Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Kepergian Feng Niu tidak pernah diawali dengan pengumuman. Tidak ada koper besar. Tidak ada kalimat perpisahan. Tidak ada janji kapan akan pulang. Ia hanya… tidak ada.
Pagi itu, Ji Chen bangun lebih cepat dari biasanya karena Xiao Fan menangis. Tangisan yang pendek-pendek, serak, seperti tenggorokan kecil itu sudah kehabisan tenaga untuk menjerit.
Ji Chen menggendongnya sambil berjalan pelan di koridor. Rumah terasa lebih luas dari biasanya. Lebih kosong. Suara langkah kakinya menggema, seolah dinding-dinding ikut menghitung waktu.
Ia melirik jam dinding. Pukul enam lewat dua puluh. Biasanya, Feng Niu sudah bangun atau setidaknya masih ada jejak keberadaannya. Cangkir kopi di meja. Ponsel yang bergetar. Aroma parfum yang tertinggal samar.
Hari itu tidak ada apa-apa. Kamar tidur utama rapi. Terlalu rapi. Selimut dirapikan sempurna. Lemari tertutup. Tidak ada pakaian yang tercecer. Tidak ada tas di kursi. Ji Chen berdiri di ambang pintu beberapa detik, menatap ruangan itu sambil menggendong Xiao Fan. “Dia pergi,” gumamnya tanpa sadar.
Xiao Fan tidak menjawab. Ia hanya meringkuk lebih dalam, wajahnya menempel di dada Ji Chen, napasnya naik turun tidak beraturan. Ji Chen tidak langsung menelepon. Ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Setengah hari. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan.
Siang itu, Ji Chen mengirim satu pesan singkat. Di mana? Pesan itu dibaca. Tidak dibalas.
Ji Chen menatap layar ponselnya lama, lalu meletakkannya kembali ke meja seolah benda itu tiba-tiba menjadi terlalu berat. Ia menyuapi Xiao Fan dengan tangan yang sedikit gemetar. Susu formula menetes sedikit ke dagu bayi itu. Xiao Fan meringis, lalu menangis pelan. “Maaf… maaf…” Ji Chen mengelapnya cepat. “Papa ceroboh.”
Ia selalu meminta maaf. Untuk hal-hal kecil. Untuk hal-hal yang seharusnya bukan kesalahannya.
Hari berlalu dengan lambat. Ji Chen tetap pergi ke kantor setengah hari, membawa Xiao Fan ke ruang khusus yang biasanya hanya digunakan jika keadaan darurat. Chen Li menatap mereka dengan raut terkejut yang segera disembunyikan. “Direktur Fu…?” suaranya ragu.
“Jadwalkan ulang rapat sore,” kata Ji Chen singkat. “Aku pulang lebih awal.” Chen Li mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh, tapi matanya mengikuti Ji Chen dan bayi itu sampai pintu tertutup.
Malamnya, Feng Niu belum pulang. Ji Chen menidurkan Xiao Fan lebih awal. Bayi itu terbangun beberapa kali, menangis seperti mencari sesuatu yang tidak ada. “Kita tunggu Mama, ya,” bisik Ji Chen, walau ia sendiri tidak yakin kata menunggu masih relevan. Hari kedua.
Tidak ada kabar. Ji Chen mulai menelepon. Nada sambung. Nada sambung. Pesan suara. Ia menutup telepon tanpa meninggalkan pesan. Hari ketiga.
Madam Fu datang tanpa pemberitahuan. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Ji Chen yang sedang menggoyang-goyangkan stroller Xiao Fan dengan gerakan otomatis. “Dia belum pulang?” tanyanya. Ji Chen menggeleng.
Madam Fu mengangguk pelan. Tidak terkejut. Seolah ini hanya konfirmasi, bukan berita. “Berapa hari?” tanyanya lagi.
“Ini hari ketiga.” Madam Fu menatap cucunya. Xiao Fan tertidur gelisah, alisnya berkerut meski mata terpejam. “Anak ini…” Madam Fu berkata pelan. “Ia mulai mengenali pola.” Ji Chen menegang. “Pola apa?”
“Ditinggalkan.” Kata itu jatuh berat. Ji Chen tidak menjawab.
Malam itu, Feng Niu mengirim pesan. Aku butuh waktu. Hanya itu. Ji Chen membaca pesan itu berulang kali. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada kepastian. Ia mengetik balasan. Menghapus. Mengetik lagi. Xiao Fan demam dua hari lalu. Ia berhenti.
Menghapus lagi. Akhirnya, ia tidak mengirim apa pun. Hari keempat. Xiao Fan menangis lebih sering. Bukan tangisan keras lebih seperti keluhan yang tidak selesai, suara kecil yang putus-putus.
Ji Chen mencoba menenangkannya dengan berjalan keluar rumah. Udara pagi dingin. Kota bergerak seperti biasa. Orang-orang lalu lalang dengan tujuan masing-masing.
l i Chen merasa seperti berdiri di luar ritme itu.
Di bangku taman, seorang ibu muda duduk sambil menyusui bayinya. Bayi itu tenang, matanya terpejam. Ji Chen menoleh cepat, bukan karena iri lebih karena sesuatu di dadanya terasa nyeri. “Papa nggak cukup,” bisiknya tanpa sadar. Xiao Fan tidak mendengar. Atau mungkin… ia mendengar terlalu banyak.
Hari kelima. Feng Niu belum pulang. Tuan Fu menelepon. “Jaga reputasi keluarga,” katanya tanpa basa-basi. “Jangan buat ini jadi bahan gosip.” Ji Chen menggenggam ponselnya erat. “Aku hanya ingin dia pulang.”
“Perempuan itu,” Tuan Fu melanjutkan, “harus belajar tanggung jawab.” Ji Chen menutup mata. “Dia ibu anakku.” Hening di seberang sana. “Aku tahu,” kata Tuan Fu akhirnya. “Itulah masalahnya.”
Hari keenam. Feng Niu pulang. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam ketika pintu terbuka. Sepatu haknya dilepas sembarangan. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah tapi matanya tajam. Ji Chen berdiri di ruang tamu, Xiao Fan di gendongannya. Keduanya menatap satu sama lain. “Kenapa bawa dia?” Feng Niu bertanya, nada suaranya datar.
Ji Chen tertawa kecil pendek, pahit. “Karena dia anak kita.” Feng Niu menghela napas, seolah pertanyaan itu melelahkannya. “Aku capek.”
“Aku juga,” jawab Ji Chen pelan. “Tapi aku nggak pergi.” Hening. Xiao Fan bergerak gelisah, lalu mulai menangis. Tangisan itu membuat Feng Niu meringis.
“Berisik,” gumamnya. Ji Chen menegang. “Dia bayi.” Feng Niu menatap mereka beberapa detik, lalu berjalan melewati tanpa menyentuh. Tanpa menoleh. Ia masuk kamar dan menutup pintu. Ji Chen berdiri lama di ruang tamu. Xiao Fan menangis di dadanya, tubuh kecil itu bergetar, napasnya terengah. Ji Chen memeluknya lebih erat.
Hari itu, sesuatu berubah. Bukan karena Feng Niu pergi. Tapi karena Ji Chen mulai menyadari kepergian itu bukan lagi kejadian luar biasa. Ia mulai menjadi kebiasaan. Dan Xiao Fan… akan tumbuh dengan menganggap ketidakhadiran sebagai hal yang normal.
Ji Chen menatap pintu kamar yang tertutup itu, lalu menunduk ke arah anaknya. “Papa di sini,” katanya lagi. Lebih pelan. Lebih serius. “Papa nggak akan ke mana-mana.” Dan untuk pertama kalinya sejak Feng Niu pergi berhari-hari, Xiao Fan berhenti menangis meski hanya sebentar.