Tiba-tiba pernikahan Raka dan Arumi berakhir setelah 1001 malam berlalu.
“Aku sudah menjalani tugas sebagai suamimu selama 1000 hari bahkan lebih dua hari. Sekarang waktunya mengakhiri pernikahan palsu ini.”
Arumi yang sedang merapikan selimut tertegun, berbalik badan lalu menatap lekat kepada Raka yang tengah berjalan ke arahnya.
“Tidak adakah sedikit pun percikan cinta selama kita bersama ?” tanya Arumi dengan wajah sendu.
Raka tidak menjawab hanya menyerahkan amplop cokelat kepada Arumi yang bergetar menerimanya.
“Jangan mempersulit !” tegas Raka dengan tatapan tajam yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Kita Selesai
Sidang perceraian Raka dan Arumi akhirnya tiba. Keduanya hadir didampingi pengacara masing-masing untuk mendengarkan keputusan hakim
Seperti yang Raka bilang, Sofia dan Nindya ikut hadir di persidangan karena setelah ini mereka akan membawa Raka pulang ke Yogya dan melanjutkan pengobatan di sana entah sampai kapan.
Rumah keluarga Arumi yang dijanjikan untuk Raka dikembalikan pada pemiliknya. Tidak ada perdebatan harta gono gini karena Raka menerima keputusan tanpa syarat apapun juga.
Arumi yang ditemani Roni terlihat berulang kali menghela nafas namun berusaha kelihatan tegar. Arumi masih bisa tersenyum saat bersalaman dengn Raka.
“Terima kasih karena sudah berkomitmen menyelesaikan perjanjian kita,” ucap Arumi dengan tulus.
Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Raka bahkan ia enggan bertatapan dengan mantan istrinya itu.
Rasa sesak menyeruak saat Arumi menghampiri Sofia dan memeluknya.
“Terima kasih karena….” Ucapan Arumi terputus, bingung memanggil Sofia dengan mama atau tante.
“Kamu boleh tetap memanggil mama,” bisik Sofia yang langsung paham dengan kebingungan Arumi.
Kepala Arumi mengangguk, rasanya sulit menahan air mata tapi Arumi sudah bertekad tidak boleh menangis di depan Raka.
“Terima kasih karena mama sudah menganggapku anak mama,” ucap Arumi mengulang kalimatnya.
“Mama juga berterima kasih karena kamu sudah merawat Raka dengan baik sekalipun dia tidak peduli padamu dan sering membuatmu kesal.”
Daripada menangis, Arumi memilih tertawa pelan. Sofia memang sangat pengertian meskipun mereka tinggal berjauhan. Entah sudah berapa kali Arumi ngobrol dengan Sofia via telepon, entah sekedar bercerita, berkeluh kesah atau minta nasehat.
Kehadiran Sofia dalam hidupnya membuat Arumi merasakan perhatian dan kasih sayang orangtua yang direnggut Thalia 8 tahun lalu.
Waktu itu usia Arumi baru 14 tahun dan rasanya benar-benar berat karena ia harus kehilangan keduanya sekaligus.
“Kapan-kapan main ke Yogya, Nindya bisa menemanimu jalan-jalan.”
“Pasti Ma. Rasanya butuh refreshing setelah urusan Thalia beres.”
Sofia tersenyum, mengusap pipi Arumi dengan kedua tangannya yang mulai keriput.
“Banyak berdoa biar kebenaran menemukan jalannya.”
Arumi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Doakan aku selalu Ma.”
“Selalu Arumi.”
Mereka pun berpisah di dekat parkiran. Sengaja Arumi minta supaya Roni membiarkan mobil yang membawa Raka dan keluarganya jalan duluan.
“Kamu sungguh luar biasa Ar,” puji Roni sambil mengusap kepala adik sepupunya.
“Kelihatannya Ron, di dalam sini rasanya sakit,” sahut Arumi sambil tertawa getir dan memegang dadanya.
“Sekarang waktunya kita lanjut menyelesaikan masalah Thalia.”
Roni membuka telapak tangannya dan Arumi pun meletakkan jemarinya hingga mereka bergenggaman.
“Untuk Rendi dan orangtuaku,” ucap Arumi.
Roni mengangguk sambil tersenyum.
*****
Hampir jam 10 malam Raka dan keluarganya tiba di rumah mereka di Yogya.
Raka yang masih duduk di kursi roda terdiam sejenak di depan pagar rumah sementara Sofia sudah masuk duluan dan Nindya sedang menurunkan barang-barang dibantu ART.
Beberapa kali Raka menghela nafas menatap bangunan yang menjadi tempatnya dibesarkan sampai ia memutuskan merantau ke Jakarta sejak kelas 1 SMA.
Terakhir kali Raka menginjakkan kakinya di rumah ini saat baru menikah dengan Arumi. Mantan istrinya itu bersikeras mengajak Raka menengok Sofia setelah seminggu mereka menikah.
“Bukankah dalam tradisi Jawa pengantin pria wajib membawa istri menemui orangtuanya ?”
“Mama tidak sekolot itu,” tolak Raka.
“Kalau begitu aku akan berangkat sendiri.”
Akhirnya Raka yang terpaksa menuruti keinginan Arumi dengan perasaan kesal apalagi Raka membayangkan istri barunya akan pamer kekayaan pada keluarga dan tetangga.
Di luar dugaan, diam-diam Arumi, Sofia dan Nindya malah bekerjasama membuat pesta sederhana untuk tetangga dan kenalan orangtua Raka yang tidak bisa datang ke Jakarta.
Tanpa sadar Raka tersenyum karena teringat bagaimana ia menuai banyak pujian karena dianggap pintar mencari istri. Meskipun dari keluarga kaya, waktu itu Arumi tampil sederhana dan tidak canggung bergaul dengan tamu-tamu undangan.
Plak !
Raka terkejut dan langsung menggerutu pada Nindya yang menepuk bahunya.
“Kalau melamun jangan di depan pintu, kesambet nanti,” ledek Nindya sambil tertawa.
“Siapa yang melamun,” omel Raka. “Aku lagi melihat rumah, kayaknya ada yang berubah.”
Nindya mencibir lalu terkekeh. “Mas Raka nggak pintar bohong. Aku sama mama bisa membaca pikiran Mas Raka loh !”
Raka mencebik lalu mendorong kursi rodanya melewati jalan berbatu.
“Sini aku bantu. Halaman di rumah ini beda sama rumahnya mbak Arum yang mulus.”
Tanpa menunggu Raka mengiyakan, Nindya membantu mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah.
“Kapan Arman merenovasi rumah ? Kayaknya bangunan di sayap kiri baru ditambahkan,” tanya Raka.
“Bukan Mas Arman tapi mama yang bayar. Mama membuatkan kamar baru untuk Mas Raka, lebih luas dan menghadap ke kebun.”
“Kok mama nggak pernah cerita ? Lagian buat apa dibuatkan kamar baru segala, kan aku lebih banyak di Jakarta. Bikin tambah kerjaan mama aja.”
“Mama bilang mas Raka kan udah nikah, terus nanti punya anak jadi perlu privasi dan kamar lebih luas. Masa iya bawa istri tapi tidurnya bareng mas Arman, bisa-bisa salah peluk suami,” canda Nindya sambil tertawa.
Raka tidak membantah karena apa yang dipikirkan atau mungkin malah harapan Sofia ada betulnya tapi sekarang Raka malah cerai dengan Arumi dan pulang ke rumah dengan status duda.
“Soal ngurus rumah, jangan khawatir. Mama sudah mau pakai pembantu. Tadi yang bantuin aku turunin barang namanya mbak Surti, sudah 1 tahun bekerja di sini.”
“Akhirnya,” ujar Raka sambil menarik nafas lega.
“Sebetulnya gara-gara mbak Arum yang paksa mama harus pakai ART. Nggak tahu bagaimana merayunya sampai mama mau.”
Kenapa semuanya harus selalu ada Arumi, keluh Raka.
Nindya langsung membawa Raka ke kamar barunya. Seperti yang dikatakan adiknya itu, kamar Raka memang lebih luas bahkan sepertinya paling luas di rumah ini dan ada kamar mandi dalam.
Tempat tidur ukuran 120 sudah diganti menjadi king size tapi perabotnya masih tetap senada dengan nuansa rumah ini, terbuat dari kayu jati hanya saja warnanya lebih terang.
“Perabotannya baru semua ?” tanya Raka.
“Iya, Arumi yang membelinya,” sahut Sofia dari arah belakang.
Nindya pun pamit karena mau mandi dan membereskan barang-barang.
“Arumi ? Kapan dia kemari ?”
“Mama lupa kapan persisnya tapi Arumi yang memilih semua perabotan di kamar ini, langsung beli di Magelang.”
“Dia pernah datang kemari tanpa aku ?”
“Iya, katanya lagi ada kerjaan di Yogya jadi mampir kemari. Bulan lalu Arumi juga mengirim orang untuk menambahkan beberapa pegangan di dalam kamar mandi untuk memudahkanmu bergerak sendiri.”
“Kenapa Mama nggak pernah cerita ?”
“Mama nggak mau kamu salah paham apalagi kamu itu sensitif banget, curigaan dan suka berpikiran buruk sama istrimu sendiri.”
“Bagaimana aku nggak sensitif, pernikahanku sama dia hanya sebuah kontrak bisnis yang dinilai dengan uang,” sahut Raka dengan sedikit kesal.
Sofia tersenyum dan menepuk bahu putra sulungnya.
“Bersihkan dirimu dan istirahatlah. Tidak ada gunanya membahas soal Arumi di saat badanmu lagi capek.”
Raka menghela nafas dan mengangguk pelan. Sebelum menutup pintu, Sofia yang baru teringat sesuatu bertanya pada Raka.
“Kamu bisa mandi sendiri atau perlu bantuan ?”
Entah kenapa wajah Raka langsung merona, untung Sofia tidak melihatnya.
“Aku sudah bisa mandi sendiri.”
Raka kembali menghela nafas saat mendengar suara pintu ditutup.
Perjanjian kita sudah berakhir Arumi, saatnya aku memulai hidup baru lagi
Tapi kenapa hati ini sangat merindukanmu ?
raka msih shat tp udh d blng mninggal....mndingn blik lg deh kl msih sling cnta,jgn gngsi yg d gdein...
stlh psah,bru mrsa khilangn....cma bs "s'andainya"....tp ingt,dlu kn raka bnci bgt sm arumi....mlah lbh mlih s ulat bulu drpd istrinya....kl skrng mnysal,nkmti aja....😝😝😝
ga sbr nunggu mreka dpt hkumn stimpal....
Arumi msih pduli trnyta....enth krna msh punya prsaan atw krna hti nurani....
bkannya tnggung jwb,mlah kbur...
enk bgt dia bs bbas skian thn,sdngkn kluarga krban mndrta krna khilngn orng2 yg d cntainya......mga dia jg mrasakn skit yg sma....