperti milik Bu Siska tadi.
Layar itu menampilkan data tabel Excel dengan header berwarna merah menyala: DAFTAR VENDOR BERMASALAH & BLACKLIST - ARDIMAN LOGISTICS GROUP.
Keheningan di aula itu semakin mencekam.
"Apa... apa-apan ini?" Mommy Cecil menyipitkan mata, mencoba membaca tulisan kecil di layar.
Kiana mengambil mikrofon yang tergeletak di meja operator. Dia tidak naik ke panggung. Dia berdiri di pinggir, namun karismanya mengisi seluruh ruangan.
"Karena Ibu Siska tadi bicara panjang lebar soal 'Apel Busuk' dan 'Kualitas', mari kita bicara soal kualitas yang sebenarnya. Kualitas finansial dan integritas," suara Kiana menggema jernih.
Dia menekan layar iPad-nya. Tampilan tabel di layar membesar alias zoom in pada satu nama perusahaan.
CV SANTOSO JAYA.
Pemilik: Budi Santoso.
Status: TIER 3 (WARNING).
Keterangan: Keterlambatan pengiriman 40%, Kualitas barang di bawah standar, Utang piutang macet.
Napas Bu Siska tercekat. Wajahnya yang tadi merah padam karena marah, kini berubah pucat pasi seperti mayat. Itu nama perusahaan suaminya.
"CV Santoso Jaya," baca Kiana lantang. "Bergerak di bidang suplai mur dan baut untuk armada truk. Salah satu vendor kecil di perusahaan suami saya, Ardiman Logistics."
Kiana menoleh pada Bu Siska yang mematung.
"Bu Siska, kalau saya tidak salah baca data internal perusahaan saya pagi ini... suami Ibu, Pak Budi, baru saja datang ke kantor pusat Ardiman kemarin sore. Dia menunggu di lobi selama empat jam, memohon-mohon agar kontraknya diperpanjang karena performa perusahaannya merah semua."
"Bohong!" pekik Bu Siska histeris, tapi suaranya bergetar hebat. "Suami saya pengusaha sukses! Donatur tetap!"
"Sukses?" Kiana menaikkan alisnya sebelah. Dia menggeser slide lagi.
Kini muncul foto surat permohonan keringanan utang yang ditandatangani di atas materai oleh Budi Santoso.
"Ini tanda tangan suami Ibu, bukan? Dia meminta termin pembayaran dimundurkan karena cashflow perusahaan sedang kosong. Kosong, Bu. Tidak ada uang."
Kiana melangkah maju dua langkah mendekati Bu Siska yang gemetar.
"Jadi, suami Ibu sedang mengemis kontrak ke suami saya supaya dapur Ibu tetap ngebul. Tapi di sini, Ibu malah sibuk menghina anak dari bos suami Ibu? Ibu mau bikin suami Ibu bangkrut hari ini juga? Oh, ya. Mobil mewah Ibu cicilannya jangan lupa dibayar, udah nunggak dua bulan tu."
"Sa-saya..." Bu Siska gagap. Keringat dingin sebesar biji jagung mengucur deras di pelipisnya. Kakinya lemas.
Ibu-ibu lain di ruangan itu mulai kasak-kusuk. Mereka memandang Bu Siska dengan tatapan berbeda. Tadi mereka memujanya, sekarang mereka menatapnya seperti melihat sampah.
"Dan untuk dayang-dayang setia Ibu," lanjut Kiana kejam. Dia tidak berhenti di situ. Jika dia mau membersihkan hama, dia harus membasminya sampai ke akar.
Kiana menggeser layar lagi.
"Mommy Cecil." Kiana menunjuk wanita di barisan depan yang tadi paling nyaring tertawa. "Mobil Sport yang Ibu bawa ke sekolah setiap hari itu... STNK-nya atas nama leasing Intra Finance, kan? Data kami menunjukkan cicilannya nunggak tiga bulan. Hati-hati, Bu. Debt collector kami sedang mencari unitnya di jalan. Jangan kaget kalau pulang nanti mobilnya sudah diderek."
Mommy Cecil langsung menutup wajahnya dengan tas, ingin menghilang ditelan bumi.
"Dan Bunda Rara," Kiana beralih ke wanita satunya. "Toko kue Ibu di ruko Emerald itu... bukannya bulan depan mau disita bank karena sertifikatnya dijadikan jaminan utang judi suami Ibu?"
"Cukup!" teriak Bunda Rara sambil menangis. "Jangan dibuka di sini!"
Kiana mematikan layar iPad-nya. Proyektor mati. Kegelapan data itu menghilang, tapi dampaknya sudah menghancurkan harga diri mereka berkeping-keping.
"Kalian semua bicara soal 'kelas' dan 'standar'," ucap Kiana dingin. "Tapi gaya hidup kalian dibiayai dari utang dan kepalsuan. Kalian menindas anak kecil piatu cuma untuk menutupi rasa insecure kalian sendiri. Menyedihkan."
Kiana meletakkan mikrofon itu kembali ke meja. Dia menepuk tangannya dua kali, memberi sinyal.
Dari pintu samping aula, Kepala Sekolah—Pak Heru—berlari kecil masuk dengan wajah penuh keringat dan senyum yang dipaksakan. Dia baru saja ditelepon oleh sekretaris Kiana lima menit lalu.
"Selamat pagi, Bu Kiana! Selamat pagi!" sapa Pak Heru sambil membungkuk-bungkuk hormat, mengabaikan Bu Siska yang masih syok di panggung. "Maaf saya terlambat menyambut Ibu. Saya tadi sedang rapat..."
"Pak Heru," potong Kiana langsung. "Sekolah ini panas sekali ya? AC di aula ini suaranya berisik seperti mesin parut kelapa. Pantas anak-anak jadi gampang emosi dan susah belajar."
"Eh, iya Bu... Anggaran kami terbatas tahun ini, jadi..."
"Saya tidak suka mendengar alasan," potong Kiana lagi. Dia mengambil sebuah amplop cokelat dari tasnya dan meletakkannya di meja Pak Heru.
"Di dalam situ ada cek. Nilainya cukup untuk mengganti semua unit AC di setiap kelas dengan yang baru dan paling dingin. Sisanya, gunakan untuk merenovasi perpustakaan. Saya lihat bukunya sudah jamuran semua. Ganti dengan buku baru, tambah komputer iMac sepuluh unit."
Mata Pak Heru melotot melihat angka di cek yang mengintip dari amplop itu. Nolnya banyak sekali. Sangat banyak.
"I-ini... serius, Bu?" tangan Pak Heru gemetar saat menyentuh amplop itu.
"Sangat serius," jawab Kiana. "Tapi ada syaratnya."
"Apa pun, Bu! Apa pun syaratnya kami penuhi!"
"Sumbangan ini atas nama Alea Ardiman. Tulis besar-besar di plakat perpustakaan nanti: Persembahan dari Alea Ardiman."
Kiana menoleh ke arah ibu-ibu yang kini terdiam seribu bahasa.
"Dan satu lagi. Saya tidak mau mendengar ada satupun orang di sekolah ini, baik murid, guru, atau orang tua murid, yang berani menyentuh, menghina, atau menatap sinis ke arah Alea. Kalau sampai ada laporan lutut Alea lecet lagi karena didorong..."
Kiana menatap Pak Heru tajam.
"...Saya akan tarik semua sumbangan ini, dan saya pastikan yayasan memecat Bapak karena ketidakmampuan mengelola keamanan siswa."
Pak Heru menelan ludah. "Siap, Bu! Saya jamin! Mulai hari ini Alea adalah prioritas keamanan kami! Siapa pun yang ganggu Alea akan langsung saya panggil orang tuanya!"
Pak Heru berbalik, menatap tajam ke arah Bu Siska yang masih berdiri kaku di panggung.
"Bu Siska," tegur Pak Heru tegas. "Saya rasa masa jabatan Ibu sebagai Ketua POMG perlu dievaluasi. Kita butuh ketua yang memberikan kontribusi nyata, bukan cuma gosip."
Bu Siska rasanya ingin pingsan. Dunianya runtuh dalam waktu kurang dari lima belas menit. Suaminya terancam bangkrut, jabatannya hilang, dan harga dirinya diinjak-injak di depan umum.
Dia turun dari panggung dengan kaki gemetar, lalu berjalan tertatih-tatih mendekati Kiana. Air mata palsunya tadi kini berubah menjadi air mata ketakutan yang nyata.
"Bu Kiana..." suara Bu Siska serak, memelas. Dia bahkan hendak meraih tangan Kiana. "Tolong, Bu... jangan lapor ke Pak Gavin. Jangan putus kontrak suami saya. Kami punya cicilan banyak, Bu. Anak saya Dino masih kecil..."
Kiana memundurkan langkahnya, menghindari sentuhan Bu Siska seolah wanita itu membawa virus menular.
"Dino masih kecil?" ulang Kiana sinis. "Alea juga masih kecil, Bu. Tapi Ibu dan anak Ibu tidak ragu menyebutnya 'pembawa sial' dan mendorongnya sampai berdarah."
"Saya khilaf, Bu! Saya janji akan didik Dino! Saya akan suruh Dino minta maaf sama Alea! Saya juga minta maaf! Saya mohon, Bu!" Bu Siska nyaris berlutut di lantai aula yang dingin.
Pemandangan itu sangat kontras. Ratu Lebah yang tadi sombong, kini mengemis di kaki Singa Betina.
Kiana menatap wanita itu tanpa rasa iba. Ini bisnis. Kalau kamu menyerang, kamu harus siap dihancurkan.
"Kontrak suami Ibu bukan urusan saya, itu urusan profesional Ardiman Logistics. Kalau kerjanya bagus, lanjut. Kalau jelek, ya putus. Simpel," kata Kiana datar. "Tapi soal permohonan maaf..."
Kiana mencondongkan tubuhnya.
"Ibu tidak perlu minta maaf ke saya. Saya tidak butuh. Ibu minta maaf ke Alea. Di depan semua murid saat upacara bendera hari Senin nanti. Akui kalau Ibu salah mendidik anak. Bisa?"
"Bisa! Bisa, Bu! Apa saja!" Bu Siska mengangguk panik seperti ayam patuk padi.
Tiba-tiba, pintu utama aula terbuka lebar.
BRAK!
Semua orang menoleh kaget.
Gavin Ardiman berdiri di ambang pintu. Napasnya terengah-engah, rambutnya sedikit berantakan, dan dia masih mengenakan setelan jas lengkap. Di belakangnya ada dua orang sekuriti sekolah yang ngos-ngosan karena gagal mengejar langkah panjang Gavin.
Gavin tadi sedang rapat direksi saat menerima pesan Kiana. Pikirannya langsung kalut. Dia membayangkan Kiana sedang dikeroyok ibu-ibu, atau Kiana sedang mengamuk melempar kursi. Dia takut istrinya—dan citra perusahaannya—dalam bahaya.
Mata Gavin menyapu seisi ruangan dengan panik.
Dia melihat ibu-ibu yang duduk diam ketakutan.
Dia melihat Kepala Sekolah yang memeluk amplop cokelat seperti memeluk jimat.
Dan dia melihat Bu Siska, berdiri membungkuk dengan wajah penuh air mata di depan Kiana.
Sementara Kiana?
Istrinya itu berdiri tegak, tenang, tanpa sehelai rambut pun yang berantakan, sambil memegang iPad-nya dengan anggun.
Gavin mengerjap bingung. Dia melangkah masuk perlahan, mendekati Kiana.
"Kiana?" panggil Gavin ragu.