Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Aborsi
Tadinya, Alex berniat membangunkan Daisy untuk makan malam. Namun, melihat putrinya tidur begitu nyenyak, ia mengurungkan niat itu. Daisy bahkan tertidur tanpa mengganti bajunya, tubuh kecilnya tampak benar-benar kelelahan.
Alex hanya bisa menatap lembut. Ia tidak tega membangunkannya.
“Dia sepertinya sangat lelah,” gumamnya pelan.
Edgar yang berdiri di dekat pintu menjawab, “Daisy bermain cukup lama di taman tadi, bersama teman-temannya. Mungkin itu yang membuatnya kelelahan.”
Alex mengangguk ringan. “Aku pikir dia bahkan tidak akan mau pulang.”
Edgar hanya tersenyum samar, tidak melanjutkan kata-katanya. Bukan karena ia tidak mau menjawab, tetapi karena Daisy sudah memintanya berjanji untuk tidak memberitahu sang ayah apa pun tentang tangisannya tadi.
Gadis kecil itu menangis setelah keluar dari rumah Noah. Ia bilang rindu pada ibunya, tapi tak ingin Ayahnya tahu. Edgar bisa melihatnya jelas — mata Daisy sembap, dan lelah yang ia rasakan bukanlah karena bermain, melainkan karena menahan tangis terlalu lama.
Alex mengusap lembut kening Daisy, lalu mengecupnya sebelum berdiri.
“Lain kali pastikan dia makan malam dulu sebelum tidur, dan ingatkan untuk mengganti baju,” katanya.
Edgar menunduk, mengangguk pelan. Ia mengikuti Alex keluar kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.
“Tuan,” katanya kemudian, “Bagaimana kondisi Tuan Muda Damien sekarang?”
“Masih lemah,” jawab Alex singkat. “Dia sempat bangun sebentar setelah aku kembali pagi tadi, lalu tertidur lagi. Aku belum meneleponnya, hanya sempat mengirim pesan.”
Sambil menuruni tangga, Alex melepas kancing jasnya. Di saat yang sama, Noah tiba-tiba muncul di ruang tamu dengan wajah cemas.
“Alex …” panggilnya pelan.
Alex berhenti, mengerutkan kening. Tatapannya menyiratkan tanda tanya.
Noah datang sebenarnya hanya untuk memastikan keadaan Daisy — apakah gadis kecil itu mendengar pembicaraannya dengan Celline tadi sore. Ia juga berniat meminta maaf, baik pada Daisy maupun pada Alex.
Namun, dari cara Alex menatapnya, sepertinya Daisy tidak mengatakan apa pun. Atau mungkin memang tidak mendengar.
Edgar, yang berdiri di belakang Alex, menatap Noah dengan pandangan jauh lebih tajam — seperti berusaha membaca sesuatu dari sorot matanya.
“Aku hanya ingin bertanya … Daisy sudah tidur, kan?”
“Ya,” jawab Alex tenang. “Tapi sepertinya kau punya alasan lain datang kemari.”
Noah menarik napas panjang, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya, iya. Aku baru saja bertengkar dengan Celline … dan sekarang dia tidak pulang ke rumah. Aku hanya ingin tahu keberadaannya.”
Alex menatapnya beberapa detik tanpa ekspresi. Lalu suaranya terdengar datar tapi tegas, “Edgar akan membantumu.”
Edgar membawa Noah ke ruang tamu sambil menenteng laptop di tangannya. Sebenarnya, butuh waktu singkat saja untuk mendapatkan nomor Celline — tapi Edgar sengaja memperlambat prosesnya, memutar beberapa data yang tak perlu, memberi waktu untuk berbicara.
“Noah,” katanya datar, matanya tetap tertuju ke layar. “Aku tahu kau sudah merawat Daisy sejak dia masih kecil. Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu membuatnya menangis.”
Nada suaranya terdengar tenang, tapi tekanannya tajam.
Noah spontan menatap Edgar. “Daisy … menangis?”
Ia tidak ingin mempercayainya. Tidak ingin mengakui bahwa Daisy mungkin benar-benar mendengar percakapannya dengan ibunya tadi.
Edgar menutup laptop sejenak, lalu melirik Noah dari sisi. “Dia menangis saat keluar dari rumahmu. Apa kau pikir gadis sekecil itu pulang begitu saja tanpa alasan?”
Nada marahnya tertahan, tapi jelas terasa.
Noah menoleh cepat, memastikan tidak ada Alex di sekitar mereka sebelum berkata pelan, “Apa Daisy mengatakan sesuatu padamu?”
Edgar membalas dengan pertanyaan yang membuat Noah terdiam. “Jadi benar itu karena kau?”
Noah menarik napas dalam-dalam. Dari nada suara Edgar, ia tahu Daisy tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun.
Jika gadis kecil itu bicara, pasti sekarang ia sudah berhadapan langsung dengan kemarahan Alex. Tapi tetap saja, rasa bersalah menekan dadanya.
Dia harus menemui Daisy besok. Harus.
“Sebenarnya hanya terjadi sedikit kesalahpahaman,” ucap Noah akhirnya. “Ibuku tidak tahu kondisi Damien, dan juga tidak tahu mereka sudah pindah ke Regalsen. Sepertinya Daisy hanya terbawa perasaan … dia merindukan mereka.”
Edgar menatapnya lama, penuh curiga. Tapi setelah mengingat air mata Daisy, nada hatinya sedikit melunak. Mungkin memang begitu.
Tanpa berkata lagi, ia kembali menatap layar laptop dan mulai mengetik cepat. Tak lama kemudian, ia menemukan yang dicari.
“Sepertinya Celline akan mengambil penerbangan malam ini. Dia ada di bandara sekarang,” katanya.
Noah berdiri. “Baik, terima kasih. Aku akan mengejarnya.”
Dia tidak tahu apakah bisa membujuk Celline untuk pulang — atau setidaknya, meyakinkannya untuk tetap tinggal di kota ini meskipun bukan lagi di rumah yang sama. Tapi ia tahu, kali ini ia harus mencoba.
Tak lama setelah Noah pergi, Alex keluar dari kamarnya dengan piyama. Rambutnya masih sedikit basah, menetes di pelipis. Ia berjalan mendekat sambil mengancingkan bajunya perlahan.
“Bagaimana?” tanyanya singkat.
Edgar menutup laptop. “Sepertinya Celline berencana kembali ke luar negeri, Tuan.”
Alex hanya mengangguk tipis tanpa ekspresi. Ia tidak menanggapi lebih jauh — urusan orang lain bukan sesuatu yang ingin ia campuri malam ini.
“Hubungkan aku dengan Eve.”
Edgar mengangguk dan segera melakukan panggilan. Begitu wajah Eve muncul di layar, Alex memberi isyarat agar Edgar meninggalkan ruangan.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah makan malam? Ada yang kau keluhkan?”
Sebenarnya masih banyak pertanyaan di kepala Alex, tapi ia menahannya. Nada suaranya tetap tenang, meski matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam.
Eve tersenyum hangat, menyangga dagunya dengan satu tangan. “Bagaimana aku tidak merasa jauh lebih baik? Aku bahkan berpikir kau sudah mempekerjakan seluruh staf medis di sini hanya untuk kami.”
Alex tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan kau dan Damien tidak sendirian di sana.”
Eve menatapnya lembut. “Kau sudah makan malam? Di mana Daisy? Aku tidak mendengar suaranya hari ini. Apa dia baik-baik saja?”
“Ini sudah malam. Dia tertidur sejak tadi,” jawab Alex.
Eve mengangguk kecil. “Aku hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja tanpa aku.”
“Ya. Tidak ada masalah. Dia sempat pergi bersama Noah, lalu langsung tidur saat pulang.”
Eve tersenyum tipis. “Aku sudah menduga kalau dia akan mencarinya. Jangan terlalu khawatir, Alex. Mengubah kebiasaan yang sudah terbentuk sejak kecil butuh waktu.”
Alex mengangkat alis ringan. “Kau pikir aku mempermasalahkannya?”
Eve terkekeh kecil. “En. Coba mendekatlah.”
Alex mencondongkan tubuh, mendekat ke layar sesuai permintaannya. Seketika terdengar suara kecupan pelan dari Eve. Saat ia mundur, Eve tampak memerah, malu-malu menunduk. Alex tersenyum hangat, sorot matanya lembut — seolah rasa lelahnya luruh seketika.
“Pergilah makan malam dan istirahat,” kata Eve kemudian. “Aku baik-baik saja di sini bersama Damien. Kalau kondisinya membaik besok, aku akan menghubungimu.”
“Aku akan kosongkan jadwal lusa untuk menjenguk kalian,” ujar Alex pelan.
“Tidak perlu. Jangan membuat Daisy kelelahan karena perjalanan jauh. Kalau dia libur sekolah, baru datanglah. Dan … kau tidak lupa, kan? Kursusnya sudah dimulai bulan ini. Akan sangat melelahkan kalau dia ke sini malam ini lalu harus sekolah besok.”
Alex hanya mengangguk setuju.
Eve menatapnya sejenak, senyum tipis di wajahnya tampak dipaksakan. Ia juga ingin bertemu, tapi ia tahu — hidup Daisy harus tetap berjalan.
Setelah panggilan berakhir, senyum di wajah Eve perlahan memudar. Ia memandang menu makan malam di meja, yang baru saja diantarkan oleh seorang perawat. Perawat itu menyebut dirinya bekerja untuk Dokter Nicholas White — yang berarti Nic.
Sudah jelas: Nic menyiapkan semua ini atas permintaan Alex.
Namun, selera makan Eve mendadak hilang. Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu memilih menyingkirkannya.
Ia berjalan ke kamar mandi, menghapus riasan tipis yang sempat ia kenakan demi terlihat lebih segar di hadapan suaminya.
“Eve ….”
Suara itu muncul tiba-tiba dari balik pintu. Eve menoleh, dan di sana —Darren berdiri.
Dulu, kedatangan pria itu tak pernah membuatnya resah. Tapi kini, setelah percakapan terakhir mereka yang meninggalkan luka samar, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa canggung … dan sedikit takut.
Melihat Eve terdiam, Darren tersenyum kecil. “Apa aku mengejutkanmu?”
Nada suaranya ringan, seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
Eve mencoba tersenyum, meski jelas terlihat kaku.
“Ya, sedikit.”
“Maaf aku datang larut malam. Aku baru mendengar kabar tentang Damien tadi, tapi harus menyelesaikan urusanku lebih dulu,” ujar Darren pelan sambil melangkah mendekat. Ia berdiri di sisi tempat tidur Damien yang masih terbaring lemah. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Masih banyak tidur. Sejak kemarin, dia belum benar-benar sadar.”
“Dia sudah berusaha keras sampai bisa sejauh ini,” gumam Darren lirih, menatap wajah pucat Damien. Ia tak berani menyentuhnya, takut mengganggu istirahatnya. “Ah, aku hampir lupa. Aku membawakan sup untukmu. Katanya bagus untuk ibu hamil.”
“Terima kasih, tapi aku sudah makan.”
“Sayang sekali. Sepertinya aku datang terlambat.” Ia menatap Eve, matanya menyipit pelan. “Tapi, Eve … kau terlihat sangat lelah. Kau belum istirahat?”
“Aku tidak merasa seperti itu.”
“Tapi wajahmu pucat.”
“Mungkin karena aku tidak memakai riasan.”
Namun Darren tahu, itu bukan alasannya. Ia sudah terlalu lama mengenal Eve — tahu persis warna pucat yang disebabkan kelelahan, bukan karena wajah polos tanpa makeup.
Tanpa banyak bicara, Darren membuka laci dan lemari penyimpanan makanan. Dugaan itu terbukti. Semua makanan masih tersimpan rapi, tak satu pun disentuh.
“Eve … kau tidak makan sama sekali?” Suaranya meninggi, tapi nada khawatir mendominasi. “Kau tidak boleh begini! Kau sedang mengandung!”
Eve menunduk, menghindari tatapan matanya.
“Ayo, duduk di sini. Setidaknya makan beberapa suap.” Darren menarik tangannya lembut namun tegas, mendudukkannya di sofa, lalu menyodorkan sendok berisi sup hangat. “Makanlah. Aku tidak akan beranjak sebelum kau menelan sedikit saja.”
Eve terdiam, lalu perlahan membuka mulut. Sup itu turun ke tenggorokannya, tapi baru beberapa detik kemudian, rasa mual menghantam kuat. Ia menutup mulut, berlari ke kamar mandi, dan muntah tanpa sempat berkata apa pun.
Darren mengejarnya, menepuk punggungnya perlahan sambil memegang segelas air. “Sudah lebih baik?”
Eve mengangguk, mengusap bibirnya dengan lengan baju.
“Apa yang terjadi padamu? Kau sakit?”
“Sudahlah, jangan memaksaku!” sergahnya dengan napas terengah. “Aku sudah mencoba makan sejak tadi, tapi tetap saja seperti ini.” Suaranya bergetar, matanya tampak lelah — bukan hanya karena tubuh, tapi juga karena beban di dadanya.
“Kau tidak baik-baik saja, Eve.” Darren menatapnya serius. “Ayo ikut aku. Kau harus diperiksa.”
Tanpa sempat menolak, Eve dibawanya ke ruang gawat darurat setelah memastikan Damien dijaga oleh perawat.
Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter mempersilakan Darren duduk di depannya. “Bagaimana kondisi mereka, Dok?”
“Kondisi bayinya stabil,” jawab dokter, “Tapi sang ibu justru yang kami khawatirkan. Tekanan darahnya sangat rendah. Kalau terus begini, bisa berpengaruh pada janinnya. Apa dia kurang istirahat? Atau sedang mengalami tekanan emosional?”
Darren terdiam sejenak. “Anaknya … sedang dirawat di sini juga, setelah transplantasi jantung.”
Dokter mengangguk perlahan, nada suaranya berubah lebih lembut, seolah mulai mengerti sesuatu.
Namun, kalimat berikutnya membuat udara di ruangan mendadak menegang.
“Dok … apakah sudah terlambat untuk melakukan aborsi?”
“Darren!” Suara Eve memecah hening, penuh kemarahan.
Dokter menatap mereka bergantian, terkejut. “Tunggu, maksudnya— apa kalian ingin menggugurkan bayi itu?”
“Tidak!” Eve langsung berdiri. Wajahnya memucat, tapi matanya menyala. “Saya tidak akan pernah menggugurkan anak saya!” Ia berbalik menatap Darren dengan sorot terluka. “Kau keterlaluan!”
“Eve, tunggu, dengarkan aku! Eve ….”
***