Dijodohkan secara mendadak oleh sang paman, membuat Iswa Putri Sakinah harus menerima kenyataan menikah di usia yang sangat muda, yakni 19 tahun, terpaksa ia menerima perjodohan ini karena sang paman tak tega melihat Iswa hidup sendiri, sedangkan istri sang paman tak mau merawat Iswa setelah kedua orang tua gadis itu meninggal karena kecelakaan.
Aku gak mau menikah dengan gadis itu, Pa. Aku sudah punya pacar, tolak Sakti anak sulung Pak Yasha, teman paman Iswa.
Aku mau menikah dengan gadis itu asalkan siri, si bungsu terpaksa menerima perjodohan ini.
Apakah perjodohan ini berakhir bahagia bagi Iswa?
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETAHUAN
Kaisar sudah gusar, tak nyaman jalan dengan Adel. Otaknya berisik sedang menebak apa yang dilakukan Sakti dan Iswa setelah makan es krim. Adel terus saja mengoceh, tanpa sadar bahwa nyawa Kaisar sudah melayang ke mana-mana.
"Kamu dengerin aku gak sih, Sayang?" protes Adel yang tak terima Kaisar hanya diam saja.
"Enggak. Aku capek. Kita sejak pagi sudah jalan, makanya aku gak fokus."
"Kamu selalu begitu. Kamu selalu gak minat jalan sama aku, terkesan banget kalau yang berusaha menjalin hubungan kembali itu aku. Effort kamu udah habis."
"Baru sadar kalau aku udah gak effort sama kamu. Kan kamu yang selalu mengancam bunuh diri dan memaksa buat pacaran lagi. Kalau aku sih udah niat putus, ya putus aja."
"Kok kamu gitu sih."
"Kepercayaan kalau sudah rusak, gak bakal bisa dibangun kembali, Del. Setiap aku dekat kamu, terlintas dalam otakku ah dia sudah boncengan sama cowo lain. Begitu terus dan sikapmu yang semakin posesif membuatku rasa sayangku hilang secara perlahan."
"Kamu tega!"
"Bukan tega. Tapi aku jujur. Aku sudah bilang berapa kali kalau kita lebih baik putus. Gak ada gunanya kembali lagi. Udah beda rasa, harusnya kamu lebih legowo saat aku terbuka akan perasaanku, daripada aku pura-pura nyaman sama kamu."
"Aku tetap gak mau putus."
"Terserah, sekarang aku capek. Aku mau pulang, kamu mau aku antar atau pulang sendiri?" tawar Kaisar yang mulai mengeluarkan jurus bodo amat pada Adel. Gadis itu cemberut langsung, dan mau tak mau menerima tawaran Kaisar untuk diantar pulang.
Lain Kaisar, lain pula Sakti. Saat ia keluar dari toilet, sepintas dia melihat Andin yang jalan berdua dengan seorang pria membawa paper bag, menuju ke food court. Sakti sengaja mengikuti, dan sengaja menelepon sang kekasih.
"Iya Mas Sakti?" sapa Andin mengangkat panggilan.
"Kamu di mana?"
"Aku baru aja selesai visit pasien," ucap Andin sembari meletakkan jari tangannya ke bibir pria tersebut, dan perilaku Andin tersebut dilihat Sakti. "Mas di mana? Kok ramai banget?" tanya Andin, malah sekarang tangannya dicium oleh pria itu.
"Di belakang kamu," jawab Sakti tegas. Sontak Andin menoleh, sambungan telepon masih belum dimatikan. Sakti diam sebentar saat Andin kaget melihatnya. Tak usah menunggu lama, Sakti berbalik, jalan santai. Sepertinya antara Andin dan lelaki itu tarik-tarik an juga, sehingg Sakti sampai di parkiran Andin juga tak menyusulnya.
"Wa!" panggil Sakti saat sambungan sudah diangkat oleh adik iparnya.
"Kak, Kak Sakti di mana? Kak Sakti pup kah, lama amat," oceh Iswa yang berhasil membuat Sakti sedikit tersenyum.
"Aku di parkiran, kamu nanti pulang sendiri bisa?"
"Bisa Kak," jawab Iswa sedikit kesal, gak adik gak kakak, sama-sama suka main tinggal aja.
"Oke, hati-hati ya. Aku ada urusan sama Andin."
"Iya, Kak!" jawab Iswa. Ia pun tak segera pulang, lebih baik melanjutkan main saja. Lalu jalan sendiri membeli aneka jajanan di mall, tak lupa mampir ke departement store, mencari sepatu, karena flatshoesnya sudah jeplak.
“Iswa mana?” tanya Kaisar bertepatan dengan Sakti keluar dari mobil. Keduanya baru saja sampai rumah, menjelang maghrib.
“Masih peduli sama istri,” sindir Sakti langsung menjawab. Hatinya masih panas, sehingga makin panas mengingat sikap Kaisar yang ternyata selingkuh juga. Sungguh Sakti tak pernah pro dengan seorang pengkhianat meski itu adik sendiri.
“Ya Abang yang mau nikung istri adik sendiri,” Kaisar tak kalah sengit membalas sindiran sang kakak. Sakti diam sebentar, kemudian berbalik menatap tajam Kaisar.
“Pantang bagi gue selingkuh, selagi punya pasangan gue bakal setia. Sedangkan gue ajak Iswa karena gue kasihan melihat dia di rumah doang saat weekend sedangkan suaminya jalan sama selingkuhan. Satu lagi gue menganggap Iswa adik, dan gue gak bakal lupa kalau dia istri adik gue!” ucap Sakti tegas, dan langsung naik menuju kamarnya.
Perdebatan kedua lelaki itu didengar oleh sang mama. Sakti yang tampak marah jelas tak bisa ditanya, mama pun mendekati si bungsu. “Kalian kenapa?”
“Abang itu mengajak Iswa jalan ke mall,” adu Kaisar pada sang mama, agar sang abang dinasehati atau bahkan ditegur agar tidak mengajak ipar kencan. Sekarang sedang musim kan ipar adalah maut.
“Kamu kok tahu kalau Abang sama Iswa jalan ke mall?” tanya mama ingin memastikan saja apa yang didengar sesuai dengan pengakuan Kaisar.
“Ya kebetulan aku juga lagi jalan ke mall. Kita papasan, mana Iswa sama sekali gak nyapa aku. Dia ngeloyor aja masuk kedai es krim sama Abang, gak sopan banget sama suami,” omel Kaisar tak sadar kalau pengakuannya akan memancing introgasi sang mama lebih lanjut.
“Emang kamu jalan ke mall sama siapa?” tanya mama, Kaisar mendadak kincep. Semangatnya menghujat sang abang dan Iswa mendadak hilang. Mulutnya sulit menjawab pertanyaan sang mama.
“Kai jalan sama, jalan sama,” Kaisar bingung harus jawab jujur atau tidak. Sang mama masih menunggu dengan tatapan tajam. “Te, Te, teman, Ma!”
“Yakin teman?” todong mama sekali lagi. Kaisar tak mau membohongi sang mama. Ia menunduk pasrah, dari tingkah Kaisar saja mama tahu kalau sang putra sedang melakukan kesalahan.
“Dengarkan Mama, Kai. Kalau kamu memang tak bisa membangun rumah tangga kamu dengan Iswa, dan kamu tak bertanggung jawab pada Iswa, lebih baik lepaskan dia saja. Agar dosa kalian tidak menumpuk. Kamu sebagai suami salah, mama sadar Iswa berusaha bertahan dalam rumah tangga ini karena terpaksa, tak enak dengan mama, papa dan pamannya kalau dia berontak. Semua berada di tangan kamu. Kalau kamu berat dan tak bisa menganggap Iswa layaknya menjadi istri kamu, lepaskan. Mama melihat Iswa sangat mampu hidup sendiri, mama yakin dia bisa melindungi dirinya sendiri.”
Kaisar terdiam, apakah ia rela melepas Iswa? Meski tak pernah ngobrol, tapi Kaisar melihat gerak-gerik serta tingkah Iswa. Gadis itu gadis baik, hidupnya hanya berkutat pada kampus, rumah, dan tempat ngajar. Berteman pun kebanyakan dengan teman perempuan, sangat bisa menjaga pergaulan. Kaisar belum mencintai Iswa tapi mengakui bahwa Iswa perempuan yang baik dan pantas dipertahankan sebagai istri. Jika dibandingkan dengan Adel, Kaisar akan memilih Iswa.
Baiklah Kaisar akan mengajak bicara lagi Iswa tentang hubungan ini. Terlebih ia akan mengambil sikap tegas pada Adel juga. Ia akan menegaskan pada Adel bahwa ia tetap minta putus.
Setelah maghrib, Iswa datang. Membawa kantong berlabel departement store sekaligus membawa martabak manis cokelat keju, dengan keramahannya dia membuka dan menawarkan pada papa dan mama yang sedang bersantai di ruang tengah. Seperti biasa papa yang akan menyambut Iswa dengan ramah, bahkan beliau dengan segera mencicipi martabak manis tersebut. Kaisar pun mengambil sepotong, menghargai usaha Iswa perhatian pada orang rumah.
“Beli apa?” tanya Kaisar yang mengikuti Iswa masuk kamar.
“Sepatu. Sepatuku sudah jeplak, tapi aku gak pakai uang dari kamu, kok. Aku pakai uang gajiku sendiri, tadi ditransfer sama mama adik lesku, dapat bonus karena dia menang lomba.” Kaisar langsung memeluk Iswa. Dia perempuan mandiri, bahkan tak mau memakai uang yang diberi papa karena ia merasa belum bisa menjadi istri sepenuhnya.
bang sat ( satya ) , bang kai ( kaisar )
kaya sebatas alasan doang ga ada artinya deh,,cihhhh kasah dari mana ucapan bo doh ,itu pun nyata ko marah