Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hide and Seek
Hampir tidak ada yang bisa Nuansa lakukan karena Han Jean sudah melakukan semuanya. Ibarat dalam sebuah tim, pria itu adalah all-rounder, ace, andalan. Hanya sedikit bagian, begitu kecil, yang masih bisa Nuansa kerjaan sebagai bentuk kontribusi, agar dirinya tidak terlihat effortless amat dalam hubungan yang sudah memasuki usia 3 tahun ini. Bagian-bagian kecil itu hanya bisa Nuansa lakukan dalam keadaan seperti sekarang, saat Han Jean terkulai tak berdaya dengan suhu tubuh yang semakin tinggi, sampai tidak sanggup melakukan banyak hal di apartemen yang biasa dia urus sendiri.
Sehabis memasakkan sup dan menyuapi Han Jean, kemudian memberinya obat dan menemani tunangannya itu tidur, Nuansa mengambil alih tugas membersihkan unit sang tunangan. Mencuci peralatan bekas masak dan makan adalah yang pertama dilakukan, menata ulang isi kulkas dan membuang bahan makanan yang sudah tidak layak adalah yang kedua, lalu menata rak sepatu yang hanya sedikit berserak. Untuk urusan kebersihan lantai, Nuansa serahkan pada robot penyedot debu canggih yang mereka beli bulan lalu.
Sementara menunggu si robot selesai bekerja, Nuansa mengalihkan tenaganya untuk mulai membereskan pakaian kotor di laundry room. Satu persatu pakaian di keranjang besar di sana, Nuansa sortir berdasarkan warna dan jenis bahannya, tidak lupa pula dia periksa dengan teliti setiap kantungnya, menghindari masuknya barang tertinggal yang akan memusingkan kemudian harinya, kalau-kalau barang itu ternyata penting.
Setengah jalan, pekerjaan Nuansa lancar. Baju-baju dan celana yang dibalik serta diperiksa sakunya, tidak meninggalkan benda apa pun di dalamnya. Sampai tibalah Nuansa pada sepotong celana bahan, yang ketika Nuansa raba bagian luar sakunya, terasa seperti ada beberapa lembar kertas tersimpan. Nuansa merogoh ke dalam, mengeluarkan kertas-kertas di dalamnya.
Saat dia hendak memeriksa apakah kertas-kertas yang merupakan struk pembayaran itu merupakan sesuatu yang perlu disimpan, tangan lain menyerobot lebih cepat. Bukan merebut kertas-kertas struk dari tangan Nuansa, melainkan menarik tubuhnya ke belakang, melingkarkan lengan di perutnya.
Sergapan tiba-tiba itu jelas membuat fokus Nuansa langsung buyar. Dia mendongak, memeriksa Han Jean alih-alih peduli pada kertas-kertas struk yang dipegang. “Kenapa bangun? Mas butuh sesuatu?” tanyanya.
Kepala Han Jean yang bersandar di ceruk lehernya, mengangguk. Helaian rambut pria itu menggesek kasar, menimbulkan rasa geli dan membuat bulu kuduknya meremang.
“Mas butuh apa?”
“Kamu.”
Nuansa tersenyum tipis. Struk-struk di tangannya, diletakkan di atas mesin cuci, dan tubuhnya berbalik, menghadapi Han Jean yang menatapnya penuh harap. “Mau ditemani tidur lagi?” tanyanya.
Han Jean mengangguk. “Mas mau dielus kepalanya, biar pusingnya cepat hilang.”
“Boleh,” sahut Nuansa. “Tapi aku selesaikan ini dulu ya?”
Han Jean menggeleng, “Nggak usah, nanti Mas kerjain sendiri kalau udah enakan badannya. Sekarang kamu temenin Mas tidur aja.”
Karena Han Jean bersikeras, dan tampaknya memang membutuhkan dirinya, Nuansa pun mengangguk pasrah. Dia manut saja ketika Han Jean bergerak ke belakang tubuhnya, memeluk bahunya, dan menuntunnya kembali ke kamar.
Tanpa Nuansa ketahui, saat Han Jean berpindah posisi itulah tangan pria itu meraih struk-struk yang tadi dia tinggalkan di atas mesin cuci, dan dengan cepat memasukkannya ke saku, menimbun rahasia yang nyaris saja membuka peluang bagi Nuansa untuk menaruh curiga.
...✨✨✨✨✨...
Setengah sepuluh malam, Angger angkat kaki dari apartemen mamanya. Diiringi drama kecil di mana mamanya merajuk minta dirinya menginap, Angger berhasil membebaskan diri berkat kelihaiannya bersilat lidah. Mamanya hanya manyun sedikit, tapi senyumnya langsung merekah saat Angger hadiahnya kecupan hangat di pipi dan berjanji akan berkunjung lagi dalam minggu ini.
Pinky promise dibuat, walaupun Angger menyegelnya sambil menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ibu mana memangnya yang masih membuat pinky promise dengan putranya yang sudah kepala 3?
“Jangan sering bergadang, Mama mau kamu panjang umur biar bisa temenin Mama selama mungkin.”
Angger berdecak pelan, main-main. “Iya, iya, paham.” Pelukan diberikannya, bonus satu kecupan lagi di kening mamanya sebelum dia betulan pamit.
Kepada suami ibunya, walaupun tidak sepenuhnya menerima kehadirannya, Angger tetap menundukkan kepala, pertanda pamit sekaligus pesan tersirat yang mulutnya tidak bisa katakan. Pesan dari seorang anak laki-laki kepada laki-laki lain, untuk titip menjaga ibunya.
Papa tiri Angger balas mengangguk dan tersenyum lembut. Angger anggap mereka sudah sama-sama dewasa untuk tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan.
“Udah sana masuk. Angger jalan sekarang,” kata Angger, meminta mamanya segera menutup pintu dan beristirahat. Imelda mengangguk, pintu tertutup dan kontak mereka resmi terputus.
Angger pun balik badan, setelah sekali lagi menghela napas panjang. Dilirknya bag jewelry berisi kalung cherry blossom yang mamanya tolak terima. Wanita itu tetap memintanya memberikan kalung tersebut kepada perempuan, yang barangkali sudah berhasil menarik hatinya.
“Mau kasih ke siapa coba?” gumamnya. Sedetik kemudian, kepalanya menoleh ke unit sebelah. Jiwa keponya bangun, bertanya apakah sekiranya Nuansa sudah pulang.
“Bukan urusan lo, Angger. Nggak ada faedahnya juga ngurusin pacar orang lain.” Bibirnya lemes mengingatkan, mencegah tubuhnya melakukan tindakan impulsif sebelum mendapat persetujuan dari otak.
Langkahnya pun akhrinya terayun. Lorong sepi disusurinya dengan khidmat. Otaknya tidak berhenti bekerja, sel-sel di sana membagi tugas memikirkan satu persatu hal yang berjubel agar tidak semakin kusut.
Tiba di depan lift, Angger harus menunggu beberapa saat sebelum kotak besi itu terbuka. Selama menunggu itu, dia melirik bag di tangannya sekali lagi, dan berakhir mendesah kasar saat akhirnya pintu lift terbuka. Di dalam lift itu, ada seorang perempuan berdiri di bagian sudut belakang. Angger masuk dan langsung mengalihkan pandangan, lurus ke depan. Karena perempuan itu mengenakan pakaian minim yang membuat paha dan belahan dadanya terekspos ke m ana-mana.
Dipencetnya tombol basement, lalu perjalanan turun itu dimulainya dengan keheningan—yang akhirnya pecah saat perempuan seksi di belakangnya bersuara. Bukan, bukan berbicara kepadanya. Perempuan itu menelepon seseorang, mungkin pacar atau gadun-nya, bermanja-manja dengan nada suara yang… membuat lehernya bergidik. Angger tidak pernah tahan dengan sikap clingy yang dibuat-buat seperti itu. hidupnya terbiasa dikelilingi hal-hal tegas, lugas dan berbatas.
Maka perjalanan turun itu terasa seperti neraka baginya. Kupingnya panas, hawa sekitarnya perlahan terasa gerah.
“Ck!” Angger berdecak secara sadar. Mulutnya mendumal, mencaci betapa lambat kotak besi ini membawanya turun.
Perempuan di belakangnya berhenti bicara sebentar, lalu kembali bersuara dengan nada suara yang jauh lebih menggelikan. Angger sudah tidak tahan. Sehingga saat pintu lift berdenting dan akhirnya terbuka ketika mencapai basement, Angger langsung melesat keluar. Suara perempuan seksi di belakangnya masih terdengar, beradu dengan ketukan heels yang dikenakannya.
Angger mempercepat langkah, berusaha mencapai mobilnya secepat mungkin.
“Aduh!” Rintihan itu terdengar sesaat setelah bunyi gedubrak memecah keheningan basement.
Angger mendesah kasar, mengumpat di dalam hati. Mau tidak mau dirinya berbalik, mendapati perempuan seksi tadi tersungkur dengan ponselnya mendarat cukup jauh dari posisi tubuhnya jatuh.
“God. I just want to go home,” erangnya kesal.
Hati nuraninya selalu menang atas ego, membuatnya secara sadar mendekat dan mengulurkan tangan memberikan bantuan. Perempuan seksi itu menatapnya skeptis pada awalnya, sebelum akhirnya meraih uluran tangannya dan mencoba bangun.
Sayangnya, entah hilang ke mana kekuatan Angger, bukannya membantu perempuan seksi itu bangun, dirinya justru tertarik dan ikut jatuh. Angger hampir menimpa tubuh si perempuan seksi, jika tangannya tidak sigap menopang ke lantai. Tapi itu saja tidak cukup, karena posisi mereka kini jadi ambigu.
“God…” Dia mendesah frustrasi.
Ketika sedang berusaha bangun secepat mungkin, saat itulah Angger menemukan eksistensi Nuansa, berdiri beberapa meter di depannya, berdiri mematung dengan wajah datarnya.
“What the hell…” ringis Angger di dalam hati, entah mengapa. Bahkan seharusnya dia tidak peduli pada apa pun yang ada di kepala Nuansa saat ini.
Bersambung....
Hamil dulu tapi😁