NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:791
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15 - Api Unggun di Pinggir Pantai

Vee

Sudah hampir dua minggu sejak malam itu, sejak momen di mana aku dan Tyler hampir—well, berciuman.

Perkuliahan sudah berakhir, ujian akhir semester pun selesai. Untungnya, kesibukan belajar membuat pikiranku teralihkan. Tapi anehnya, kenapa dia terlihat begitu... tenang? Seolah malam itu tak pernah terjadi. Padahal aku bersumpah—aku tahu dia juga merasakannya. Udara di antara kami menghangat, matanya menatap lembut tapi menusuk, tangannya memelukku seolah takut aku runtuh kalau dilepaskan.

Dan sekarang? Ia kembali jadi Tyler Hill yang dingin, profesional, dan terlalu tenang untuk seseorang yang mengobrak abrik hatiku, seakan malam itu hanya imajinasiku saja.

Tapi hatiku... masih mengkhianatiku. Setiap kali aku melihatnya, aku masih bisa mencium aroma kayu maskulinnya, merasakan hangat pelukannya, dan caranya memastikan aku masih bisa berdiri tegak.

Kalau dia bisa bersikap biasa saja, maka aku juga bisa. Atau... setidaknya, itu yang ku yakinkan pada diriku sendiri.

Libur akhir semester tiba. Satu semester lagi sebelum semuanya berakhir. Seharusnya aku sudah mulai fokus pada tugas akhir—mungkin skripsi, atau proyek film. Tapi sejauh ini belum ada yang cukup besar untuk ku jadikan final project.

Hari ini aku menghabiskan waktu di Student Lounge bersama The Reels. Ethan sedang menceritakan film horor yang baru ia tonton, memperagakan adegan setannya dengan ekspresi berlebihan. Liam dan Sophie duduk di depan, berpura-pura mendengarkan tapi jelas saling mencuri pandang. Aku hampir frustrasi melihat mereka belum sadar kalau saling menyukai.

Lalu aku sadar… mungkin aku sama saja.

Tapi, di mana Chloe?

Dia baru saja di sini beberapa menit lalu.

Ketika kembali, matanya merah dan berkaca-kaca.

“Chloe, ada apa?” tanyaku cepat, duduk tegak.

Dia menarik napas panjang. “Aku putus sama Jason.”

“What??” Aku hampir berteriak. Beberapa mahasiswa menoleh ke arah kami. Ethan bahkan berhenti di tengah akting dramatisnya.

“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Sophie lembut, menggenggam tangan Chloe.

“Dia selingkuh,” jawab Chloe, getir. “Dengan cheerleader timnya yang roknya sependek otaknya.” Matanya kembali berair, tapi nadanya tajam. “Dan tahu bagian terburuknya? Aku tahu dari berita gosip olahraga. Dari berita, Vee.” Ia tertawa kecil, getir.

Aku ternganga. “Oh my God.”

“Bajingan,” gumam Sophie.

Liam menggeleng pelan. “Dasar pengecut.”

Yang mengejutkan justru Ethan. Ia berlutut di depan Chloe, nada suaranya berubah serius. “Chlo, kamu nggak pantas diperlakukan seperti ini.”

Whoa. Sejak kapan Ethan bisa berhenti bercanda?

Chloe tertawa di sela tangisnya. “Aku merasa bodoh. Semua orang di timnya pasti tahu. Aku tahu aku bukan tipenya, aku nggak girly, nggak seperti yang dia mau. Tapi Jason pacar pertamaku. Aku kira kalau kami berjuang, semuanya bisa berhasil.” Suaranya pecah. “Aku benar-benar bodoh.”

Kami semua terdiam. Seorang Chloe yang biasanya penuh percaya diri, kini duduk di depanku seperti bayangan dirinya sendiri.

Sophie menggenggam tangannya erat. “Kamu nggak harus jadi tipenya, Chlo. Selingkuh itu pilihan. Dan itu bukan salahmu.”

Ethan menatapnya tajam. “Dengarkan aku. Kamu nggak bodoh. Kamu percaya sama seseorang yang kamu sayang. Itu bukan kelemahan, itu manusiawi. Dan dia yang menghancurkan kepercayaan itu, bukan kamu.”

Chloe menatap Ethan lama, terkejut. Mungkin baru sadar betapa seriusnya dia.

Aku menambahkan pelan, “Jason bukan selingkuh karena kamu kurang. Dia melakukannya karena dia nggak pernah merasa cukup.”

Liam berdeham. “Siapapun yang membuat pacarnya tahu perselingkuhan lewat berita... itu bukan cuma pengecut. Itu bajingan kelas kakap.”

Chloe tertawa—benar-benar tertawa kali ini, walau air matanya belum kering. “Wow, semuanya kompak menjelekkan Jason. Aku terharu.”

“Bukan menjelekkan,” kata Ethan, lembut. “Kami cuma ingetin kamu siapa dirimu. Kamu Chloe Davenport. Kamu bakal baik-baik aja.”

Senyumnya perlahan kembali. “Thanks, guys.”

Aku menggenggam tangannya. “Dia benar. Kamu berhak dapat yang lebih baik.”

Sophie mengangguk cepat. “Totally.”

Liam menatap kami semua, lalu tersenyum kecil. “Jadi, apa sekarang kita cuma mau duduk di sini dan sedih bareng, atau... bersenang-senang?”

Chloe menatapnya bingung. “Bersenang-senang?”

“Ya. Kita lepaskan semua beban. Ke pantai, mungkin? Taman hiburan? Pokoknya bukan di sini.”

Ethan langsung menyeringai. “Pantai! Kita bikin api unggun, makan ramen instan, dan mungkin kita bisa buat Vee bernyanyi.”

“Excuse me?” Aku melotot.

“See?” katanya sambil terkekeh. “Kalau dia sudah protes, artinya dia setuju.”

Chloe tertawa lagi. Tawa yang kali ini terdengar tulus dan hangat. Untuk pertama kalinya hari itu, aku melihat sahabatku benar-benar tersenyum lagi.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya juga, aku sadar bahwa kadang, hal paling sederhana seperti tawa bersama teman bisa menyembuhkan lebih cepat daripada waktu.

\~\~\~

Saat matahari tenggelam, kami—well, sebenarnya Ethan yang memutuskan, lalu menyeret kami semua—pergi camping di pinggir pantai. Katanya, ini obat patah hati paling ampuh.

Satu jam kemudian, kami membongkar semua bawaan dari mobil Liam, yang sebagian besar adalah hasil pinjaman dari pusat perlengkapan outdoor kampus. Laut terbentang di depan kami, ombak bergulung perlahan dengan cahaya oranye keemasan dari matahari yang turun di cakrawala.

“Ini benar-benar gila,” gumam Sophie, menatap dua tiang tenda yang sama sekali tidak mau bekerja sama. “Kita nggak ada yang tahu cara nyambungin dua tiang ini.”

“Memang itu tujuannya.” Ethan menancapkan tiang tenda dengan gaya dramatis, seperti sedang menaklukkan gunung. “Adventure!”

Chloe hanya menggulirkan mata, tapi senyum kecil lolos di wajahnya saat melihat Ethan berjuang dengan tenda yang nyaris roboh. Liam, seperti biasa, sibuk dalam diam, menyalakan api unggun yang mulai menyala oranye lembut.

Akhirnya, kami menyerah. Aku yang paling sadar diri di antara kami—dan yang paling putus asa—meminta bantuan pada kelompok dari tenda sebelah, sekitar lima meter dari tempat kami. Mereka ternyata band indie bernama 309 Roses, yang sedang road trip keliling kota kecil. Begitu tahu kami sudah satu jam gagal mendirikan tenda, mereka tertawa ramah, lalu menolong kami menegakkannya hanya dalam lima menit.

Begitu tenda berdiri tegak, Chloe dan Sophie langsung masuk untuk menata barang. Aku duduk di pasir, membiarkan butiran hangatnya menelan pergelangan kakiku. Di depanku, api unggun Liam menari perlahan, memantulkan cahaya di wajah kami. Suara ombak, aroma asin udara laut, semuanya terasa seperti jeda dari dunia. Untuk sejenak, aku bisa bernapas. Untuk sejenak, aku bisa melupakan kebingunganku tentang Tyler.

Tak lama, semuanya keluar dari tenda. Aku membagikan ramen instan yang baru diseduh. Kami duduk melingkar di sekitar api unggun, makan sambil bercanda dan tertawa, campuran gurih ramen dan udara asin laut jadi rasa paling aneh tapi paling hangat yang pernah kurasakan.

“Kalian sebentar lagi masuk tahun ketiga, kan?” tanyaku di sela uap panas yang naik dari mangkuk. “Udah kepikiran mau fokus ke bidang apa?” Pertanyaan itu mungkin agak aneh di tengah suasana santai, tapi akhir-akhir ini aku terus memikirkannya. Tentang masa depan, tentang big project untuk tugas akhir. Tentang... arah hidup.

Sophie yang pertama menjawab. “Scriptwriting.” Ia menatap api sambil tersenyum kecil. “Dulu aku sempat nyesel masuk film. Kupikir harusnya ambil sastra, karena aku suka menulis. Tapi waktu belajar penulisan skenario... aku jatuh cinta. Rasanya seperti menciptakan dunia dari kertas kosong.”

Aku mengangguk. Itu sangat Sophie—penuh logika, tapi juga puitis.

Chloe kemudian menatapku. “Kamu tahu, kan, Vee? Cinematography. Aku suka di balik kamera. Aku suka menangkap cerita dari balik lensa.” Semangatnya membuatku tersenyum. Kini Chloe terlihat seperti dirinya lagi.

Aku menatap Ethan. “Kalau kamu?”

Ia berpikir sejenak, menatap api unggun yang berkelibat hangat, ekspresinya lebih serius dibanding beberapa saat lalu, seperti ia benar-benar memikirkannya. “Aktor,” katanya akhirnya. “Tapi bukan film. Teater. Aku suka hal yang nyata, yang bisa penonton rasakan langsung. Mungkin... musical theatre.”

Kami semua tertawa, tapi bukan karena mengejek, tapi karena itu terdengar sangat Ethan.

Setelah makan, kami duduk lebih lama, membicarakan masa depan, tentang semester depan, tentang aku dan Liam yang harus memikirkan final project yang akan jadi penutup perjalanan kuliah kami. Ethan, seperti biasa, menemukan sesuatu untuk dijadikan bahan lelucon, dan tawa kami menggema di antara ombak.

Tapi di sela kehangatan itu, aku menangkap hal lain. Liam, duduk di samping Ethan, tak berhenti mencuri pandang ke arah Sophie. Lagi.

Saat Sophie dan Ethan mulai bernyanyi kecil bersama, aku berpindah tempat duduk, mendekatinya. “Kalau tatapan bisa membunuh, kamu udah membunuh Sophie berkali-kali malam ini.”

Liam langsung salah tingkah. “Aku... bukan begitu—”

“Ayolah.” Aku menaikkan alis. “Aku tahu kamu suka dia.”

Dia menunduk, menggaruk tengkuknya. “Kelihatan banget ya?”

“Uh-huh.” Aku mengangguk pelan

Ia terdiam sejenak, lalu menghembuskan napas. “Entahlah, Vee. Sophie itu sahabatku. Aku dulu cuma anak teater pemalu yang nggak punya teman. Kami pertama bertemu di kelas, dan dia yang ngajak aku masuk ke The Reels. Aku nggak mau merusak semuanya dengan perasaan bodoh ini.”

Aku menepuk bahunya. “Liam, kamu nggak bisa terus sembunyi di balik rasa takutmu sendiri. Kalau kamu benar-benar suka dia, tunjukkan. Dan... dari kacamataku? Sepertinya dia juga punya perasaan yang sama.”

Ia menatapku lama, lalu tersenyum kecil. “Makasih, Vee.”

Sebelum aku sempat menambahkan apapun, Ethan datang membawa dua orang dari 309 Roses, salah satunya menenteng gitar. “Ladies and gents,” serunya dengan nada teatrikal, “sambutlah—309 Roses!”

Sorak sorai kecil terdengar. Band itu mulai bermain, lagu akustik lembut yang kemudian berubah jadi ritme cepat dan ceria. Dua vokalisnya—pria dan wanita—saling bertukar tatapan, menyanyi seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Selesai mereka menyanyikan lagu, Ethan meminjam gitar, menambahkan lagu upbeat, dan kami semua berdiri, tertawa, dan menari diatas pasir pantai yang lembut.

The Reels dan 309 Roses, di bawah langit malam.

Di tengah keramaian itu, aku sempat melihat Sophie dan Liam duduk di dekat tenda. Mereka berbisik, lalu tertawa. Dan saat Sophie tersipu, Liam perlahan mengangkat tangannya, menyentuh pipinya. Aku berpaling, pura-pura tidak melihat. Tapi senyumku tidak bisa kutahan.

Akhirnya.

Malam itu, di antara musik, api unggun, dan tawa, aku merasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku tidak memikirkan masa lalu, atau Tyler, atau masa depan yang menakutkan.

Dan untuk malam ini saja, itu cukup.

\~\~\~

Aku yang pertama terbangun. Udara pagi masih lembap, menempel di kulit seperti kabut halus. Sophie dan Chloe tidur berdekatan, wajah mereka tenang, sesekali bergerak kecil di dalam sleeping bag. Aku berbaring di dekat pintu tenda, dan begitu membuka mata, cahaya lembut menembus kainnya, warna merah muda muda dari matahari yang baru naik di cakrawala.

Aku keluar perlahan agar tidak membangunkan siapa pun. Udara pantai masih dingin, tapi menenangkan. Sisa api unggun semalam hanya tinggal bara abu, dikelilingi jejak langkah kami yang samar di pasir.

Aku meluruskan tubuh, menghirup napas panjang, lalu berjalan kecil menyusuri tepi pantai. Ombak datang pelan, menyentuh kakiku, lalu pergi lagi seolah membawa semua hal yang berat bersamanya. Untuk sesaat, semuanya terasa ringan. Tidak ada beban. Tidak ada kebingungan. Hanya langit, laut, dan aku.

Saat aku kembali ke tenda untuk membuat kopi, ponselku bergetar di saku jaket.

Sebuah pesan.

Dari Tyler Hill.

Kalau ada waktu, Senin pagi ke ruanganku.

Ada hal penting yang harus kita bicarakan.

Aku menatap layar cukup lama, hingga uap dari kopi yang baru kuseduh mulai menipis di udara.

Dadaku berdebar, campuran antara gugup dan rasa yang tak berani kuakui.

Hal penting.

Kata-kata itu berputar di kepalaku. Apakah ini tentang proyek? Tentang film? Tentang… malam itu?

Aku menatap laut sekali lagi, angin pagi menyibakkan rambutku. Apa pun yang akan terjadi, aku tahu satu hal pasti

Pembicaraan itu akan mengubah segalanya.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!